Tuesday, October 31, 2006

Skull proves early autopsy



By DAVID SHARP, Associated Press Writer

The earliest confirmed autopsy in North America was conducted more than 400 years ago by French colonists desperate to determine what was killing them as they endured a rugged winter on St. Croix Island, scientists concluded.

A team of forensic anthropologists from the United States and Canada confirmed that the skull of a man buried on the island over the winter of 1604-05 showed evidence of having undergone an autopsy, scientists said. Nearly half of the 79 settlers led by explorers Pierre Dugua and Samuel Champlain died over that winter from malnutrition and the harsh weather. The skull in question was discovered during excavations by the National Park Service in June 2003. The top of the skull had been removed to expose the brain; the skull cap was replaced before the body was buried, the scientists said. "This is the same procedure that forensic pathologists use to conduct autopsies today," said Thomas Crist from Utica College in upstate New York, who led the team of forensic anthropologists analyzing the remains. The conclusion, announced by the National Park Service, will be the subject of a program on the Discovery Health Channel series "Skeleton Stories" on Nov. 10.

The findings fit with the writings of Champlain, who described a dire situation in his memoirs published in 1613. He wrote that his barber-surgeon was ordered to "open several of the men to determine the cause of their illness." Dugua, a nobleman known as Sieur de Mons, chose the small island in the St. Croix River that separates what's now Maine and New Brunswick. The settlers cleared a site, planted gardens and erected dwellings including a kitchen, storehouse, blacksmith shop and chapel. But the winter was harsh, with the first snow falling in October, not long after Champlain returned from a historic voyage to Mount Desert Island. Thirty-five of the settlers died and were buried on the island. Scientists using modern techniques have concluded that the French settlers died from scurvy, which is caused by a lack of vitamin C. A ship arrived in June with supplies. Dugua then moved the settlement to Nova Scotia at a spot Champlain named Port Royal.

The St. Croix settlement turned out to be short-lived but it gave the French credit for beating the English to establish a permanent presence in the New World. The graves were originally excavated in 1969 by a team from Temple University. Decades later, the remains were re-interred by the National Park Service after consultation with the French and Canadian governments. The excavation project, in 2003, was led by Steven Pendery from the National Park Service's Northeast Region Archaeology Program. It was during that process of reburial that the team members were at the site discussing Champlain's journal reference to autopsy, said Marcella Sorg, Maine state forensic anthropologist, who was part of the team.
Sorg said she looked down and noticed the skull with the autopsy cuts that apparently had been overlooked during previous excavations. "It was beautifully done, a very straight cut, and very accurate," she said. There have been written references suggesting earlier autopsies as Jacques Cartier explored what's now Quebec in the 1500s, but there's no skeletal evidence, said Sorg, who works with the University of Maine's Margaret Chase Smith Policy Center.

In addition to Sorg, Crist was assisted by his wife Molly Crist, also a professor at Utica College. The other team member was Robert Larocque, physical anthropologist from Universite Laval in Quebec. St. Croix Island is protected by the National Park Service as part of Saint Croix Island International Historic Site. Delegates from the United States, Canada and France gathered in 2004 to commemorate the 400th anniversary of the settlement.

Membuat Pekerja Sadar akan HIV/AIDS

http://www.suarapembaruan.com/News/2006/10/31/Urban/urb01.htm

SUARA PEMBARUAN DAILY

Salmon Sinaga, manajer sumber daya manusia PT Filamendo Sakti tidak hanya piawai melaksanakan tugas-tugas yang berkaitan dengan manajemen karyawan. Ia juga piawai menyampaikan informasi seputar HIV/AIDS kepada karyawan yang jumlahnya 856 orang, mulai dari operator sampai tingkat manajer.

Salmon, adalah satu dari sembilan mentor yang dilatih lembaga swadaya masyarakat Yayasan Kusuma Buana (YKB), yang berkecimpung di sektor kesehatan. Para mentor itu dilatih untuk dapat menyosialisasikan penanggulangan HIV/AIDS di tempat kerja.

Sejak tahun 2005, ujarnya, ia dan delapan temannya menginformasikan HIV/AIDS kepada karyawan. Sosialisasi dilaksanakan melalui pelatihan selama dua hari di kelas dari pukul 15.00 sampai 17.00.

Satu kelas terdiri atas 30 karyawan. Setelah pelatihan, Salmon dan mentor lainnya mengevaluasi pengetahuan karyawan tentang HIV/AIDS dengan tes pilihan berganda, dan menuliskan informasi HIV/AIDS yang diketahuinya. Bila tidak lulus, karyawan akan tes ulang.

Bila karyawan tidak hadir selama pelatihan, diberi surat peringatan, kecuali ada surat keterangan sakit dari dokter. Tidak itu saja, manajer dari karyawan yang tidak hadir pun diberi surat peringatan.

Begitulah sekilas gambaran sosialisasi HIV/AIDS di PT Filamendo Sakti, perusahaan yang bergerak di bidang benang ban. Tahun ini, perusahaan tersebut menerima penghargaan AIDS Award untuk kategori emas yang diserahkan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) Aburizal Bakrie, yang sekaligus menjabat Ketua Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Nasional beberapa waktu lalu.

Ada 19 perusahaan yang menerima "AIDS Award" untuk kriteria emas (lima perusahaan), perak (sepuluh perusahaan) dan perunggu (empat perusahaan).

"Setelah dilatih, karyawan wajib menceritakan HIV/AIDS kepada keluarganya, kemudian ke lingkungan. Selain pelatihan, kami juga membuat pin, brosur, dan pamflet tentang HIV/AIDS. Semua kegiatan yang terkait dengan HIV kami laporkan ke induk perusahaan PT Gajah Tunggal Tbk," Salmon menjelaskan.

Lalu, bagaimana bila ada karyawan yang terinfeksi HIV? Menurutnya, perusahaan memiliki kebijakan tidak membedakan karyawan yang terinfeksi HIV. Mereka tetap bekerja dan mendapatkan asuransi kesehatan. Ia menegaskan, tidak ada diskriminasi terhadap pengidap HIV.

Usia Produktif

Dampak epidemi AIDS terhadap dunia usaha tidak bisa dihindarkan. Fakta menunjukkan, sebagian besar kasus infeksi HIV terjadi pada kelompok usia produktif. Data International Labor Organization (ILO), dari 40 juta orang yang terinfeksi HIV di seluruh dunia, 25 juta di antaranya adalah pekerja.

Di Indonesia, sembilan dari sepuluh orang yang terinfeksi berada dalam kelompok usia kerja produkif, yang berusia 19 sampai 39 tahun. Kondisi itu juga diperburuk dengan kenyataan sejumlah pekerja yang terpisah jauh dari keluarga dalam waktu yang lama mencari hiburan dengan berhubungan seks berganti-ganti pasangan tanpa kondom. Data Departeman Kesehatan tahun 2002 memperlihatkan, sekitar tujuh juta sampai sepuluh juta laki-laki yang menjadi pelanggan seks komersial. Sebagian besar adalah pekerja, dan kurang dari sepuluh persen yang konsisten menggunakan kondom.

Kondisi semacam itu, ujar Direktur Pelayanan Kesehatan YKB dr Adi Sasongko MA, yang membuat kasus AIDS terus meningkat.

"Belum banyak perusahaan yang menyosialisasikan HIV/AIDS di tempat kerja. Masih banyak anggapan tidak benar tentang HIV/AIDS. Misalnya dianggap mudah menular, penyakit yang tidak benar, penularan di luar tempat kerja, sehingga karyawan yang terinfeksi HIV dikucilkan, dipecat dan biaya kesehatannya tidak ditanggung," kata Adi.

Menurutnya, perusahaan akan memperoleh manfaat bila melaksanakan penanggulangan HIV/AIDS di tempat kerja. Karena, para pekerja adalah orang-orang yang berusia produktif sehingga masih memiliki waktu yang panjang untuk bisa berkarya. Terlebih lagi, penularan HIV tidak segampang penularan penyakit lain seperti tuberkulosis (TBC). HIV menular melalui hubungan seks yang tidak aman, dan pemakaian jarum suntik tidak steril, khususnya pada pemakai narkoba suntik.


Sejumlah warga negara Papua Nugini melintasi papan peringatan terhadap bahaya penyakit AIDS di Kantor Imigrasi Papua Nugini di Perbatasan RI-Papua Nugini, Skouw, Papua, Minggu (15/01/06). Tingginya tingkat penyebaran AIDS di wilayah Papua menyebabkan Pemprov Papua dan Pemerintah Papua Nugini melakukan kampanye bersama pencegahan AIDS. [Pembaruan/Jurnasyanto Sukarno]

Depresi
Adi menggambarkan kerugian perusahaan bila memecat dan mendiskriminasi karyawan yang terinfeksi HIV. Perusahaan harus mengganti karyawan, yang belum tentu memiliki keterampilan seperti karyawan lama. Untuk itu, perusahaan harus merekrut dan melatih karyawan baru, yang semuanya memerlukan waktu dan biaya.

Diskriminasi yang dilakukan orang sekitar, katanya, justru membuat pengidap HIV depresi dan penyakit itu yang bisa membuat seorang pengidap HIV meninggal. Jadi bukan karena AIDS.

Dalam sejarahnya, ujar dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia itu justru kebijakan pemerintah yang bersifat diskriminasi. Ada peraturan Departemen Tenaga Kerja yang menyebutkan, karyawan yang terinfeksi HIV, mengidap penyakit menular seksual, pemakai narkoba diperkecualikan dari pelayanan kesehatan di tempat kerja. Inilah yang melatarbelakangi asuransi kesehatan tidak menanggung biaya kesehatan karyawan dengan penyakit-penyakit tersebut.

"Ironisnya banyak pihak yang menjadi hakim, dan menganggap dirinya tidak berdosa sehingga mengucilkan mereka. Sementara, dunia global menolak hal semacam ini," katanya.

Adi menambahkan, dengan tujuan pencegahan dan menghilangkan diskriminasi terhadap pekerja yang terinfeksi HIV, kriteria penghargaan AIDS Award pun terdiri dari penyuluhan, pelatihan, penyebaran informasi HIV/AIDS di tempat kerja. Upaya itu didukung oleh kebijakan perusahaan yang nondiskriminasi. Kriteria lain adalah, perusahaan mengalokasi waktu, dana, dan memberi kesempatan kepada karyawan untuk mengikuti pelatihan. Lebih baik lagi, ujarnya, bila ada upaya menjangkau masyarakat sekitar lingkungan kerja. [Pembaruan/Nancy Nainggolan]

Demokrasi atau Anarki?

http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0610/31/opini/3054476.htm

Selasa, 31 Oktober 2006

Kwik Kian Gie

Berakhirnya zaman Orde Baru di bawah Presiden Soeharto membawa berbagai perubahan mendasar.

Proses demokratisasi yang menyusulnya berlangsung mendadak dan habis-habisan, menyentuh sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara paling mendasar, yaitu diamendemennya UUD 1945 empat kali.

Yang mendahuluinya tak kalah "dahsyat". Presiden BJ Habibie memberlakukan demokratisasi menurut versinya sendiri, didukung anggota DPR yang sedang mabuk dan kemaruk kebebasan. Untuk menggambarkannya, kita ibaratkan rakyat Indonesia sepanjang Orde Baru bagai berpuluh juta per amat kuat yang ditindas ribuan lempengan besi, masing-masing setebal 10 sentimeter.

Memberi kebebasan yang tertib dan teratur seharusnya dengan mengambil satu lempengan sehingga seluruh per atau ruang kebebasan rakyat meningkat 10 sentimeter. Kita lihat apakah kebebasan ini dinikmati secara bertanggung jawab. Jika semua berjalan dengan tertib, satu lempeng lagi diambil, demikian seterusnya hingga ruang kebebasan yang dianggap memadai terwujud.

Tidak demikian yang dilakukan pemerintahan BJ Habibie dan parlemennya. Seluruh lempeng besi itu diambil sekaligus. Jutaan per berlompatan tanpa arah. Yang terjadi bukan demokrasi, tetapi anarki dan chaos. Itulah yang dirasakan banyak orang.

Propaganda diri
Salah satu hal mendasar adalah pemilihan langsung. Dari presiden sampai bupati dipilih langsung oleh rakyat. Maka, bupati dan wali kota sama-sama memiliki legitimasi seperti Gubernur. Bahkan, mereka merasa lebih kuat karena dipilih rakyatnya. Mereka pun cenderung tak mau mendengar dan tunduk kepada atasan formal. Itulah yang membuat kebebasan kita bukan menjadi demokrasi, tetapi anarki.

Kondisi itu ditambah otonomi keuangan sehingga penggunaan anggaran negara tercecer kebijakannya tanpa disertai kemampuan perencanaan memadai. Kontrolnya juga berantakan.

Kepada kita, pemilihan langsung oleh rakyat menyuguhkan tontonan yang belum pernah disaksikan sebelumnya. Orang Indonesia yang hakikatnya rendah hati merasa saru menyombongkan diri, harus berkampanye yang sifatnya mempropagandakan diri, betapa hebat dirinya dibandingkan dengan para pesaingnya.

Guna mempropagandakan serta mempertontonkan kehebatan, biayanya tidak kecil. Seluruh harta dipakai. Itu pun masih kurang sehingga harus utang. Maka, kalau menang, harus dibayar kembali. Bagaimana mendapat uang sebanyak mungkin untuk membayar kembali jika tidak dengan cara menyalahgunakan kekuasaan atau menggadaikan kekuasaan kepada penyandang dana?

Soekarno-Soeharto
Bagaimana dengan Bung Karno dan Pak Harto? Tidak demikian. Bung Karno dengan teman- teman membebaskan bangsa dari penjajahan dan perbudakan tanpa sedikit pun memikirkan diri sendiri. Dia berbuat tidak dengan kata-kata mempropagandakan betapa hebat dirinya memimpin bangsa. Dia langsung memimpin. Maka, Bung Karno sudah dikenal sebagai pemimpin hebat yang tidak tertandingi sebelum menjadi presiden. Dia tidak tertandingi dalam pengetahuan, visi, konsep-konsep pikiran, dan keberaniannya yang jelas-jelas menyerahkan jiwa raganya untuk kepentingan bangsa ini.

Begitu juga dengan pak Harto. Kita ingat, jatuhnya Bung Karno sebagai presiden didahului G30S. Saat itu bangsa ini dilanda kerusuhan, keonaran, kekacaubalauan, anarki, pembunuhan massal, dan chaos. Ketika itu, ada sekelompok pemimpin yang memberikan seluruh jiwa raganya untuk membereskan kekacauan ini. Banyak nama terkenal. Yang paling menonjol antara lain Jenderal Nasution, Jenderal Soeharto, Sultan Hamengbuwono IX, dan Adam Malik.

Seluruh dunia menganggap, yang akan memimpin bangsa Indonesia pasca-Soekarno sebagai presiden kedua RI adalah Jenderal AH Nasution. Namun, ketika Nasution tidak bersedia, Pak Harto didesak mau menjadi presiden. Jadilah Pak Harto Presiden RI kedua tanpa pemilu.

Bahwa akhirnya dikukuhkan MPR adalah urusan lain, tetapi pak Harto tidak pernah mempropagandakan, apalagi menjual diri, sebagai orang terhebat untuk memimpin bangsanya. Pak Harto memulihkan keamanan dan ketertiban dengan keyakinan Nasution sebagai presiden yang akan menggantikan Bung Karno. Saat itu para pemimpin tidak rebutan, tetapi berlomba tidak mau jadi presiden.

Berbeda
Sejak tahun 2004, keadaan berbeda. Para calon presiden berlomba menjadi presiden dengan cara-cara yang sebelumnya dinilai amat saru. Karena prestasinya belum ada, strategi menjadi pencitraan. Jika ditanya mengapa begitu ngotot ingin menjadi presiden, gubernur, wali kota, bupati, dan anggota DPR? Jawabnya ingin membaktikan jiwa raga, lahir batin bagi bangsa. Betulkah semulia itu?

Masihkah cara bernegara dan berbangsa yang tiba-tiba seperti di AS, sebagai ganti cara-cara yang dipikirkan dengan sangat matang atas dasar nilai dan kebudayaan yang khas Indonesia, akan diteruskan?

Kwik Kian Gie Ekonom Senior




Monday, October 30, 2006

Tragedi Karaha Bodas dan Kecerobohan

 http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0610/27/opini/3045966.htm

Jumat, 27 Oktober 2006

Siswono Yudo Husodo

Proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi Karaha Bodas kembali mencuat sebagai tragedi bagi negara.

Itulah putusan MA Amerika Serikat yang mengharuskan Indonesia dan Pertamina membayar ganti rugi 265 juta dollar AS (sekitar Rp 2,5 triliun) kepada Karaha Bodas Corporation (KBC), milik FPL Grouphic dan Caithness Energy LLC dari AS; guna menjamin pembayaran itu, dana milik Pertamina di Bank of America dan Bank of New York, hasil ekspor minyak kita, diblokir Pengadilan AS.

Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTPB) Karaha Bodas adalah salah satu megaproyek yang dijadwal ulang melalui Keppres No 39/97 saat Indonesia mengalami krisis ekonomi tahun 1997, dan satu-satunya yang mengklaim Pemerintah RI. Dengan alasan KBC mengalami kerugian akibat keppres itu, serangkaian gugatan hukum dilancarkan kepada Pemerintah RI dan Pertamina di Arbitrase Swiss, Pengadilan Singapura, Kanada, Hongkong, dan New York, di AS. Pemerintah RI dan Pertamina juga memperkarakan masalah ini di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. KBC, yang statusnya investor asing, dapat mengambil langkah itu karena kecerobohan penyelenggara negara di masa lalu.

Harga diri
Saya bukan ahli hukum, tetapi harga diri kebangsaan dan nalar saya mempertanyakan, bagaimana suatu proyek pengelolaan sumber panas bumi di Garut, wilayah Indonesia, untuk menyuplai tenaga listrik ke PLN harus tunduk pada hukum negara AS. Mestinya, tiap investor asing yang masuk negara kita diikat untuk tunduk pada hukum Indonesia, seperti saya alami di Arab Saudi dan RRC. Naskah asli kontrak menggunakan bahasa Inggris di negara Indonesia yang berdaulat dan memiliki bahasa nasional.

Saat penulis mendapat kontrak di China dan Arab Saudi, kontrak asli dalam bahasa China dan Arab, bahasa Inggris adalah salinan kontrak.

Pemerintah sejak dulu tampak tidak memiliki strategi jitu dan tidak mengerahkan ahli hukum yang tangguh guna melindungi kepentingan negara. Akhirnya kita harus membayar lebih dari nilai maksimal (265 juta dollar AS). Saya mendapat informasi dari seorang teknisi yang ikut membangun PLTPB Karaha Bodas (yang perlu diteliti), proyek itu dibuat dengan kualitas amat rendah dan bila dioperasikan akan banyak masalah.

PLTPB Karaha Bodas yang berkapasitas 500 MW belum siap dioperasikan. Komponen yang digunakan banyak yang tidak baru dan nilai investasi yang ditanamkan investor tak sampai 100 juta dollar AS. Kemenangan KBC bisa menjadi preseden yang diikuti yang lain. Negara kita dengan utang amat besar, ditambah hal-hal seperti ini, sungguh amat menyedihkan dan mengerikan.

Reaksi pejabat pemerintah— Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro dan Menteri Keuangan Sri Mulyani—tanpa ekspresi penyesalan menyatakan, pemerintah segera membayar klaim KBC. Pernyataan itu terkesan tidak menghargai keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memenangkan pemerintah saat sebelumnya; kewibawaan hukum kita dalam bahaya. Amat disayangkan. Meski kita tahu harus membayar, dan pejabat sekarang hanya menerima getah dari keteledoran pemerintahan terdahulu, sebenarnya amat perlu menyampaikan nuansa penyesalan dari institusi yang menangani tragedi ini (Departemen ESDM) kepada rakyat.

Pernyataan yang menggampangkan ini mengingatkan kita pada keputusan pemerintah yang dengan enteng memasukkan beras impor, yang membuat harga gabah di daerah-daerah yang panen September-Oktober anjlok dari Rp 2.000 per kg menjadi Rp 1.650 per kg. Padahal, kesalahannya pada manajemen distribusi Bulog, bukan karena produksi dalam negeri kurang. Banyak tampilan pejabat negara yang setelah ada suatu kesalahan seperti tidak punya rasa bersalah.

Kehausan rakyat
Ada kehausan rakyat hari ini untuk menyaksikan seseorang tampil di televisi menyatakan dirinya bertanggung jawab dan minta maaf atas bencana lumpur yang menyengsarakan orang banyak, merusak lingkungan Sidoarjo, dan menimbulkan kerugian ekonomi tidak kecil. Siapa yang harus tampil mengaku bersalah?

Kecerobohan besar seperti dalam proyek KBC bukan jarang terjadi dalam pengelolaan sumber daya ekonomi kita. Ketika BPPN melelang aset kebun-kebun sawit milik grup Salim, yang terdiri dari 12 perusahaan—total seluas 300.000 ha—dilelang dalam satu paket, dengan harga penawaran lebih dari Rp 3 triliun (dengan harga CPO 220 dollar AS per ton). Akibatnya, yang mampu membeli hanya Guthrie dari Malaysia. Mengapa tidak dibagi dalam 12 paket agar pengusaha-pengusaha nasional bisa ikut membeli?

Kini, hampir 30 persen kebun sawit di Indonesia dimiliki pengusaha asing (dengan harga CPO 517,5 dollar AS per ton). Desember 2002, 42 persen saham Indosat dijual kepada STT Singapura, Rp 5,6 triliun. Januari 2006, saat kita berencana membeli kembali, dihargai Rp 15,6 triliun, hanya dalam waktu tiga tahun, berlipat keuntungan pengusaha asing. Pengusaha nasional gigit jari.

Kita juga kerap diperdaya dengan landasan hukum yang kuat karena kebodohan sendiri. Kontrak dengan Exxon di Natuna akan berakhir tahun depan. Jika belum mulai diproduksi, seharusnya kembali menjadi milik kita. Tetapi, ada pasal yang berbunyi, kalaupun Exxon belum memulai eksploitasi, tetapi sudah memasukkan proposal rencana kerja, kontrak sah diperpanjang untuk Exxon.

Ini adalah pelajaran amat mahal dan berharga bagi kita, yang perlu mengundang investor asing, mengingat kita masih membutuhkan banyak modal dan teknologi dari luar untuk membangun, tetapi jangan sampai kita diperdaya semacam itu. Diperlukan pejabat negara yang cerdas dan sungguh-sungguh bertindak untuk kepentingan negara, bangsa, dan rakyat.

Kini pemerintah sedang getol mengundang investor asing. Pejabat-pejabat pemerintah berkeliling dunia menawarkan kepada AS, China, Jepang, Eropa, Malaysia, Singapura, dan negara-negara Timur Tengah aneka peluang investasi di Indonesia; Menteri Kehutanan menawarkan ratusan ribu hektar lahan kepada para investor luar negeri di bidang perkebunan; tetapi di sisi lain investasi di dalam negeri oleh pengusaha nasional tidak berkembang karena berbagai hal. Hati-hati! Kebanyakan ceroboh memberi konsesi, kelak dapat menyengsarakan rakyat.

Kebodohan atau permainan?
Mengingat di pemerintahan, begitu banyak kaum intelektual terbaik bangsa, aneka kecerobohan yang sebagian terkesan amat naif dilakukan, menimbulkan pertanyaan, ini kebodohan atau permainan? Seharusnya DPR dan BPK jeli melakukan pengawasan, dan kontrak-kontrak pengelolaan sumber daya alam perlu diteliti kembali. Sungguh aneh jika suatu tragedi yang menimbulkan kerugian negara Rp 2,5 triliun tidak ada pihak yang bersalah.

Kecerobohan yang berakibat kerugian besar bagi negara harus dihukum berat. Untuk kasus KBC, perlu diusut dari awal. Mulai dari siapa partner Indonesia, bagaimana mereka mendapat proyek ini dan diteliti kualitas pekerjaannya, siapa penyusun kontrak, dan lain-lain. Kepolisian, kejaksaan, lakukan tugasmu!

Siswono Yudo Husodo
Ketua Yayasan Pendidikan Universitas Pancasila



Tuhan, Agama, dan Negara

http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0610/27/opini/3041261.htm

Jumat, 27 Oktober 2006

Komaruddin Hidayat

Otoritas yang bersumber pada Tuhan, agama, dan negara sering bertabrakan dalam panggung sejarah.

Masing-masing menawarkan keselamatan dan pembebasan sekaligus menuntut loyalitas dan pengorbanan. Rasionalitas ketiganya berbeda dalam mewujudkan eksistensi dan peran di masyarakat yang penuh paradoks.

Ketiganya abstrak, tetapi peran dan pengaruhnya amat besar dalam sejarah kemanusiaan. Secara ontologis, agama dan negara adalah derivasi dan akibat firman Tuhan karena Tuhan adalah Maha-absolut, sumber dan akhir segala wujud. Namun, kini ketiganya hadir bersama dalam kesadaran manusia, menjelma dalam lembaga yang adakalanya saling memperebutkan hegemoni. Pada awal diwahyukan, firman Tuhan selalu memihak kaum tertindas dan melahirkan gerakan politik emansipatoris. Dalam perjalanannya, firman Tuhan terbelenggu lembaga yang kemudian dikooptasi tokoh-tokohnya dengan mengatasnamakan Tuhan dalam semua tindakan yang adakalanya represif-manipulatif.

Padahal, sejatinya ada rentang metafisis dan kognitif yang jauh antara Tuhan dan penalaran tokoh agama. Masing-masing pada arsy berbeda. Pemikiran agama adalah produk historis yang penuh muatan budaya, bersifat kondisional, dan relatif. Sementara Firman (F besar) bersifat absolut, tidak mungkin diraih secara utuh oleh nalar manusia yang nisbi.

Namun, tak jarang tokoh agama berbicara dan bertindak berdasar persepsi dan kepentingan pribadi, disakralisasi atas nama Tuhan agar berbobot sehingga lebih berwibawa saat akan memengaruhi massa.

Semua agama sepakat, Tuhan adalah Esa. Dialah satu-satunya pencipta dan pemelihara semesta, tetapi manusia memanggil- Nya dengan nama berbeda-beda. Selain beda sebutan, titik pokok perbedaan ada pada pemahaman, penafsiran, dan keyakinan seputar relasi Tuhan-manusia serta Tuhan-semesta.

Mereka yang beriman dan berislam pada Tuhan yakin, Tuhan Maha Kasih tetapi akan bertindak sebagai hakim yang mengadili semua yang manusia perbuat di bumi di akhirat. Bagi faham deisme, alam dipandang bagai jam raksasa yang bekerja otomatis, dan Tuhan bagai Sang Pencipta tidak akan campur tangan setelah ciptaan-Nya selesai.

Kontestasi agama dan negara

Pemahaman, sosok agama, dan negara senantiasa berkembang. Muatan dan spirit keberagamaan yang lahir belasan abad lalu pasti mengalami perkembangan karena zaman berubah.

Meski semula agama diyakini sebagai firman Tuhan yang menyejarah, pada urutannya lembaga-lembaga agama berkembang otonom di bawah kekuasaan tokoh-tokohnya. Wibawa Tuhan lalu mendapat saingan berupa institusi agama dan negara. Bahkan, negara lebih berkuasa dibandingkan dengan Tuhan dan agama dalam mengendalikan masyarakat. Atas nama negara, sebuah rezim bisa memberangus agama karena beranggapan, berbeda agama berarti berbeda Tuhan, dan perbedaan berarti ancaman bagi yang lain sehingga negara tampil sebagai hakim.

Dalam realitas sosial-politik, berbagai upaya dicari untuk menemukan format tepat bagaimana memosisikan ketiganya, yaitu kebertuhanan, keberagamaan, dan kebernegaraan. Indonesia sebagai negara yang rakyatnya memiliki semangat beragama yang tinggi sering digoyang tidak hanya oleh gelombang pasar global, tetapi juga konflik solidaritas dan loyalitas keagamaan yang melampaui sentimen nasionalisme dan kemanusiaan. Sering orang lebih membela kepentingan kelompok seagama meski di luar wilayah Indonesia. Atau lebih loyal pada kelompok atau partai yang mengusung simbol agama ketimbang pada cita-cita berbangsa, bernegara, dan  kemanusiaan.

Ketika kontestasi antara negara dan agama melahirkan krisis, sementara ruang agama dan negara dirasakan pengap, orang kembali merindukan Tuhan melalui caranya sendiri, di luar institusi agama. Mereka tak lagi percaya pada pengkhotbah dan janji-janji modernisme yang ditawarkan negara. Lalu muncul gerakan spiritual dan mistik yang ingin memperoleh pencerahan dan ketenangan batin di luar syariah agama. Mereka membangun dunia maya guna menemukan kembali spiritualitas (virtual world of spirituality).

Maraknya pusat meditasi dan latihan spiritual menjadi indikasi krisis kepercayaan pada lembaga agama, ilmuwan, dan politisi yang dinilai gagal menciptakan kesejahteraan dan kedamaian. Tidak heran jika muncul pemberontakan intelektual terhadap lembaga agama dan politisi yang keduanya sering bertengkar dan berkolaborasi.

Membangun sintesa
Secara teoretis normatif, baik agama maupun negara muncul untuk melayani masyarakat. Bahkan, negara merupakan anak kandung masyarakat. Tetapi, pada perjalanannya, lembaga agama dan negara sering meninggalkan jati dirinya sebagai pengayom, lalu berkolaborasi untuk mengawetkan kepentingan sekelompok elite penguasa sambil menindas masyarakat.

Tampaknya bangsa Indonesia masih bingung menemukan hubungan mapan untuk mempertemukan kesetiaan warganya pada Tuhan, agama, dan negara. Idealnya, ketiganya bersinergi membangun sintesa sehingga semangat kebertuhanan dan loyalitas pada institusi agama memperkuat loyalitas dan etika bernegara.

Konflik loyalitas dan pendekatan pragmatis serta ad hoc terhadap masalah besar akan terlihat tiap menjelang pemilu. Sepak terjang penguasa, elite politik, dan tokoh agama berebut massa guna mendapat legitimasi kekuasaan politik. Mengamati pemilu lalu, banyak tokoh agama berdiri dengan pijakan massa, bergandengan dengan politisi yang mengedepankan idiom kenegaraan dan menghadirkan Tuhan untuk menyakralkan permainan panggung politik yang sarat kalkulasi untung rugi.

Benturan dan kompromi antara ranah Tuhan, agama, dan negara tidak saja terjadi di Indonesia, tetapi juga tataran global. Benturan kian seru saat kekuatan modal besar yang diusung kapitalisme berlomba menancapkan pengaruhnya sehingga hegemoni Tuhan, agama, dan negara mendapat pesaing baru bernama kekuatan modal. Berapa banyak sarjana terbaik bangsa ini bekerja di kantor perbankan dan perusahaan besar tetapi tidak tahu untuk apa dan siapa mereka bekerja?


Komaruddin Hidayat
Direktur Program Pascasarjana UIN Jakarta


 

Saturday, October 28, 2006

Curry may keep elderly minds sharp

Curry may keep elderly minds sharp

Thu Oct 26, 12:10 PM ET

A diet containing curry may help protect the aging brain, according a study of elderly Asians in which increased curry consumption was associated with better cognitive performance on standard tests.

Curcumin, found in the curry spice turmeric, possesses potent antioxidant and anti-inflammatory properties.

It's known that long-term users of anti-inflammatory drugs have a reduced risk of developing Alzheimer's disease, although these agents can have harmful effects in the stomach, liver and kidney, limiting their use in the elderly.

Antioxidants, such as vitamin E, have been shown to protect neurons in lab experiments but have had limited success in alleviating cognitive decline in patients with mild-to-moderate dementia.

In their study, Dr. Tze-Pin Ng from National University of Singapore and colleagues compared scores on the Mini-Mental State Exam (MMSE) for three categories of regular curry consumption in 1,010 nondemented Asians who were between 60 and 93 years old in 2003.

Most of the study subjects consumed curry at least occasionally (once every 6 months), 43 percent ate curry at least often or very often (between monthly and daily) while 16 percent said they never or rarely ate curry.

After taking into account factors that could impact test results, they found that people who consumed curry "occasionally" and "often or very often" had significantly better MMSE scores than did those who "never or rarely" consumed curry.

"Even with the low and moderate levels of curry consumption reported by the respondents, better cognitive performance was observed," Ng and colleagues report.]

These results, they note, provide "the first epidemiologic evidence supporting a link between curry consumption and cognitive performance that has been suggested by a large volume of earlier experimental evidence."

Curry is used widely by people in India and "interestingly," the prevalence of Alzheimer's disease among India's elderly ranks is fourfold less than that seen in the United States.

"In view of its efficacy and remarkably low toxicity," curry shows promise for the prevention of Alzheimer's disease, the researchers conclude.

Reuters Health
SOURCE: American Journal of Epidemiology, November 1, 2006.

 

Sumpah Pemuda

 http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0610/28/opini/3054289.htm

Sumpah Pemuda yang hari ulang tahunnya ke-78 kita peringati hari ini, Sabtu 28 Oktober 2006, menurut rumusan Moehammad Yamin berbunyi sebagai berikut:

"Kerapatan pemoeda-pemoeda Indonesia jang diadakan oleh perkoempoelan- perkoempoelan pemoeda Indonesia jang berdasarkan kebangsaan dengan namanja Jong Java, Jong Soematra (Pemoeda Soematra), Pemoeda Indonesia, Sekar Roekoen, Jong Islamieten Bond, Jong  Bataksbond, Jong Celebes, Pemoeda Kaoem Betawi, dan Perhimpoenan Pelajar-pelajar
Indonesia; memboeka rapat pada tanggal 27 dan 28 Oktober tahoen 1928 di negeri Djakarta.

Sesoedahnja mendengar pidato-pidato dan pembitjaraan-pembitjaraan jang diadakan dalam Kerapatan tadi, sesoedahnja menimbang segala isi pidato-pidato dan pembitjaraan ini,  kerapatan laloe mengambil kepoetoesan: Pertama, Kami Poetera dan Poeteri Indonesia mengakoe bertoempah daraj jang satoe, Tanah Indonesia. Kedoea, Kami Poetera dan Poeteri Indonesia mengakoe berbangsa yang satoe, Bangsa Indonesia. Ketiga, Kami Poetera dan Poeteri Indonesia medjoendjoeng bahasa persatoean, Bahasa Indonesia.

Setelah mendengar poetoesan ini, kerapatan mengeloearkan kejakinan azas jang wajib dipakai oleh segala perkoempoelan-perkoempoelan kebangsaan Indonesia; mengeloearkan kejakinan persatoean Indonesia diperkoeat dengan memperhatikan dasar persatoeannja: kemaoean,
sedjarah, hoekoem B "adat, pendidikan dan kepandoean dan mengeloearkan pengharapan, soepaja poetoesan ini disiarkan dalam segala soerat kabar dan dibatjakan di moeka rapat perkoempoelan perkoempoelan kita."

Ketika rumusan tersebut dibacakan, semua peserta menyambut gembira (dikutip dari buku Menjadi Indonesia, Parakitri T Simbolon, Penerbit Buku Kompas). Sengaja kami kutip seperti aslinya dengan menggunakan ejaan lama. Bukan saja agar otentik, tetapi juga agar terasakan
warna, makna, dan getaran sejarahnya.

Apa tujuan Sumpah Pemuda yang bermuara pada Indonesia merdeka, yang diproklamasikan 17 Agustus 1945? Kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia, bermakna keadilan dan kemakmuran, tercakup dalam kemanusiaan yang adil dan beradab. Kemanusiaan berdimensi lengkap karena ber-Ketuhanan Yang Maha Esa.

Pergulatan dihitung dari Sumpah Pemuda, sudah 78 tahun. Dari Indonesia Merdeka 17 Agustus 1945, sudah 61 tahun. Tengok kiri dan kanan, layangkan hati dan pandangan ke seluruh penjuru Tanah Air. Bandingkan dengan negara-negara tetangga di Asia Tenggara, di Asia, di mana posisi tingkat keadilan dan kemakmuran sesama warga Indonesia? Masih terbatas hanya sanggup mengeluh dan menuding orang lain?

Atau, seperti yang dicetuskan para pemuda pada hari ini, 28 Oktober, 78 tahun yang lalu, bangkit, belajar tekun, bekerja keras, bersetiakawan, mengejar ketertinggalan. Bersosok sebagai pemuda bangsa yang berkepribadian serta berfaham kebersamaan Indonesia. Kita hidupkan, kita kembangkan, dan kita gelorakan kembali karakter kita sebagai bangsa.


Why Aceh peace missed the Nobel Peace Prize

From Aboeprijadi Santoso

Posted to Indonesian-Studies Mailing List on Oct 27, 2006

26 Oct. 2006

Why Aceh peace missed the Nobel Peace Prize
by Aboeprijadi Santoso


Much to the disappointment of many, the Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf-Kalla government has missed the 2006 Nobel Peace Prize just as it enters its third year. However, the fact that the prize was not awarded to key figures involved in Aceh peace, could have been expected. The implementation of the Helsinki pact signed last year is unprecedented. This has been recognized precisely by not awarding the prize.

The Norwegian Nobel Committee's decision is both traditional and innovative. As various peace efforts at state level were, as usual, considered, they opened a radically new horizon by awarding Muhammad Yunus and the Grameen Bank, introducing what is seen as a contribution  at grass root level of the war against poverty to peace. It's not a new paradigm, though, but one whose importance is now recognized and emphasized.

Peace is thus no longer viewed as a matter of working toward resolving conflicts at diplomatic level only. Situations on the ground could matter as much, as the devils often lie in crucial details. In both respects, though, Aceh peace may stand as a good example of, so far, a successful settlement.

Since no progress has been made on the Middle East, one of world's greatest headaches, it's fair to assume that Aceh, the only regional conflict settled last year, must have been considered seriously. President Susilo as well as GAM (Free Aceh Movement) top leader Hasan di Tiro presided over the general discourse that led to the deal. Susilo, the former general, had been particularly instrumental in two ways: by isolating the havik general Ryamizard Ryacudu in order to guarantee security on the ground, and by agreeing - albeit at the very last minute - to GAM's key demand on local political parties.

Credit, however, should go to Vice-President Jusuf Kalla and his team of five – significantly, all non-Javanese - who boldly pioneered a breakthrough by initiating a confident-building approach since mid-2003 and pushing toward a peace talk, and the peace-broker Martti Ahtisaari whose authority and skills had been highly respected and effective.

The former Finland's president Ahtisaari is an experienced diplomat with a strong self-confidence - "very firm" and "father like", according to both parties. Like him, though, the Noble institute views peace and its nurturing ultimately depend on the conflicting parties – not the mediator.

Noble Peace Prize winners are not necessarily those whom we believe to have done the greatest service for world peace. Surely, they must have made some contribution, however, the way the prizes were bestowed in the name of Alfred Nobel suggests that it should carry - as it did in recent past - a clear moral-political message. It should strengthen the values related to the cause the winners pursued, and in doing so encourage them toward the enhancement of peace, human rights and democracy.

Since the chances to resolve conflicts vary, the resolutions obviously cannot be expected to be readily visible, let alone credible. It follows, even in cases where the issues have been settled, one has to judge whether the solutions seem solid, or need to be pushed forward.

This, it seems, has been most critical: it is the ongoing processes toward peace with greater, not lesser, degree of difficulties, rather than some definite peace deals, that seem fit the mission of the Nobel Peace Prize - which thus needs greater consideration.

A number of cases demonstrate the importance of this pattern. Bishop F. Carlos Belo and J. Ramos-Horta had gone through a great deal of troubles to campaign for the East Timorese legitimate right to self-determination, yet their ideal seemed far from politically `realistic' by 1996 - hence, they got the prize then. Similarly, Nelson Mandela and Fredrik de Klerk were under heavy pressures from inside and outside during their negotiation to democratize South Africa when they were awarded the prize in 1993 – given the difficulties and critical situation, that was one long year before Mandela was finally released from prison.

The Northern Ierland parties (John Hume and David Trimble), too, needed a strong push by being awarded the prize in 1998 as the peace talk gained momentum while the decommissioning had yet to be implemented; the latter, as it turned out, took years before it materialized. Likewise, it seemed no coincident, that Mikhail Gorbachov was awarded the prize for his role in ending the Cold War in the critical year of 1990; and the critical nature was soon demonstrated by the pro-communist – and Yelstin coups.

Seen from this point of view, it's only natural that Aung San Syu Kyii got the prize in 1991. Being imprisoned by a military junta, the Burmese pro-democra-tic leader and winner of the 1988 elections was unable to lead a campaign herself the way Belo and Ramos-Horta did. She thus deserved the prize.

Another clear example of peace-effort-in-a-critical-momentum as a crucial criterion for awarding the prize, however, was when it was given to Yasser Arafat, Shimon Peres and Yitzhak Rabin in 1994. Never before had a better chance emerged to achieve a settlement in the Israel-Palestine conflict, yet it was also feared that the situation remained precarious (which proved correct as the talk later failed) – hence the Nobel push.

In short, no Nobel Peace Prize has in the last fifteen years been awarded to a definite peace settlement. Instead it was consistenly decided to push peace efforts which were at a critical moments or facing great stumbling block. Thus, Aceh did not, as some have argued, miss the prize because of the tsunami factor. It's true the tsunami had radically changed Aceh and made possible the Helsinki deal, but it should be noticed that the parties had in fact agreed to start talking only a week before the tsunami strucked.

Moreover, many, from the locals to European diplomats, who had been skeptic at the outset, have in the end applauded and generally believe in the peace pact and its implementation. No conflict has ever been resolved, with its crucial parts implemented, within less than two years as the Aceh issue.

So, why should anyone, with Nobel ideal in mind, give award to what is seen as a successful conflict settlement, rather than encouraging other important efforts toward peace, human rights and democracy? Aceh peace has thus become a victim of its own success.

The writer is journalist with Radio Netherlands.

 

Friday, October 27, 2006

Indonesia disaster shows risks of mud volcanoes

Indonesia disaster shows risks of mud volcanoes
Fri Oct 20, 2006 10:49am ET
By Alister Doyle, Environment Correspondent

OSLO (Reuters) - In a village in Indonesia's East Java province, a man is struggling to watch television with a volcano erupting in his living room.

Risks from volcanoes that ooze mud rather than spew lava have long been underestimated worldwide, even with a cataclysmic mudflow in another part of Java that has swamped an area the size of Monaco and forced 10,000 people from their homes.

Experts say the disaster, flooding the Sidoarjo region since May 29, highlights lack of knowledge about mud volcanoes, thousands of which have been found from Alaska to Australia. They range from tiny seeps to cones 500 meters (1,640 ft) tall.

"In Java nobody ever studied mud volcanoes," said Adriano Mazzini, a leading Italian volcano expert at the University of Oslo who says the Indonesian disaster may signal the first time people have recorded the birth of a mud volcano.

"In Indonesia they have other priorities -- magmatic volcanoes, earthquakes, tsunamis," he told Reuters.

On Java, villages about 10-20 km (6-12 miles) north of the mud eruption -- Gununganyar, Kalanganyar and Pulungan -- are built on old, near-dormant mud volcanoes that must have seemed attractive-looking mounds to village founders.

Pulungan was the most vivid example of ignoring the risks of mud volcanoes, such as subsidence.

"We went to one house where a man took us into his living room. He opened the cupboard beneath the television, and there were seeps erupting," Mazzini said after a recent trip. Continued...

Another home in Pulungan has collapsed and elsewhere many residents are worried by seeps of gas, mud and fluids. The volcano may have been stirred by an earthquake on May 27, two days before the catastrophic mudflow began.


BUILDING LIFTED
In Kalanganyar, the end of one long thin building had been lifted a meter or two over the years by the pressures from a mud volcano bulging beneath. "Mud volcanoes need better study," said Antje Boetius, a professor at the International University of Bremen in Germany.

She noted that they could cause disasters, ranging from subsidence to tsunamis. "They mean something for humans -- it's not just scientific curiosity," she said. Mud volcanoes are often caused by a build-up of pressure from sediments crushed several kilometers below the surface that release methane and other gases. They are often found near oil and gas deposits, also caused by a crush of organic matter.


As in Java, they can also happen near where tectonic plates of the earth's crust rub together. Mazzini said it was impossible to say how long the Sidoarjo flow would last. He said researchers would "probably never know" exactly what triggered the catastrophic mudflow at Sidoarjo, releasing the build-up of pressure deep below ground. The trigger might have been a magnitude 4 earthquake two days before the mudflow began, he said, or the drilling of a gas exploration well operated by PT Lapindo Brantas Inc, which is controlled by Pt Energi Mega Persada.
Mud volcanoes are rarely deadly since they more often seep rather than explode. In 1997, an eruption of a mud volcano at Piparo, a farming village in central Trinidad, threw mud 45 meters (150 ft) into the air, covering many homes. No one died.


In Azerbaijan, a large mud volcano that erupted in 2001 also released giant flares of methane.

© Reuters 2006. All Rights Reserved

Papuan fantasies


Jul-Sep 2006

Papuan fantasies
Advocates for Papuans need to examine their motives and prejudices.
Edward Aspinall

In the past, some Australians looked to the vast country of Indonesia to our north and saw only East Timor. Many such people, especially those in parts of the left and the Christian social justice lobby, now see only Papua. The reasons, they say, are obvious: there is a history of severe human rights abuse and Australia can do something.

No fair observer could deny that human rights problems have been, and continue to be, very great in Papua, despite some improvements since the fall of Suharto. Of course, supporting human rights there is still a legitimate cause. But advocates of the Papua cause need to ensure they are not also influenced by unexamined fears and prejudices.

After all, if a concern for human rights is the main motivation, why the paucity of interest in the human rights of the other 240 million or so people in Indonesia? When, for example, in March 2004 five protesting farmers were killed in Ruteng, Flores, the story didn’t rate in any major Australian newspaper. When tens of thousands of Indonesian workers protested for their rights in April, it caused hardly a blip in Australia, even though exploited Indonesian workers make many of the shoes and clothes that Australians wear.

One explanation for Papua’s appeal is that people in the west are often most interested in human rights in the context of independence struggles. Yet the romanticisation of independence struggles is not the whole explanation. The Indonesian army committed arguably worse abuses when fighting separatists in Aceh, with little concern from Australians. The Acehnese were Muslims and, to outsiders, ethnically similar to most other Indonesians. Secondly, over the past few decades the deep-seated hostility held by many Australians toward Indonesia has replaced a generalised fear of Asia. This is mixed with Islamophobia, especially since the Bali bombings. Some supporters of the Papuan cause play that card, emphasising that Christian Papuans are threatened by Muslim Indonesians.

Many Australian commentators add that Papuans should be independent simply because they are so ethnically or racially different from other Indonesians. Presumably, such people would be repelled by suggestions that different ethnic groups cannot co-exist in Australia, yet are unable to imagine that Melanesians and Southeast Asians can do so in Indonesia. Indonesia was founded on a multicultural ideal. Indonesian nationalists fought the racist exclusivism of Dutch colonialism while we were still in the grip of White Australia. Moreover, Papuans are not so dissimilar ethnically and religiously from their nearest neighbours in eastern Indonesia. Many Australians see only the difference between Java and Papua, and have no idea about what eastern Indonesians look like or the prevalence of Christianity in eastern Indonesia.
Finally, some Australians believe Papua is part of our natural sphere of influence and it is our duty to protect its inhabitants. These attitudes should make us reflect, given our colonial history in the region. The white man’s burden is already being reprised in the Solomons and PNG.
To repeat: none of the above is to deny that human rights problems are severe in Papua. However, Australian sympathisers need to reflect upon what motivates them, take care with their language and ensure that their concern for human rights in Papua does not prevent them from viewing other Indonesians, too, as human beings.

Edward Aspinall (edward.aspinall@anu.edu.au) works at the Australian National University and is chairperson of the IRIP Board. A longer version of this article appeared in the Sydney Morning Herald on 27 April 2006.

Justice for Papuans?

Jul-Sep 2006
Justice for Papuans?
New Human Rights Court fails victims’ calls for justice.
Annie Feith

In the early hours of 7 December 2000, an unidentified group of people attacked the police station at Abepura, a town just outside the provincial capital of Jayapura. Two policemen and a security guard died. Reprisal was swift and brutal, but was not directed against the attackers who had got away. Over a 24 hour period, Brimob (paramilitary police) troops raided several dormitories housing students predominantly from highland regions, and systematically brutalised them, fatally shooting one high school student, and injuring many more. One student was permanently incapacitated, while another man was crippled and later died from his injuries.
Of the more than one hundred students, men, women and children detained, many were beaten severely and tortured, two were tortured to death. Incredibly a Swiss journalist Oswald Iten witnessed the beatings at the police station. Police told him, he said, that this was normal procedure when a policeman was killed. Reformasi – hope for justice?

Confrontations between Papuans and security forces have occurred since as early as 1964, increasing in the volatile post-Suharto period. But while before reformasi security force abuse was rarely brought to justice, hopes were now raised. The Constitution had been amended to include a ‘bill of rights’ to protect citizen rights, and also the new Human Rights Court had been established in 2003.

By May 2001 Indonesia's National Human Rights Commission (KomnasHAM) submitted its investigation report, naming 25 suspects. Yet it took a further three years for the Attorney General’s office to bring the case to court, deciding only two of the 25 police would stand trial. In May 2004 the Human Rights Court in Makassar began hearings against the two accused.
A civil society coalition from Papua and elsewhere in Indonesia – The Coalition of NGOs for the Abepura Case - supported the victims and families over the five long years of their quest for justice. Making use of the provisions of Law No 26/2000 establishing the Human Rights Court, the coalition applied continual pressure and ensured that the case proceeded, despite apparent attempts by the authorities to hinder the case.

On 8 September 2005, in the Makassar court’s first major case, Brigadier General Johnny Wainal Usman was acquitted of charges of ordering the torture and killing of civilians. The following day Senior Commander Daud Sihombing was also acquitted. Sihombing, who was police chief at the time, and Wailan Usman, then BRIMOB commander, had allegedly ordered that the attackers be ‘hunted down’. The victim's claims for compensation were also dismissed.
Brother Budi Hernawan, a member of the KomnasHAM investigation team and a key supporter of the victims and their families, believes the result was a travesty of justice. The NGO coalition supported the victims believing that, in the new era and with the new Human Rights Court, they would get justice. The acquittal rendered this belief meaningless. Ordinary people in Papua no longer have any reason to believe in the legal process. Hernawan claims that there was ‘strong political influence’ on the judges and prosecutors. As Budi told ABC Radio National ‘I think this is a bad precedent for the whole justice system in Indonesia and the whole area of human rights.’
For the survivors, and their supporters, the acquittal was sign that ordinary people cannot get justice. Would the verdict have been any different if the victims had not been Papuans? During the beatings, one student recalled the police spitting on him and saying ‘Your mother eats pig and you have the brains of a pig! Even with your college degree you won’t get a job. You Papuans are stupid; stupid and yet you think you can be independent.’

This dehumanisation process is a powerful dynamic. John Rumbiak, ELSHAM’s former supervisor who was forced into exile following persistent death threats, draws parallels between the racism he observed in the US towards African-Americans and the treatment Papuans experience. To Papuans the legal reforms have made no difference. The security forces still seem able to abuse Papuans with impunity. After the Abepura case, how can Papuans hope that their interests will be protected by the ‘reformed’ justice system?


Annie Feith (annie.feith@optusnet.com.au) wrote a minor thesis on human rights NGOs in West Papua. (See http://www.papuaweb.org/.) She works as a Red Cross caseworker.See ‘To end impunity’ by Lucia Withers in Inside Indonesia No. 67, July-September 2001.

Plea for West Papua

Oct-Dec 2006


Plea for West Papua


A human rights activist responds to Ed Aspinall’s ‘Papuan Fantasies’, published in the last edition of Inside Indonesia.
Annie Feith


I imagine that I may be one of the people that Ed Aspinall has in mind when he refers to those ‘in parts of the left and the Christian social justice lobby’ who look to Indonesia and ‘see only Papua’. West Papua has only recently entered the consciousness of large numbers of Australians. Before that those concerned and knowledgeable about what is happening there was limited to scholars, church leaders who had direct contact with people in West Papua and human rights activists such as myself. I am in contact with many of the above mentioned people, all of whom share my concern for the right of West Papuans to dignity, the right to live in peace and the right to justice in the face of state perpetrated violence, along with everyone else on the planet. Like me, they are not anti-Indonesia or anti-Muslim. On the contrary many of us have a longstanding involvement with Indonesia.

Aspinall asks why we focus on West Papua rather than responding to human rights abuses elsewhere in Indonesia, accusing us of romanticising the independence struggle. If I examine my motives in working towards a just and peaceful West Papua, it is because as a fellow human being I believe that forty three years is too long for people to live under repression. As a human rights advocate, it is not for me to advocate independence, but rather to listen to what West Papuans themselves are saying; which is that they have not forgotten their betrayal at the hands of the international community in the 1960s. This keen sense of betrayal has been inflamed by the harsh nature of Indonesian rule over the past four decades. This is why when West Papuans call for dialogue, part of this dialogue must include an open discussion about the circumstances in which they became incorporated into Indonesia Once this has been acknowledged, then a process of negotiation can begin.
Racism or religion?
He also suggests racism and ‘Islamophobia’ motivates some supporters of West Papua. Whilst West Papuans themselves are worried about their increasing marginalisation as a result of uncontrolled arrivals of migrants, many of whom are Muslim, church and NGO leaders point out that they work co-operatively together with Muslims, both indigenous and Indonesian in their peace building efforts. No doubt some Australian Christians are motivated by a sense of solidarity with their fellow Christians in West Papua, however I do not believe that this a motivating factor for those like myself who are committed to human rights protection for all people, regardless of ethnicity or religion. Aspinall suggests support for West Papua could be a form of neo-colonialism, part of a reprisal of the ‘white man’s burden’. There are certainly some supporters of West Papua who feel that Australia and the Netherlands let West Papuans down when the governments of these countries reversed their stance and supported the Indonesian take over of West Papua. But this does not entail a desire to control the destiny of West Papuans — it signals a sense of shame at their governments’ support for the denial of West Papuans to decide their own destiny. Aspinall is wrong to say that our concern for human rights in West Papua prevents us from ‘viewing other Indonesians, too, as human beings’. This is simply not true. Contrary to what Aspinall refers to as ‘some improvements since the fall of Suharto’, the situation on the ground has markedly deteriorated since 2002. Following a brief period of political openness during Gus Dur’s presidency, there has been an increase in political repression and a refusal on the part of the central government to engage in genuine dialogue with West Papuan leaders. It is in the interests of people who support the democratic transition in Indonesia to support a demilitarised and democratic West Papua. West Papuans should have the right to speak without fear about their aspirations, and it makes no sense to ignore the fact that this means talking about self-determination, and the circumstances in which West Papua became part of Indonesia.
Annie Feith (
annie@cohre.org) is a West Papua human rights advocate.

Dial-an-Obstetrician hits Aceh

http://www.reliefweb.int/rw/rwb.nsf/db900SID/AMMF-6UWGLP?OpenDocument

Source: World VisionDate: 25 Oct 2006Indonesia:
Dial-an-Obstetrician hits Aceh
by Katrina Peach - Communications

Indonesian village midwives assisting pregnant women with complicated births in the tsunami-ravaged province of Aceh will be able to dialhelp next month thanks to an innovative World Vision project.The ICT4D, or Information Communications Technology for DevelopmentProject, is a world first and will enable the midwives to phone adoctor or obstetrician 24 hours a day, seven days a week, wheneverthey face a challenging delivery.Indonesia has one of Southeast Asia's highest maternal mortality rates, at 307 deaths per 100,000 live births; a figure that is seventimes higher than that of neighbouring Thailand and five times higher than China. The rate of infant mortality during birth in Indonesia iscurrently 42 per 1,000 live births.The remote province of Aceh, which was ravaged by the December 2004tsunami that left 130,000 locals dead and another 570,000 homeless,has one of the highest maternal mortality rates in Indonesia.The project involves cooperation between World Vision, Unicef and the United Nations Population Fund (UNFPA) in collaboration with the USA'sprestigious Massachusetts Institute of Technology.Last week, more than 200 Acehnese midwives and local midwife coordinators undertook training in the provincial capital of BandaAceh to prepare for the launch of the programme in November.103 midwives were provided with general capacity training to increase their knowledge of difficult deliveries and improve their skills at data collection and they will form part of a "control group". An additional 123 midwives and eight midwife coordinators received the same training as well as special lessons in the use of mobile phones and how to communicate remotely with doctors and obstetricians. Thesecond group will be provided with mobile phones next month and willuse them to dial assistance when they face challenging deliveries."This is a first for World Vision and a very exciting project with the potential to save lives," World Vision Indonesia Tsunami ResponseDirector David Taylor said."We know that there are opportunities to harness technology fordevelopment and this is a pilot project which, if successful, could berolled out in other provinces and countries where World Vision works,"he said.The project is being piloted in Aceh Besar district, which has apopulation of 321,459 people living in 601 villages spread across 22sub-districts.

Adakah Cara Selain Reboisasi?

[Posted by K.Kadiman on FPK milis - Oct 24, 2006]

Adakah Cara Selain Reboisasi?
Bambang Setiadi

AKHIR bulan Agustus lalu, setelah sidang kabinet, suatu program dicanangkan oleh Menteri Kehutanan DR. M Prakosa, yaitu rencana mengatasi kekeringan di Pulau Jawa dengan melakukan reboisasi di 21 kawasan DaerahAliran Sungai (DAS). Dana yang dibutuhkan mencapai Rp 10 triliun. SECARA teknik-akademik, reboisasi memang berkaitan langsung dengan neracagerak air hujan setelah jatuh menimpa Bumi. Prinsipnya, hujan yang jatuh mempunyai kesempatan untuk lebih lama tinggal di permukaan maupun dalam tanah karena kemampuan tanaman menahan laju jatuhnya hujan. Cara lain menahan hujan dengan sumur tadah hujan, penampungan hujan di rumah-rumahpenduduk secara langsung hanya di arahkan untuk kepentingan jangka pendek.Karena itu, masuk dalam nalar bahwa untuk mengatasi kekeringan perlu program reboisasi. Masalah yang muncul adalah program reboisasi adalah ide dasar yang baik, tapi selalu ruwet dalam proses pelaksanaan dan pendanaannya. Artikel ini diarahkan menuju dua sasaran yaitu reboisasi sebagai isu sentral dan mencari kontra isu reboisasi.

Pendanaan reboisasi
Harus ada keberanian sekarang ini untuk menyatakan bahwa dalam tata pengelolaan hutan di Tanah Air kita reboisasi tujuannya benar, namun sistem pendanaan reboisasi selama ini adalah pendekatan yang salah.Buktinya sederhana, laju kecepatan pencurian kayu hutan mencapai 1,3-2,4juta hektar tiap tahun melebihi angka pulihnya hutan kita akibat program reboisasi. Angka keberhasilan reboisasi sulit dicari hingga saat ini.Namun, justru yang sering muncul adalah angka perkiraan bahwa total kerugian akibat pencurian kayu hutan mencapai Rp 30 triliun tiap tahun.Dalam kosa kata sederhana, berapa pun uang kita taruh untuk memperbaiki hutan dengan pola reboisasi tak pernah akan mampu memulihkan kondisi hutan kita. Selisih angka kerusakan dan keberhasilan amat besar. Akibatnya,reboisasi menjadi sebuah upaya sia-sia. Kasus yang paling "gres"dilaporkan 60 persen pelaksanaan reboisasi di Kaltim gagal. Dana reboisasiRp 200 miliar tidak digunakan untuk reboisasi tapi untuk pembangunan fisik. (Kompas, 25/08/03) Kalkulasi-kalkulasi pesimistik tentang kondisi hutan kita disuarakan serentak oleh berbagai kalangan. Bank Dunia meramalkan, dalam 10 tahun lagi Indonesia tidak akan punya hutan alam produksi lagi. WALHI lebih pesimis lagi hanya tinggal 5 tahun lagi. Dengan menggunakan citra satelit,Join Research Centre Italia memperkirakan semua hutan dataran rendah Sumatera akan hilang 2005, dan hutan Kalimantan hilang tahun 2010. Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari komponen SDA bidang kehutanan adalah sekitar 2,4 persen atau sekitar Rp. 1,2 triliun, sedangkan penerimaan negara yang hilang akibat illegal logging adalah 25 kali PNBP dari sektor kehutanan. Pertanyaannya: masih realistiskah penerapan konsep reboisasi dalam situasi kehutanan yang ruwet seperti itu?

Bioright
Sekarang, sedang muncul berbagai pemikiran tentang menyelamatkan hutan dengan prinsip pendanaan yang sangat berbeda dengan reboisasi. Pertama,hutan bukan lagi dilihat sebagai kapital, namun hutan adalah bank. Artinya, kita bisa memanfaatkan hutan tanpa merusak. Kedua, hutan dirusak karena menjadi penghasilan utama masyarakat sekitar hutan yang dipengaruhisistem bisnis kayu yang kuat dan tersembunyi di luar masyarakat sekitar hutan.Pada prinsip pertama, saat ini kalau kita manfaatkan hutan bukan untuk menjual kayunya, tapi justru bagaimana menyelamatkan kayu tersebut sebagai fungsi yang lebih penting, untuk biodiversity atau menahan hujan. Pada prinsip kedua kita bisa bandingkan, hutan-hutan di Eropa dan Jepang sangat terjaga fungsi dan potensinya, itu disebabkan masyarakat yang tinggal disekitarnya memang kaya tidak perlu membabat kayu. Jadi, mereka tak pernah melihat hutan sebagai penghasilan, tapi sesuatu yang harus dijaga.Buktinya, Jepang meski mempunyai hutan, mereka tak pernah memotong satupun kayu hutannya untuk industri, mereka beli dari hutan kita. Demikian juga negara-negara Eropa.Prinsip pengelolaan hutan- termasuk reboisasi-tanpa menggelontorkan dana langsung ke sektor kehutanan dikenal dengan nama Bioright. Secara sederhana, jalan pikirannya adalah pembabatan hutan melalui illegal logging dilakukan masyarakat sekitar hutan karena mereka memang miskin.Tak ada alternatif lain. Karena itu, yang harus diperbaiki adalah masyarakat sekitar hutan, dengan diberikan lapangan kerja dan cara hidup yang lebih murah dan mudah. Misalnya, kita memperoleh dana untuk reboisasi-baik dari dalam maupun luar negeri- mungkin dana itu dapat digunakan untuk membuat sekolah dan pengobatan gratis di lingkungan masyarakat hutan, membuka lapangan kerja baru atau membuka akses-aksespertumbuhan ekonomi seperti jalan raya dan sebagainya. Nanti, pada saatnya, masyarakat sekitar hutan yang sudah mapan itu akan menjaga hutan,bukan merusaknya. Hutan itu sendiri mungkin tak memerlukan banyak investasi. Hutan kita sebagian besar tumbuh berkembang tanpa pernah ada yang menanam. Biarkan saja, ia akan mengatur dirinya sendiri.Menurut rencana, tahun ini akan direboisasi 300.000 hektar, tahun depan direncanakan 500.000 hektar. Pada dua tahun itu, kemungkinan angka rusak hutan kita sudah mencapai sekitar 3-4 juta hektar. Dengan tingkat penyimpangan yang demikian besar pada setiap pelaksanaan program reboisasi, maka kita boleh khawatir reboisasi tak akan pernah menjadi jalan penyelesaian masalah kerusakan hutan di Tanah Air kita. Angka-angkanya mengatakan begitu.

Dr. Bambang Setiadi Koordinator Tim Indonesia untuk Laboratorium Alam Hutan Gambut

What’s Wrong with Your Doctor-Patient Relationship?

By Emily Battaglia, LifeScript Staff Writer
Wednesday, October 25, 2006


It’s a common scenario:
You go the doctor with a health concern. He tells you it’s nothing to worry about and to keep an eye on it. You leave with questions unanswered, feeling dejected. Why is there such a discord in your relationship? Could it be negatively affecting your health and well-being? Find out what’s missing from your doctor-patient relationship. Plus: Are you a hypochondriac?

Why the Dissatisfaction?
Your health is both you and your doctor’s primary concern, yet you each have different ideas on how to achieve it. Doctors and patients come from two different frames of mind. For the doctor, the illness is physiological. For the patient, the illness is not just physical, but also emotional. In medical school, doctors spend years learning about the human body, but spend only a small amount of time being trained in developing a good bedside manner – the way in which a doctor interacts with the patient.

Some doctors are naturally more relatable while others are simply more interested in fixing the medical illness. But medicine is one part physical, one part emotional – you can’t treat one without acknowledging the other. As patients, we are desperate to close this gap with our doctor. In fact, we often judge them not only on the actual medical care they provide, but on their bedside manner as well.

What Patients Want
Detached. Uncaring. Unemotional.

Do these words describe your doctor? As a patient, not only do you want the best medical advice tailored to your individual needs, but you also want a doctor who sees you as a person, not just a walking illness.

More time
You probably spend more time in the waiting room than in your actual appointment. This can be very frustrating, and affects the quality of your visit, and maybe the quality of your health. Unfortunately, in the era of managed care, your doctor must accommodate a large number of patients a day, some needing more attention than you.

Stop talking, start listening
Yes, you want to know what could be wrong with you, but you also want to know that your doctor is really listening and acknowledging your worries. Doctors tend to dominate the discussion and use rapid-fire questioning about symptoms, leaving you little room to express how you feel emotionally.

Empathy
You’re talking to your friend about your health concerns. You mostly want her sympathy and reassurance everything will be OK. Same goes for your doctor. You want a diagnosis, but you also need him or her to understand and anticipate your emotional needs. Sometimes it’s as simple as the doctor sitting down instead of standing up, making eye contact and asking questions about your family or line of work. When a doctor really listens and empathizes, patients heal quicker.

You may also feel judged or ridiculed by a doctor. Dr. Terry Bennett told one patient she was too fat and could die if she didn’t lose weight. The patient thought the comment was insensitive and unprofessional; the doctor needed to be blunt to get his point across. She filed a complaint with the New Hampshire Board of Medicine demanding recourse. It’s unclear if Dr. Bennett’s candidness actually motivated the patient to lose weight, but this case certainly highlighted part of the discord between patient and doctor.


What Doctors Want
As a patient, you’re just as important in this relationship as your doctor is. It’s important not to become a “problem patient” who isn’t honest about or exaggerates symptoms, who wants a quick fix or instant cure, and who demands prescriptions or refuses to follow instructions or finish prescribed treatments. Not only does your doctor have to earn your respect, but you have to earn your doctor’s respect as well, not lose it.

Your honesty and trust
To get the best medical care, your doctor needs you to be candid about your symptoms, medical history and use of other alternative medicine, no matter how embarrassed you may feel. Avoid being melodramatic when describing pain, or your doctor may not believe you and therefore can’t properly treat you. Your doctor also needs you to trust his or her medical expertise, and not to do anything to undermine his or her recommendations. If you’ve done your homework and picked the right doctor, trust their expertise. But don’t be afraid to speak up or get a second opinion if something they say or do doesn’t feel right.

Your doctor wants to be honest with you too, just like the doctor who told his patient she was “too fat.” In this case, the doctor didn’t want to sugarcoat the truth – he wanted to make the greatest impact for change that he thought he could.

Your understanding
Seeing so many patients and managing so many cases a day can mentally exhaust doctors. Doctors also manage very emotionally-trying cases, which can drain their mental and emotional energy. So when you come in with your complaints of a sore throat and cough, your concerns might pale in comparison to what else the doctor has seen that day.

What Else Can You Do as a Patient?
Never settle for a doctor you don’t like, regardless of their credentials. But don’t make snap judgments either. Give yourself enough time to establish a rapport. It can take more than one visit for your doctor to get to know you on a more human level. Since time constraints can affect the quality of the visit, help your doctor by preparing a list of symptoms and questions upfront. Be assertive, but not controlling.

Your body is complex, both physically and emotionally. The better patients can articulate their needs, the better doctor-patient relationships will become.

Are You a Hypochondriac?
Do you run to the doctor every time you have a runny nose? Do you pack your medicine cabinet with so many bottles that you put the pharmacy to shame? While some may find a hypochondriac’s behavior humorous, those who are hypochondriacs have very real fears when it comes to their health. Take this
hypochondriac quiz.

Dhani Ahmad Menebarkan Benih-benih Cinta

http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0610/27/lebaran/3052043.htm

Jumat, 27 Oktober 2006

Perdamaian
Dhani Ahmad Menebarkan Benih-benih Cinta

Cara berpakaian setiap manusia saja beda, apalagi keyakinannya. Bagaimana mungkin semua itu bisa diseragamkan? Kata-kata ini meluncur dari mulut pemusik Dhani Ahmad Prasetyo (34), yang akrab dikenal sebagai Dhani Manaf atau Ahmad Dhani. Menurut dia, Allah SWT menurunkan banyak agama agar manusia dapat memilih mana yang cocok. "Sesuai dengan anatomi spiritual masing-masing," ucapnya sambil melempar senyum. Saat ditemui Kompas di rumahnya di kawasan Pondok Indah, Rabu (18/10) pekan lalu, Dhani tengah bersantai. Pada layar komputernya yang terbuka tampak halaman utama website Myspace Music. "Masih jetlag dari Amerika nih," ujarnya sambil melangkah ke luar ruangan hendak berganti kaus oblong.
Musisi yang gemar mempromosikan toleransi itu memang baru saja pulang dari Amerika Serikat (AS). Ia mewakili Lib for All Foundation— yayasan yang bergiat dalam mendorong tumbuhnya toleransi antarumat beragama yang didirikan KH Abdurrahman Wahid—mengikuti simposium yang digelar Departemen Pertahanan AS. Di hadapan para jenderal AS di Colorado Springs, Dhani berpidato tentang Islam dan toleransi. Pidato yang memperoleh standing ovation itu ternyata membutuhkan persiapan yang tidak enteng. "Kata ’embryonic’, misalnya, saya harus melatih mengucapnya sehari penuh," kata Dhani.

Sejak lima tahun lalu Dhani mulai gemar berkontemplasi. Mengingat Tuhan dilakukannya tidak hanya pada bulan Ramadhan, tetapi hampir setiap saat. Tasawuf dan sufisme digalinya. Tasawuflah yang mengajarkannya untuk menghormati tiap agama dan kepercayaan manusia dari dalam hati. "Bukan sekadar di mulut," ucapnya.

Pluralisme
Grup Dewa sendiri bernyanyi untuk pluralisme dan toleransi. Baginya, yang penting adalah melaksanakan aktivitas sosial yang mendorong generasi muda untuk lebih menghargai agama dan kepercayaan lain. Bagi Dhani, toleransi itu harus dilakukan dari hati terdalam. "Misalnya, dengan menghargai banyaknya persepsi terhadap agama Islam itu sendiri," tuturnya.
Lewat penampilan di televisi, ia berharap anak-anak muda dapat tertularkan semangat pluralisme yang dibawa Dewa. Pengaruh televisi yang kuat akan meraih banyak penonton, tidak hanya para Baladewa—sebutan bagi penggemar Dewa. "Saya tidak bisa memaksakan sesuatu, paling tidak hanya menularkan," katanya.

Dengan lagu-lagu semacam Laskar Cinta, ia memasukkan pandangannya. Pesannya pun sesungguhnya sederhana, hanya Tuhan yang berhak menyatakan manusia kafir atau bukan. Bukan manusia yang menghukum manusia lain. Liriknya bahkan terinspirasi oleh surat Al Baqarah Ayat 62, yang menegaskan bahwa mereka yang benar-benar beriman kepada Tuhan, apa pun agamanya, akan menerima pahala. "Doktrin pluralismenya sangat kuat," kata Dhani mengacu pada ayat tersebut.

Konser di Poso
Jika ada kesempatan, Dhani juga ingin berkonser di Poso, wilayah yang pernah dilanda konflik sosial di Sulawesi Tengah. Sayangnya, hingga saat ini izin dari kepolisian belum juga diperolehnya. Terkait dengan krisis di Poso, ia merasa hal itu menunjukkan bangsa yang belum dewasa. "Hanya anak kecil yang bertikai," ujar suami Maia Estianty itu. Jika Indonesia sudah dewasa, pasti pertikaian itu akan hilang dengan sendirinya. Sekarang Indonesia sudah berada di jalan yang tepat.

Tahun depan Dhani berencana mengeluarkan album solo dan tur ke AS yang disponsori Lib for All Foundation. "Kita tunjukkan bahwa dalam agama Islam itu ada kelembutan," ujar Dhani.
Maka pengagum gitaris Queen, Bryan May, itu pun melantunkan lirik-lirik Laskar Cinta: Sebarkanlah benih-benih cinta. Musnahkanlah virus-virus benci. Bukankah kita harus saling mengenal dan menghormati, bukan untuk saling bercerai-berai dan berperang angkat senjata. (AB7)

Dokter dan Tanggung Jawab Sosial

http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0610/26/opini/3050462.htm

Kamis, 26 Oktober 2006

Dokter dan Tanggung Jawab Sosial
Kartono Mohamad

Apakah kehadiran dokter membuat kesehatan masyarakat menjadi lebih baik? Ini pertanyaan lama yang melatarbelakangi Ivan Illich menulis The Medical Nemesis, 1970-an. Ia mengkritik pelayanan kesehatan modern yang membuat rakyat kian sakit. Pertanyaan itu relevan dan sulit dijawab hingga HUT ke-23 Ikatan Dokter Indonesia (23 Oktober). Selama ini pemerintah menanam anggapan bahwa kehadiran dokter akan meningkatkan kesehatan masyarakat. Anggapan itu seolah janji. Bagaimana para dokter membuktikan janji itu? Hal itu bergantung pada motivasi dokter saat mengikuti proses pegawai tidak tetap (PTT). Adakah ia ikut PTT agar lepas dari kewajiban dan bisa masuk spesialisasi, atau masuk PTT agar segera diangkat menjadi PNS dengan segala fasilitasnya, atau benar-benar ingin mengabdi dan menjadi agent of change di masyarakat. Pemerintah agaknya tak hirau soal itu, yang penting secara politis telah menunjukkan perhatian terhadap kesehatan rakyat. Apakah kehadiran dokter membuat masyarakat lebih sehat atau tidak itu soal lain.

Data Departemen Kesehatan ihwal derajat kesehatan rakyat dibandingkan dengan jumlah dokter di provinsi menunjukkan asumsi itu tidak benar. Jumlah dokter per 100.000 penduduk di Maluku, misalnya, mencapai 28 orang. Lebih tinggi dari jumlah dokter per 100.000 penduduk DKI Jakarta yang 22 orang. Namun, dari tingkat kesehatan rakyat (misal angka kematian bayi), Jakarta lebih baik dibandingkan dengan Maluku. Pemerintah (dan DPR) tentu akan menggunakan dalih geografis dan komunikasi sebagai alasan, padahal kedua faktor itu adalah given factor sehingga mestinya diperhitungkan saat membuat janji kepada rakyat. Di perkotaan, asumsi ketersediaan dokter akan membuat kesehatan rakyat kota lebih baik tidak terbukti. Kasus ketidakmampuan mengendalikan demam berdarah, TBC, HIV, bahkan malaria muncul kembali di beberapa tempat, menunjukkan derajat kesehatan rakyat kota tidak menjadi lebih baik meski banyak dokter ada di kota.

Harapan kepada dokter
Ihwal motivasi dan kesiapan dokter terjun ke masyarakat, jika hanya ingin menjadi PNS, sikap kreatif dan berani berinisiatif tidak akan muncul. Selama 30 tahun lebih, PNS digembleng untuk hanya mengabdi dan patuh kepada atasan tanpa perlu berinisiatif bagi masyarakat. Kenaikan pangkat dan jabatan tidak didasarkan keberanian berinisiatif untuk rakyat, tetapi kepandaian menjilat atasan. Buat apa repot-repot melayani masyarakat? Faktor pendidikan di fakultas juga berperan membentuk motivasi. Pendidikan kedokteran kita, seperti dikatakan Seldin terhadap pendidikan kedokteran Amerika tahun 1950-an, membentuk dua macam dokter. Pertama, kelompok dokter ilmuwan-teknisi yang mengandalkan diagnosis kepada bantuan laboratorium (dan teknologi). Kedua, kelompok dokter yang dididik sebagai empirical users of science.
Keduanya mempelajari manusia sebagai parts and particles dalam menangani pasien. Yang satu mengandalkan analisis ilmiah yang harus didukung teknologi, yang lain mendasarkan pengalaman ilmiah empiris. Keduanya bagus, tetapi tidak pernah, atau sedikit, diperkenalkan kepada pasien dalam konteks sosialnya sehingga dokter tidak mampu melihat perannya di masyarakat. Maka, mungkinkah mengharap dokter menjadi agent of change masyarakat. Dengan menempatkan dokter seperti itu, disertai harapan mereka akan dapat meningkatkan derajat kesehatan rakyat, bisa jadi hal sebaliknya yang terjadi. Adanya dokter mungkin memudahkan dan memperbaiki layanan kesehatan, tetapi tidak pernah mampu menekan angka sakit (morbiditas) atau malah meningkat.


Peranan organisasi profesi
Di negara berkembang, organisasi profesi kedokteran selalu menjadi kelompok elite. Suatu privilese yang dapat dijadikan kekuatan ke arah yang baik bagi rakyat atau sebaliknya. Kini organisasi profesi ini dinilai skeptis bahkan sinis oleh masyarakat Indonesia karena dinilai tidak sesuai harapan masyarakat. Ada e-mail kepada saya mengatakan, dokterlah yang membuat layanan kesehatan di Indonesia tidak bermutu dan mahal sehingga sebenarnya mereka ikut memiskinkan rakyat. Yang mungkin tidak disadari para dokter adalah mereka telah terbawa arus neoliberalisme yang menyerah kepada pasar. Layanan kesehatan yang diberikan lebih mengikuti selera hedonis masyarakat tanpa menggunakan ilmu dan kekuatannya untuk mengurangi hedonisme ini dan mengarahkannya kepada layanan bermutu berdasar the real needs masyarakat yang dilayani. Para dokter pun mengutamakan hedonis sendiri. Kesempatan ini ditangkap industri farmasi dan alat kedokteran sehingga terjadi kolusi, yang disebut medico- industrial complex. Pasien digunakan dokter untuk menekan industri agar memenuhi keinginannya dan industri memanfaatkan kesempatan untuk kepentingan omzet jualan. Pasien hanyalah komoditas. Pemerintah tidak peduli dengan hal itu karena tujuan politisnya tercapai dengan menempatkan dokter di mana-mana. DPR pun tidak peduli masalah itu. Dalam kesenjangan itu, masyarakat berharap organisasi profesi menjadi jembatan.


Yang jadi pertanyaan bukan mampukah, tetapi maukah mereka menjembatani kesenjangan antara harapan rakyat dan selera politis pemerintah. Sayang, saat masyarakat mengeluhkan layanan kesehatan, mereka merasa dijadikan sasaran, lalu seperti pemerintah, bersikap defensif tanpa mencoba mengurai masalahnya. Kepercayaan masyarakat bahwa mereka berani tegas terhadap anggota yang menyimpang ikut menurun karena dibayangi perasaan, mereka juga tertuduh lalu membela diri. Ketika rakyat tidak dapat meminta perlindungan pemerintah, DPR, dan organisasi profesi, pembangkangan sosial pun dilakukan. Yang miskin tidak percaya kepada dokter, memilih tawaran alternatif yang sebetulnya tidak murah atau bermutu, sedangkan yang kaya ke luar negeri. Lucunya, para dokter yang tidak percaya diri menanggapi hal ini dengan menjadi pengobat alternatif, jadi agen pabrik obat, atau agen produk MLM melalui praktiknya.

Kartono Mohamad Mantan Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI)

Radio Nederland Wereldomroep, 26 Oktober 2006

WARTA BERITA RADIO NEDERLAND WERELDOMROEP
Edisi: Bahasa IndonesiaIkhtisar
berita disusun berdasarkan berita-berita yang disiarkan olehRadio Nederland Wereldomroep selama 24 jam terakhir.----------------------------------------------------------
Edisi ini diterbitkan pada:Kamis 26 Oktober 2006 14:20


* INDONESIA MEMBELI PESAWAT TERBANG ISRAEL
Indonesia berniat membeli empat pesawat terbang tak berawak buatanIsrael, The Searcher Mark II, lewat sebuah perusahaan Filipina. Empatpesawat itu berharga enam juta dolar. Indonesia tidak mempunyaihubungan diplomatik dengan Israel, namun akan membeli pesawat Israelitu lewat Kital Philippines Corporation. Penawaran Israel itumengungguli 42 penawaran lainnya dari seluruh dunia, antara lain dariRusia dan Belanda.

* PEMBUATAN KAPAL PERANG UNTUK INDONESIA
Mayoritas anggota parlemen Belanda menyetujui pembuatan dua kapalperang jenis korvet untuk Angkatan Laut Indonesia, oleh galangan kapalDe Schelde. Partai Kristen Demokrat CDA, Partai Konservatif VVD danPartai Buruh PvdA mendukung rencana pemerintah Belanda mengekspor duakapal itu ke Indonesia. Partai-partai beraliran kiri seperti PartaiSosialis SP dan Partai Hijau GroenLinks menentangnya, sebab merekakhawatir dengan pelanggaran hak-hak azasi manusia di Indonesia.Angkatan Laut Indonesia membutuhkan kapal perang itu, untuk memerangipenyelundupan senjata internasional, dan peningkatan aksi perompak diSelat Malaka.

* AUSTRALIA TERKEJUT DENGAN UCAPAN IMAM
Australia terkejut dengan ucapan imam Taj Din al-Hilali dari mesjidterbesar di Sydney, yang menyatakan, wanita muslim yang terlihat dijalanan tanpa kerudung kepala mengundang pemerkosaan terhadap dirinya.Sang imam menyamakan wanita tanpa kerudung kepala dengan segumpaldaging tanpa bungkus. "Bila daging tanpa bungkus itu terletak dijalanan dan dimakan kucing, kesalahannya bukan terletak pada sangkucing." Komisaris anti diskriminasi Australia, Pru Goward, murka danmenganggap sang imam mesti diusir dari Australia. Menurut Goward,khotbah imam itu memarakkan kekerasan terhadap wanita. Ini bukanpertama kalinya imam Hilali menimbulkan sikap kontra di Australia. Duatahun lalu sang imam berujar, bahwa teror 11 September di AmerikaSerikat adalah karya Allah.

* SYARIAH DI INDONESIA
NRC Handelsblad menyajikan kolom lain, yaitu syariah di Indonesia.Kolom itu menarik, sekaligus dapat membuat kita bingung sendiri. Disatu pihak kita dengar ada hukuman cambuk dan potong tangan, di lainpihak ada suara yang mendukung syariah sebagai solusi yangmencerahkan. Indonesia, negara dengan 200 juta muslim moderat, justrusibuk menerapkan syariah. Aceh, Jawa, Sulawesi, semuanya sibukmerangkul syariah.Di Tangerang ada syariah, namun hukuman cambuk diubah menjadi hukumandenda. Walikota Tangerang disayangi rakyatnya, berkat syariah itu. DiMakassar idem dito, syariah diterapkan, bahkan dengan dukungankalangan Hindu dan Katolik. Sistimnya win-win situation mirip di jamankolonial dulu "larangan minum alkohol buat muslim, suguhan angguruntuk umat Katolik." Di Aceh, syariah diberlakukan terhadap tiga hal:selingkuh, judi dan minuman keras. Hukuman cambuk di Aceh amat marak,tapi hukuman cambuk bukan monopoli syariah saja, bukan? Singapura jugamenerapkan hukuman cambuk, malah menganggapnya sebagai hukuman yang efektif.Satu-satunya efek negatif yang dirasakan di Indonesia adalahdiskriminasi terhadap kaum perempuan. Perempuan bisa dihukum bilatidak mengenakan kerudung kepala. Seorang wanita di Tangerang yangtelah menikah dan sedang hamil, ditahan semalaman di kantor polisidengan tuduhan melakukan praktek asusila. Pemerintah Daerah diajukanke pengadilan dan prosesnya masih berjalan. Aktivis perempuan Makassaryang berjilbab tidak setuju syariah. "Itu adalah masalah perilakuperorangan, bukan masalah hukum pidana," katanya. Dan yang penting,tidak boleh merugikan kaum perempuan.Demikian harian NRC Handelsblad dan demikian pula Tinjauan Pers hari ini

* DERADIKALISASI MUSLIM EKSTRIM DIPERKENALKAN DI BELANDA
Kelompok Muslim radikal yang menyesali gaya hidup radikalnya dan akhirnya kembali ke ide-ide moderat: Apa yang disebut kaum Muslim yang terderadikalisasikan ini tidak menarik perhatian di Belanda.Mengherankan, karena jalan keluar atas masalah radikalisme justru bisa dicari di kalangan yang menyesali pilihannya itu. Sejarawan IslamBelanda Roel Meijer bertutur mengenai orang-orang di negara-negaraArab yang menyesalkan pilihan mereka. Fenomena ini sudah lama dikenaldi sana. Lebih jauh laporan redaktur internet Arab, Michel Hoebink.Menurut Roel Meijer, sejarawan pada Universitas Radboud di Nijmegen,Eropa seharusnya belajar dari negara-negara Arab soal kalangan muslimradikal dan orang-orang muslim yang kembali menjadi moderat. Meijerterutama menunjuk pada Mesir. Sejak pertengahan tahun 1980an, dinegeri ini sebagian besar pemimpin Islam yang menganggap agama mereka sebagai agama kekerasan, bertobat dalam masa tahanan dan memeluk doktrin revisionis moderat.Tahun 2002, para pemimpin Jam'aat Islamiyya, gerakan radikal Islamterpenting di Mesir, dari penjara mengumumkan mereka bersumpah tidakakan menggunakan kekerasan lagi. Alasan mereka sangat pragmatis.Para pemimpin menunjukkan bahwa jihad kekerasan terhadap Mesir, yangberlangsung bertahun-tahun ternyata tidak membawa hasil. Jihad tidak menjadikan Mesir negara Islam idaman. Selain itu juga tidakmenghasilkan penyebaran agama Islam yang lebih luas. Kendati demikian,penolakan kekerasan itu dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip Islam.Ajaran radikal takfir, yang mengijinkan penggunaan kekerasan terhadapkalangan muslim lain setelah mereka disebut kafir, ternyataditinggalkan. Negara, yang sebelumnya dianggap 'musuh intern' dankarena itu diperangi, kini diakui sebagai wakil legitim kaum Muslim,yang patut dipatuhi.Setelah pembunuhan spektakuler Presiden Anwar Sadat tahun 1981,sebagian besar pemimpin gerakan radikal Mesir dipenjarakan. Generasimuda Jama'at Islamiyya terus membangun negara di dalam negara diMesir, yaitu di pedesaan di Mesir Selatan dan wilayah pinggiran Kairo.Kaum radikal melancarkan serangan terhadap wisatawan dan kalangan minoritas Kristen Koptis. Sejak 1990 mereka terlibat konflik denganpemerintah Mesir, yang menewaskan ratusan jiwa.Di penjara, mereka yang disebut pemimpin bersejarah ini, mengalamiperkembangan sebaliknya. Mereka semakin moderat dalam pendiriannya dantidak mendukung pertikaian bersenjata yang sudah tak terkendali. Sudahsejak 1993, mereka berupaya bertindak sebagai penengah dalam konflikantara pemerintah dan pendukung mereka, guna mengakhiri kekerasan.Semula, pemerintah Mesir tidak tertarik. Tapi ketika menjadi jelasbahwa kelompok radikal telah ditaklukkan dan pemerintah akhirnya harusmenghadapi masalah 30 ribu tahanan politik, maka tiba waktunya untukrujuk.Tahun 1999, dua tahun sebelum serangan di New York, Jama'at Islamiyyaresmi melepaskan kekerasan. Tahun 2002 para pemimpin dengan ide-iderevisionisnya menerbitkan empat buku dan serangkaian wawancara hebohdengan majalah pemerintah al-Musawwar. Mereka juga menerbitkan tigabuku lain. Di dalamnya mereka resmi menyangkal doktrin Al Qaeda yangmembenarkan jihad kekerasan.Deradikalisasi para pemimpin Jama'at Islammiyya jelas merupakan hasilindoktrinasi pemerintah. Kalangan cendekiawan moderat dikirim kepenjara untuk berbicara dengan pemimpin-pemimpin radikal dan memberimereka bacaan Islam mengenai jihad dan hal-hal sejenis.Apa yang bisa dipelajari Eropa? Menurut Roel Meijer, sejarah Jama'atIslamiyya Mesir membantah gagasan paranoia orang Barat bahwa denganmenjadi radikal maka Islam telah menunjukkan wajah aslinya.Radikalisme adalah sebuah pilihan yang selalu ada pada setiapideologi. Dan di dalam agama Islam, kaum radikal tidak bersikap laindaripada sosialisme, misalnya.Sejarah Jamaat Islamiyya menunjukkan bahwa pilihan untuk menjadi Islamradikal, sama seperti pilihan menjadi radikal dalam ideologi-ideologilainnya dan itu tidaklah tetap sifatnya. Itu juga berubah-ubah. Orangbisa meninjau kembali pilihannya. Seringkali ini hanya dorongan hatisementara pada kalangan muda yang cepat naik pitam. Radikalisme jugasering ditinggalkan begitu saja, seperti pada awalnya juga dirangkulbegitu saja. Ini terjadi apabila situasi berubah. Ketika itu terlihatbahwa ideologi atau agama bisa dijelaskan secara berbeda dansebenarnya menentang penggunaan kekerasan. Hal serupa terjadi padapara pendukung Tentara Merah RAF dari Jerman dan Brigade Merah Italiayang pada tahun 1970an membunuh politikus Italia Aldo Moro. Setelah 30tahun membaca banyak buku, mereka keluar dari penjara dengan menyesali pilihan radikal itu.

* BELANDA SETUJUI KORVET UNTUK INDONESIA
Galangan kapal De Schelde di Vlissingen, Belanda Selatan, diijinkan menjual dua kapal korvet kepada Angkatan Laut Republik Indonesia.Persetujuan parlemen yang dibutuhkan untuk mengekspor senjata didukungmayoritas partai pemerintah CDA (Kristen demokrat) dan partaikonservatif VVD. Partai oposisi sosial demokrat PvdA juga mendukungkeputusan pemerintah Belanda mengeluarkan ijin penjualan kapal korvetini. Dengan demikian muncullah mayoritas anggota parlemen. Laporanredaksi di Hilversum.Keputusan menjual korvet kepada Indonesia ini adalah hasil debatantara pemerintah yang diwakili oleh Menteri Luar Negeri Ben Bot danMenteri Muda Perdagangan internasional Karien van Gennip denganparlemen Belanda. Di Belanda penjualan penjualan perlengkapanpertahanan harus memperoleh persetujuan parlemen. Indonesia akanmenggunakan kapal berkecepatan tinggi ini dalam aksi melawan bajaklaut di Selat Malaka dan penyelundupan senjata.Dua partai oposisi kiri: SP atau partai Sosialis dan GroenLinks atauKiri Hijau menentang. Keduanya belum yakin kapal korvet ini tidak akandimanfaatkan oleh pemerintah Indonesia untuk melanggar hak-hak asasimanusia. Juru bicara partai Sosialis SP Harry van Bommel:Harry van Bommel: Sudah jelas kapal korvet tidak pas untuk perang lautbesar-besaran. Kalau kita bicara soal pelanggaran hak-hak asasimanusia, persenjataan ringan dan pengangkutan personil militer, makakorvet adalah kapal yang bisa dimanfaatkan untuk melanggar hak-hakasasi manusia. Dan di masa lalu kapal-kapal ringan juga dimanfaatkanuntuk pelanggaran hak-hak asasi manusia. Jadi pemerintah janganmengatakan korvet tidak cocok untuk dimanfaatkan untuk melanggarhak-hak asasi manusia.Menteri Luar Negeri Belanda Ben Bot menolak pendapat opisisi kiri ini.Ben Bot: Indonesia punya cukup kapal untuk mengangkut pasukan. Sayatidak percaya mereka melakukan hal ini. Dan yang penting, kapal korvetjustru tidak cocok untuk dimanfaatkan sebagai kapal pengangkutpasukan. Pasalnya kapal ini kecil, anda saya undang untukmengunjunginya dan bisa menyaksikan betapa kecilnya kapal ini.Ditambah lagi dengan persenjataan ringan dengan meriam 176 milimeteryang mustahil bisa digunakan untuk melanggar hak-hak asasi manusia.Selanjutnya senjata lainnya hanya bisa dipakai untuk bela diri.Partai oposisi kiri terbesar, partai sosial demokrat PvdA, memintajaminan dalam ijin penjualan yang menyebut bahwa kapal korvet initidak akan digunakan oleh tentara Indonesia untuk melanggar hak-hakasasi manusia. Namun usul ini ditolak oleh Ben Bot, yang menganggapkurang pas untuk menuntut hal ini kepada Indonesia, padahal Belandasudah membangun hubungan harmonis dengan Indonesia selama tahun-tahunterakhir ini."Boleh saja kita kritis, tetapi penting juga untuk sesekali memberikepercayaan", demikian menlu Belanda Ben Bot, yang menambahkan kontrolpersyaratan ini susah sekali. Menurut Ben Bot presiden Susilo BambangYudhoyono bekerja keras mewujudkan reformasi antara lain di tubuhmiliter. Memang situasi dan kondisi di Papua belum seratus persenbagus namun Indonesia berusaha memperbaikinya dengan serius. Botberjanji, setelah penyerahan kapal-kapal korvet ini akan tetap aktifberembuk dengan Indonesia ihwal pelanggaran hak-hak asasi manusia.

* TARIAN DARWISH BERPUTAR MENYEBAR CINTA,SERAYA MENOLAK KEKERASAN
Pengantar: Islam adalah agama kedamaian, sama seperti agama lain. Tapi kedamaian Islam kerap tercoreng oleh pelbagai aksi kekerasan, mulaidari penggerebekan kafe, penutupan tempat ibadah agama lain danpeledakan bom. Ajaran sufisme mencoba menguatkan kembali pandanganIslam sebagai agama damai, santun dan ramah. Salah satu bentuknyaadalah tarian yang melibatkan putaran tubuh dan lantunan dzikir.Wartawan KBR68h Budhi Kurniawan mengajak kita berkenalan dengan tarianDarwish Berputar, dalam laporan berikutSuasana pujianMenarilah! Maka sang sufi pun menari, diiringi puji-pujian kepada Tuhan.Suasana pujianMereka sebut tarian itu The Whirling Darwish, atau Darwish Berputar.Darwish adalah sebutan para pengikut Jalaluddin Rumi, ahli sufi terkenal. Ya, para darwish itu memang berputar-putar berlawanan denganarah jarum jam. Semakin keras lantunan pujian, semakin cepat pulagerak putaran seorang darwish. Semakin keras lagi, semakin cepat lagiputarannya.Saat berputar, darwish merentangkan kedua tangan. Tangan kanan keatas, sedangkan tangan kiri ke bawah. Mereka mengenakan baju putihyang lebar bagian bawahnya, seperti rok kaum perempuan. Mereka jugamengenakan topi yang memanjang ke atas, khas para Darwish. Saat paraDarwish menari berputar, berkibarlah baju bagian bawah mereka,menjadikannya indah, sedap dipandang mata.Arif Hamdani, Presiden Direktur Rabbani Sufi Institut Indonesia.Arief Hamdani: Jadi ketika tangan kanan ke atas menyalurkan hidayahdari Allah. Disebarkan melalui tangan kiri. Dari hidayah kemudiandisebarkan ke seluruh umat. Untuk ketika yang berada dalam lingkaran,di seputar dzikiran nanti ruhnya akan terasa, akan tergerak.Tarian Darwish Berputar ini diciptakan oleh sufi terkenal, JalaludinRumi, untuk mengungkapkan cinta kepada Tuhan.Arif Hamdani: Cinta ilahi. Hingga kini, Maulana Jalaludin Rumibuku-bukunya menarik banyak orang untuk mengenal Allah. Jadi MaulanaJalaludin Rumi tidak dibatasi agama, ras. Sufisme dari dulu selalumenjembatani antara Islam dengan non-Islam, antara ulama denganseniman, antara ulama dengan masyarakat umum.Jalaludin Rumi adalah penyair sufi dari Persia yang hidup pada abadke-13. Ia terkenal tak hanya di Timur tapi juga di Barat.Karya-karyanya yang berupa puisi banyak disukai kalangan akademikAmerika dan Inggris, sejak dulu. Kepopuleran terjemahan puisi sufiRumi menarik minat banyak seniman. Di antaranya adalah penyairAmerika, Coleman Barks, serta diva pop dunia, Madonna.Melalui tarian berputar yang diciptakannya, Rumi hendak menyebarkancinta pada sesama manusia. Itulah inti ajaran sufisme: cinta. Karenaitu, tarian sufi Darwish Berputar tidak cuma dilakukan orang Islam,tapi boleh juga dimainkan penganut agama lain di luar Islam.Arif Hamdani soal agama-agama di mata Jalaludin Rumi.Arif Hamdani: Jalaluddin Rumi mengatakan yang mengatakan engkau Islam,Yahudi, itu manusia. Bagi Allah, semuanya sama. Rumi mengenalkan Islamyang penuh cinta, penuh toleran, yang saat ini demikian kering.Sufisme ini tasteful. Dia menari, bermain musik, menulis, melukis, dansebagainya. Harusnya Islam itu penuh toleransi, penuh cinta. Saat inicinta ini telah hilang, mereka saling menyakiti. Islam yang kerasmenyakiti hati muslim yang toleran.Karena itulah Rumi mengajak umat Islam untuk menari. Menari dalam danuntuk cinta.Salah seorang penari Darwish Berputar ini bernama Micki. Bagi Micki,tarian itu digerakkan oleh cinta yang dalam kepada sang Pencipta, NabiMuhammad dan guru-guru mereka. Karena itu ia mengaku tidak pernahmerasa pusing atau lelah, meski sudah menari berputar lebih dari satu jam.Micki: Yang menggerakkan rasa cinta yang menggebu-gebu. Rindu. Cinta.Rasa cinta terhadap Allah, Rasulullah, Syeikh... Itu yang membuatbergetar rasa cinta. Tidak bisa diungkapkan dengan kata. Kalau Maspingin rasain, Mas rasain deh. Kalau awal-awal mual, kalau sekarangnggak. Kalau awal mungkin buat yang belajar, suka mual, muntah. Tapikalau sekarang, alhamdulillah gak pernah muntah.Penari lain, Iskandar, mengatakan tarian ini bisa menyembuhkanpenyakit-penyakit ringan.Iskandar: Katanya bisa untuk pengobatan. Salah satu teman saya,dulunya pernah sakit batuk, sudah lama. Tapi setelah dia ikutWhirling, batuknya sembuh sampai sekarang. Anaknya jadi gemuk. Sayakalau dibilang sakit, juga nggak. Paling sakit batuk. Saya dibilangin,makanya ikut whirling saja kamu, biar sembuh.Tarian Darwish Berputar ini biasanya dilakukan di Dzawiyah atau tempatdzikir penganut Tariqat Naqshabandi Haqqani Rabbani. Salah satunya diCinere, Jakarta Selatan. Selama bulan Ramadhan berlangsung setiapmalam, seusai shalat tarawih. Seratusan orang biasanya hadir. Merekaduduk melingkar, dipimpin salah satu guru mereka. Di tengah-tengahlingkaran itulah, tarian Darwish Berputar ini dilakukan oleh limasampai sepuluh orang. Diiringi lantunan dzikir.Suasana WhirlingTarian Darwish Berputar juga bisa dilakukan tanpa iringan dzikir,meski dorongannya mungkin tak lagi kuat. Tarian ini juga bisadilakukan dengan iringan musik bertemakan kecintaan kepada Tuhan.Misalnya Micki dan kawan-kawan yang kerap menari diiringi lagu LaskarCinta, nyanyian kelompok musik Dewa 19.Lagu laskar cintaArif masih punya keinginan besar untuk menyebarluaskan tarian DarwishBerputar dan sufisme. Salah satunya dengan memadukan tarian ini dengantarian Indonesia, misalnya tari saman. Selain itu juga denganmempopulerkan tarian ini di hotel maupun kafe.Menurut Arif, langkah itu dilakukan agar ajaran sufisme yang dibawakanRumi bisa disukai banyak orang.Arief Hamdani: Jadi kita ini memang diperintahkan untuk turun kejalan-jalan, kafe-kafe, mol, ke mana saja untuk berwhirling, karenadengan putaran whirling maka ruh akan dengan mudah kita tarik.Suasana tarianLalu apa sebenarnya ajaran sufisme? Sufisme dalam bahasa Arab disebutal-tashawwuf. Para ahli berbeda pendapat tentang asal usul kata ini.Ada yang berpendapat kata itu berasal dari bahasa Arab yang artinyajernih atau terpilih. Asalnya dari bahasa Arab shaffin, al-shafwah.Ada juga yang beranggapan kata sufi berasal dari kata shuf yangartinya domba. Dulu, kaum sufi umumnya mengenakan pakaian dari kulitdomba atau wol kasar, untuk melambangkan gaya hidup sederhana.Ada juga yang menduga kata sufi berasal dari kata ahlu al-shuffah,yaitu para sahabat nabi yang menempati salah satu pokok masjid Nabawidi Madinah. Mereka rajin beribadah, tidak menikah, miskin dan hanyamenyimak serta mencatat ajaran-ajaran Nabi. Selain itu ada juga yangberpendapat al-tashawwuf berasal dari kata Yunani sofia, yang beratikebijakan.Pengkaji tasawuf Ibnu Arabi, Guntur Muhammad Romli mengatakan kegiatanberdzikir dan beribadah hanyalah sebagian dari kehidupan para sufi.Seperti manusia biasa, seorang sufi juga mesti bekerja untuk mencukupikebutuhan sehari-hari.Guntur Muhammad Romli: Pandangan itu tidak benar kalau sufi hanyaidentik dengan berzikir atau beribadah di mesjid dan musholah saja.Karena kita mendapatkan banyak dari tokoh sufi yang juga memilikikegiatan di luar mesjid dan musholah. Salah satu yang saya contohkanadalah Abul Hasan Assazili. Ia adalah pendiri tariqat Ass Shidziliyah.Dia berperang melawan tentara sewaktu perang salib. Dan jugapergerakan kemerdekaan seperti di Sudan, Aljazair, dan Tunisia, danadalah pengikut tariqat yaitu dari ajaran sufisme. Memang sufimengajarkan tetap dalam berdzikir. Namun berdikir itu tidak hanyaberdzikir lafadz saja tapi dalam setiap dalam kehidupan sufi merekaselalu bersama dengan Tuhan.Lalu, apakah seorang sufi bisa dan boleh kaya? Tentu saja. Kembali,Guntur.Guntur Muhammad Romli: Ada doa Nabi yang diamalkan oleh para sufi, "YaAllah jadikanlah dunia itu di tanganku bukan di hatiku."Maksudnya parasufi menginginkan harta benda kekayaan, dia bisa kendalikan. Sesuatuyang dikendalikan dengan tangan bukan yang merasuk ke dalam hatinya.Banyak sufi yang kaya. Para pendiri tariqat seperti Abul HasanAssadzili. Dia memiki harta meskipun tidak berlimpah tapi dia mencukuppara murid-muridnya. Karena sufi itu kan orang yang gampang beramal,memberi tanggungan kepada pengikut, kepada masyarakat.Kaya ataupun miskin, ajaran yang ingin disebarluaskan sufisme adalahtoleransi dan cinta. Melalui sufisme, Islam diharapkan bisa diterimaoleh penganut agama lain, tanpa kekerasan.Presiden Direktur Rabbani Sufi Institut Indonesia, Arif Hamdani.Arif Hamdani: Kalau kita kenal di Indonesia pun ada Wali Songo yangmenyebarkan Islam. Sunan Kali Jaga menyebarkan islam dengan wayang,istilahnya ada senjata kalimasada, menyebarkan islam dengan kesenian.Sunan Ampel menciptakan lagu ilir-ilir; ini menyebarkan cinta juga.Para sufi menyebarkan Islam dengan kesenian.Memang, di Indonesia, ajaran sufisme sudah lama berkembang. Parasufilah yang mula-mula menyebarkan Islam di negara ini.Pengkaji tasawuf, Guntur Muhammad Romli.Guntur Muhammad Romli: Dan ini yang menunjukkan perbedaan antarakarakter keislaman di Indonesia dan Timur Tengah. Kalau Anda melihat,Islam di Timur Tengah, Islam masuk dengan perang, dengan penaklukan.Nah, karakter keras dalam keislaman di sana, terpengaruh oleh gayamasuknya Islam. Tapi di Indonesia, Islam masuk dengan suasana yang santun dan ramah, karena dibawa oleh para sufi. Sufi adalah orang yangberjiwa besar, mereka menyebarkan Islam dengan penuh toleran,persahabatan, pendekatan yang baik dengan masyarakat di Indonesia.Wajah Islam yang ramah dan toleran adalah wajah Islam yangdikembangkan oleh para sufi. Bukan dengan penggerebekan kafe,penyerbuan, penutupan tempat ibadah agama lain, bukan pula dengankekerasan.Suasana tarian whirlingDan lewat tarian Darwish Berputar juga, wajah Islam yang santun danramah disebarluaskan kepada semua orang.Wartawan KBR68h Budhi Kurniawan melaporkan untuk Radio NederlandWereldomroep di Hilversum.----------------------------------------------------------Radio Nederland Wereldomroep, Postbus 222, 1200 JG Hilversum
http://www.ranesi.nl/http://www.rnw.nl/