Thursday, April 14th, 2011
oleh : Teguh Poeradisastra
oleh : Teguh Poeradisastra
Kemampuan dan profesionalitas perempuan sudah diakui dan tak perlu diragukan lagi. Namun, mengapa kehadirannya sebagai pemimpin masih tetap menjadi minoritas? Karenanya, jangan merengek menanti diberi kesempatan atau kuota. Perempuan perlu aktif merebut peluang, tanpa meminta perlakuan khusus.
Pada 1975, PBB pernah mencanangkan Dasa Warsa Perempuan. Tujuannya adalah meningkatkan peran perempuan agar bisa menjajari posisi kaum pria. Namun, hingga akhir Dasa Warsa Perempuan pada 1985, ternyata tak ada perubahan yang signifikan. Berdasarkan ekspose peranannya di media masa, tak ada perbedaan yang signifikan pada peran perempuan selama satu dekade itu. Kaum perempuan lebih banyak tampil dalam peran sebagai pasangan hidup (spouse) dan pesohor (selebritas). Ketika pada 2005 dilakukan penelitian serupa, hasilnya masih setali tiga uang. Sorotan tentang perempuan masih lebih banyak berkutat seputar dapur dan pupur.
Di Indonesia pun, meski kita telah memiliki kementerian yang mengelola berbagai upaya untuk meningkatkan harkat perempuan sejak dua dekade lalu, peran perempuan masih tak terlalu menggembirakan. Ani Soetjipto dalam Seminar “Women, Leadership and Development in Muslim Communities of Southeast Asia: Strategies, Opportunities and Challenges” Agustus 2010 di Jakarta menyebutkan kontribusi perempuan di pemerintahan atau eksekutif masih sangat kecil. Di pemerintahan, selama 2004-10, jumlah perempuan menteri hanya tiga dari 36 menteri (8,3%), gubernur satu dari 33 (3%), kepala daerah tingkat dua delapan dari 440 (1,8%), dan wakil kepala daerah tingkat dua 18 dari 440 (4,09%).
Hingga kini pun perempuan di banyak belahan dunia masih mengalami diskriminasi. Sigi Chartered Management Institute di Inggris pada medio 2010 menyebutkan selama hampir 60 tahun penghasilan pria manajer di Inggris lebih tinggi daripada sejawat wanita mereka pada posisi yang sama. Memang selama 12 bulan terakhir gaji kaum perempuan naik 2,8% dibandingkan sejawat pria. Namun, sebagian pria yang memperoleh penghasilan paling tinggi masih mendapat gaji 25% lebih besar dibandingkan sejawat mereka yang berbeda gender.
Laporan Voice of America pada Agustus 2010 juga menyebutkan jumlah eksekutif perempuan di perusahaan-perusahaan Amerika Serikat masih sangat sedikit, dan gaji mereka masih lebih rendah dibanding eksekutif pria. Sementara laporan Radio Australia (ABC) Maret 2011 menyebutkan Pemerintah Australia memperingatkan perusahaan-perusahaan di Negeri Kanguru ini agar berupaya lebih serius untuk meningkatkan jumlah perempuan di pucuk kepemimpinan perusahaan. Menteri Status Wanita, Kate Ellis, mengatakan akan mengkaji situasinya dalam 18 bulan ini. Jika tidak ada perubahan, Pemerintah Australia akan membuat aturan yang mewajibkan perusahaan meningkatkan jumlah eksekutif wanitanya. Bahkan juru bicara oposisi bidang keuangan, Joe Hockey, mengusulkan kuota 30% untuk posisi direktur wanita di perusahaan.
Jika kita telusuri lebih jauh, ternyata di berbagai belahan dunia posisi-posisi puncak – baik kursi pemerintahan maupun bisnis – masih sedikit sekali dijabat kaum perempuan. Bahkan, sampai-sampai Uni Eropa merancang undang-undang yang mewajibkan pada 2015 sedikitnya harus ada satu wanita duduk di dewan direksi perusahaan.
Meski keadaannya masih memprihatinkan, harus diakui dari tahun ke tahun jumlah eksekutif wanita terus bertambah. Seperti diprediksi Patricia Aburdene dan John Naisbitt dalam Megatrend for Women (1992), semakin lama akan semakin banyak ranah yang cocok untuk wanita, karena tuntutan pekerjaan – terutama di posisi puncak – akan semakin membutuhkan otak dan perasaan, bukan otot dan kekerasan. Wanita pun tak lagi hanya berkutat seputar bisnis fashion dan kecantikan, melainkan juga merambah ke dunia teknologi informasi, jasa keuangan, pendidikan, dan banyak lagi.
Di Indonesia pun dunia bisnis semakin disemarakkan kaum perempuan. Jabatan yang mereka sandang tidak hanya level menengah, tetapi juga manajemen puncak. Ini merupakan fakta yang patut diapresiasi. Apalagi, di antara para wanita eksekutif ini banyak juga yang sukses memimpin sektor-sektor bisnis yang selama ini dianggap macho. Di puncak perusahaan Pertamina, misalnya, ada Karen Agustiawan – yang merangkap jabatan sebagai Direktur Utama dan Direktur Operasi Hulu. Lantas, di dunia otomotif ada Amalia Tjandra, Direktur Pemasaran Astra Daihatsu Motor, dan di bidang penerbangan ada Achirina, Direktur SDM PT Garuda Indonesia Tbk.
Di tengah perkembangan teknologi yang membuat pekerjaan lebih menuntut kecerdasan dan kreativitas, sulit mengatakan kaum perempuan lebih rendah daripada kaum laki-laki. Syukurlah, berdasarkan sigi SWA terhadap 32 eksekutif wanita pada 2008, sebanyak 71,88% responden merasa pria dan wanita mendapatkan kesempatan yang sama. 100% responden juga yakin bahwa perusahaan bisa lebih maju dan sukses, baik dipimpin pria maupun perempuan. Bahkan, 46,88% di antara para eksekutif ini mau dan yakin mampu menjadi CEO.
Yang tak kalah menarik, mayoritas (68,75%) dari responden yang menduduki kursi puncak ini pernah bercita-cita menjadi CEO. Cita-cita adalah modal awal, mimpi yang dilakukan ketika kita tidak tengah tertidur, dan karena itu ditekadkan serta diperjuangkan agar terwujud. Cita-cita ini dapat terwujud karena perpaduan antara perjuangan kita dan dukungan orang-orang di sekitar kita.
Para perempuan yang menjadi pemimpin puncak ini mengakui pentingnya kombinasi kedua hal ini. Tanpa dukungan pasangan hidup, sulit bagi mereka untuk mengibarkan kemampuannya dan mendaki hingga puncak.
Namun, dukungan ini tidak sepantasnya dalam bentuk memberikan kuota bagi perempuan atau mengenakan sanksi bagi perusahaan yang tak memiliki eksekutif perempuan. Kebijakan seperti itu tak lebih dari pelecehan terhadap kemampuan kaum hawa. Biarkan perempuan aktif merebut peluang, dengan membuktikan kemampuan – tanpa meminta perlakuan khusus. Dan kita percaya sang empu mampu melakukannya.(*)
Riset: Rachmanto