Tuesday, October 31, 2006

Demokrasi atau Anarki?

http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0610/31/opini/3054476.htm

Selasa, 31 Oktober 2006

Kwik Kian Gie

Berakhirnya zaman Orde Baru di bawah Presiden Soeharto membawa berbagai perubahan mendasar.

Proses demokratisasi yang menyusulnya berlangsung mendadak dan habis-habisan, menyentuh sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara paling mendasar, yaitu diamendemennya UUD 1945 empat kali.

Yang mendahuluinya tak kalah "dahsyat". Presiden BJ Habibie memberlakukan demokratisasi menurut versinya sendiri, didukung anggota DPR yang sedang mabuk dan kemaruk kebebasan. Untuk menggambarkannya, kita ibaratkan rakyat Indonesia sepanjang Orde Baru bagai berpuluh juta per amat kuat yang ditindas ribuan lempengan besi, masing-masing setebal 10 sentimeter.

Memberi kebebasan yang tertib dan teratur seharusnya dengan mengambil satu lempengan sehingga seluruh per atau ruang kebebasan rakyat meningkat 10 sentimeter. Kita lihat apakah kebebasan ini dinikmati secara bertanggung jawab. Jika semua berjalan dengan tertib, satu lempeng lagi diambil, demikian seterusnya hingga ruang kebebasan yang dianggap memadai terwujud.

Tidak demikian yang dilakukan pemerintahan BJ Habibie dan parlemennya. Seluruh lempeng besi itu diambil sekaligus. Jutaan per berlompatan tanpa arah. Yang terjadi bukan demokrasi, tetapi anarki dan chaos. Itulah yang dirasakan banyak orang.

Propaganda diri
Salah satu hal mendasar adalah pemilihan langsung. Dari presiden sampai bupati dipilih langsung oleh rakyat. Maka, bupati dan wali kota sama-sama memiliki legitimasi seperti Gubernur. Bahkan, mereka merasa lebih kuat karena dipilih rakyatnya. Mereka pun cenderung tak mau mendengar dan tunduk kepada atasan formal. Itulah yang membuat kebebasan kita bukan menjadi demokrasi, tetapi anarki.

Kondisi itu ditambah otonomi keuangan sehingga penggunaan anggaran negara tercecer kebijakannya tanpa disertai kemampuan perencanaan memadai. Kontrolnya juga berantakan.

Kepada kita, pemilihan langsung oleh rakyat menyuguhkan tontonan yang belum pernah disaksikan sebelumnya. Orang Indonesia yang hakikatnya rendah hati merasa saru menyombongkan diri, harus berkampanye yang sifatnya mempropagandakan diri, betapa hebat dirinya dibandingkan dengan para pesaingnya.

Guna mempropagandakan serta mempertontonkan kehebatan, biayanya tidak kecil. Seluruh harta dipakai. Itu pun masih kurang sehingga harus utang. Maka, kalau menang, harus dibayar kembali. Bagaimana mendapat uang sebanyak mungkin untuk membayar kembali jika tidak dengan cara menyalahgunakan kekuasaan atau menggadaikan kekuasaan kepada penyandang dana?

Soekarno-Soeharto
Bagaimana dengan Bung Karno dan Pak Harto? Tidak demikian. Bung Karno dengan teman- teman membebaskan bangsa dari penjajahan dan perbudakan tanpa sedikit pun memikirkan diri sendiri. Dia berbuat tidak dengan kata-kata mempropagandakan betapa hebat dirinya memimpin bangsa. Dia langsung memimpin. Maka, Bung Karno sudah dikenal sebagai pemimpin hebat yang tidak tertandingi sebelum menjadi presiden. Dia tidak tertandingi dalam pengetahuan, visi, konsep-konsep pikiran, dan keberaniannya yang jelas-jelas menyerahkan jiwa raganya untuk kepentingan bangsa ini.

Begitu juga dengan pak Harto. Kita ingat, jatuhnya Bung Karno sebagai presiden didahului G30S. Saat itu bangsa ini dilanda kerusuhan, keonaran, kekacaubalauan, anarki, pembunuhan massal, dan chaos. Ketika itu, ada sekelompok pemimpin yang memberikan seluruh jiwa raganya untuk membereskan kekacauan ini. Banyak nama terkenal. Yang paling menonjol antara lain Jenderal Nasution, Jenderal Soeharto, Sultan Hamengbuwono IX, dan Adam Malik.

Seluruh dunia menganggap, yang akan memimpin bangsa Indonesia pasca-Soekarno sebagai presiden kedua RI adalah Jenderal AH Nasution. Namun, ketika Nasution tidak bersedia, Pak Harto didesak mau menjadi presiden. Jadilah Pak Harto Presiden RI kedua tanpa pemilu.

Bahwa akhirnya dikukuhkan MPR adalah urusan lain, tetapi pak Harto tidak pernah mempropagandakan, apalagi menjual diri, sebagai orang terhebat untuk memimpin bangsanya. Pak Harto memulihkan keamanan dan ketertiban dengan keyakinan Nasution sebagai presiden yang akan menggantikan Bung Karno. Saat itu para pemimpin tidak rebutan, tetapi berlomba tidak mau jadi presiden.

Berbeda
Sejak tahun 2004, keadaan berbeda. Para calon presiden berlomba menjadi presiden dengan cara-cara yang sebelumnya dinilai amat saru. Karena prestasinya belum ada, strategi menjadi pencitraan. Jika ditanya mengapa begitu ngotot ingin menjadi presiden, gubernur, wali kota, bupati, dan anggota DPR? Jawabnya ingin membaktikan jiwa raga, lahir batin bagi bangsa. Betulkah semulia itu?

Masihkah cara bernegara dan berbangsa yang tiba-tiba seperti di AS, sebagai ganti cara-cara yang dipikirkan dengan sangat matang atas dasar nilai dan kebudayaan yang khas Indonesia, akan diteruskan?

Kwik Kian Gie Ekonom Senior




No comments: