Monday, October 30, 2006

Tragedi Karaha Bodas dan Kecerobohan

 http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0610/27/opini/3045966.htm

Jumat, 27 Oktober 2006

Siswono Yudo Husodo

Proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi Karaha Bodas kembali mencuat sebagai tragedi bagi negara.

Itulah putusan MA Amerika Serikat yang mengharuskan Indonesia dan Pertamina membayar ganti rugi 265 juta dollar AS (sekitar Rp 2,5 triliun) kepada Karaha Bodas Corporation (KBC), milik FPL Grouphic dan Caithness Energy LLC dari AS; guna menjamin pembayaran itu, dana milik Pertamina di Bank of America dan Bank of New York, hasil ekspor minyak kita, diblokir Pengadilan AS.

Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTPB) Karaha Bodas adalah salah satu megaproyek yang dijadwal ulang melalui Keppres No 39/97 saat Indonesia mengalami krisis ekonomi tahun 1997, dan satu-satunya yang mengklaim Pemerintah RI. Dengan alasan KBC mengalami kerugian akibat keppres itu, serangkaian gugatan hukum dilancarkan kepada Pemerintah RI dan Pertamina di Arbitrase Swiss, Pengadilan Singapura, Kanada, Hongkong, dan New York, di AS. Pemerintah RI dan Pertamina juga memperkarakan masalah ini di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. KBC, yang statusnya investor asing, dapat mengambil langkah itu karena kecerobohan penyelenggara negara di masa lalu.

Harga diri
Saya bukan ahli hukum, tetapi harga diri kebangsaan dan nalar saya mempertanyakan, bagaimana suatu proyek pengelolaan sumber panas bumi di Garut, wilayah Indonesia, untuk menyuplai tenaga listrik ke PLN harus tunduk pada hukum negara AS. Mestinya, tiap investor asing yang masuk negara kita diikat untuk tunduk pada hukum Indonesia, seperti saya alami di Arab Saudi dan RRC. Naskah asli kontrak menggunakan bahasa Inggris di negara Indonesia yang berdaulat dan memiliki bahasa nasional.

Saat penulis mendapat kontrak di China dan Arab Saudi, kontrak asli dalam bahasa China dan Arab, bahasa Inggris adalah salinan kontrak.

Pemerintah sejak dulu tampak tidak memiliki strategi jitu dan tidak mengerahkan ahli hukum yang tangguh guna melindungi kepentingan negara. Akhirnya kita harus membayar lebih dari nilai maksimal (265 juta dollar AS). Saya mendapat informasi dari seorang teknisi yang ikut membangun PLTPB Karaha Bodas (yang perlu diteliti), proyek itu dibuat dengan kualitas amat rendah dan bila dioperasikan akan banyak masalah.

PLTPB Karaha Bodas yang berkapasitas 500 MW belum siap dioperasikan. Komponen yang digunakan banyak yang tidak baru dan nilai investasi yang ditanamkan investor tak sampai 100 juta dollar AS. Kemenangan KBC bisa menjadi preseden yang diikuti yang lain. Negara kita dengan utang amat besar, ditambah hal-hal seperti ini, sungguh amat menyedihkan dan mengerikan.

Reaksi pejabat pemerintah— Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro dan Menteri Keuangan Sri Mulyani—tanpa ekspresi penyesalan menyatakan, pemerintah segera membayar klaim KBC. Pernyataan itu terkesan tidak menghargai keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memenangkan pemerintah saat sebelumnya; kewibawaan hukum kita dalam bahaya. Amat disayangkan. Meski kita tahu harus membayar, dan pejabat sekarang hanya menerima getah dari keteledoran pemerintahan terdahulu, sebenarnya amat perlu menyampaikan nuansa penyesalan dari institusi yang menangani tragedi ini (Departemen ESDM) kepada rakyat.

Pernyataan yang menggampangkan ini mengingatkan kita pada keputusan pemerintah yang dengan enteng memasukkan beras impor, yang membuat harga gabah di daerah-daerah yang panen September-Oktober anjlok dari Rp 2.000 per kg menjadi Rp 1.650 per kg. Padahal, kesalahannya pada manajemen distribusi Bulog, bukan karena produksi dalam negeri kurang. Banyak tampilan pejabat negara yang setelah ada suatu kesalahan seperti tidak punya rasa bersalah.

Kehausan rakyat
Ada kehausan rakyat hari ini untuk menyaksikan seseorang tampil di televisi menyatakan dirinya bertanggung jawab dan minta maaf atas bencana lumpur yang menyengsarakan orang banyak, merusak lingkungan Sidoarjo, dan menimbulkan kerugian ekonomi tidak kecil. Siapa yang harus tampil mengaku bersalah?

Kecerobohan besar seperti dalam proyek KBC bukan jarang terjadi dalam pengelolaan sumber daya ekonomi kita. Ketika BPPN melelang aset kebun-kebun sawit milik grup Salim, yang terdiri dari 12 perusahaan—total seluas 300.000 ha—dilelang dalam satu paket, dengan harga penawaran lebih dari Rp 3 triliun (dengan harga CPO 220 dollar AS per ton). Akibatnya, yang mampu membeli hanya Guthrie dari Malaysia. Mengapa tidak dibagi dalam 12 paket agar pengusaha-pengusaha nasional bisa ikut membeli?

Kini, hampir 30 persen kebun sawit di Indonesia dimiliki pengusaha asing (dengan harga CPO 517,5 dollar AS per ton). Desember 2002, 42 persen saham Indosat dijual kepada STT Singapura, Rp 5,6 triliun. Januari 2006, saat kita berencana membeli kembali, dihargai Rp 15,6 triliun, hanya dalam waktu tiga tahun, berlipat keuntungan pengusaha asing. Pengusaha nasional gigit jari.

Kita juga kerap diperdaya dengan landasan hukum yang kuat karena kebodohan sendiri. Kontrak dengan Exxon di Natuna akan berakhir tahun depan. Jika belum mulai diproduksi, seharusnya kembali menjadi milik kita. Tetapi, ada pasal yang berbunyi, kalaupun Exxon belum memulai eksploitasi, tetapi sudah memasukkan proposal rencana kerja, kontrak sah diperpanjang untuk Exxon.

Ini adalah pelajaran amat mahal dan berharga bagi kita, yang perlu mengundang investor asing, mengingat kita masih membutuhkan banyak modal dan teknologi dari luar untuk membangun, tetapi jangan sampai kita diperdaya semacam itu. Diperlukan pejabat negara yang cerdas dan sungguh-sungguh bertindak untuk kepentingan negara, bangsa, dan rakyat.

Kini pemerintah sedang getol mengundang investor asing. Pejabat-pejabat pemerintah berkeliling dunia menawarkan kepada AS, China, Jepang, Eropa, Malaysia, Singapura, dan negara-negara Timur Tengah aneka peluang investasi di Indonesia; Menteri Kehutanan menawarkan ratusan ribu hektar lahan kepada para investor luar negeri di bidang perkebunan; tetapi di sisi lain investasi di dalam negeri oleh pengusaha nasional tidak berkembang karena berbagai hal. Hati-hati! Kebanyakan ceroboh memberi konsesi, kelak dapat menyengsarakan rakyat.

Kebodohan atau permainan?
Mengingat di pemerintahan, begitu banyak kaum intelektual terbaik bangsa, aneka kecerobohan yang sebagian terkesan amat naif dilakukan, menimbulkan pertanyaan, ini kebodohan atau permainan? Seharusnya DPR dan BPK jeli melakukan pengawasan, dan kontrak-kontrak pengelolaan sumber daya alam perlu diteliti kembali. Sungguh aneh jika suatu tragedi yang menimbulkan kerugian negara Rp 2,5 triliun tidak ada pihak yang bersalah.

Kecerobohan yang berakibat kerugian besar bagi negara harus dihukum berat. Untuk kasus KBC, perlu diusut dari awal. Mulai dari siapa partner Indonesia, bagaimana mereka mendapat proyek ini dan diteliti kualitas pekerjaannya, siapa penyusun kontrak, dan lain-lain. Kepolisian, kejaksaan, lakukan tugasmu!

Siswono Yudo Husodo
Ketua Yayasan Pendidikan Universitas Pancasila



No comments: