http://www.gatra.com/artikel.php?id=147323
PERSPEKTIF SUGIHARTO
Jepang menjadi negara dengan pertumbuhan yang sangat cepat di dunia sejak Perang Dunia II berakhir. Saban lima tahun, konsumsi energi "negeri matahari terbit" itu meningkat dua kali lipat di era 1990-an. Bahkan, pada periode akselerasi pertumbuhan (1960-1972), konsumsi energi negeri itu tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan pertumbuhan produk nasional brutonya. Ketika itu, konsumsi energi Jepang tumbuh dua kali dibandingkan dengan pertumbuhan konsumsi energi dunia.
Sayangnya, di tengah kebutuhan energi yang begitu tinggi, sumber energi dalam negerinya terbatas. Pasokan sumber energi dalam negerinya hanya bisa menutupi kebutuhan energi domestiknya sekitar 16%. Sisanya impor. Padahal, Jepang merupakan negara konsumen minyak terbesar ketiga setelah Amerika Serikat dan Cina, sama dengan posisi ekonomi Jepang yang secara PDB berada di nomor urut ketiga setelah dua negara tadi. Bahkan Jepang merupakan negara pengimpor terbesar di dunia untuk gas alam cair (LNG) dan batu bara.
Mengingat keterbatasan sumber energi hidrokarbon di dalam negeri, tak sedikit perusahaan energi Jepang yang terlibat dalam proyek-proyek hulu (upstream) minyak dan gas di seluruh dunia. Tak sekadar itu, mereka juga aktif menyediakan jasa perekayasaan, konstruksi, keuangan, dan jasa-jasa manajemen proyeknya. Jepang merupakan pengekspor utama peralatan modal di sektor energi dan memiliki program yang sangat kuat di bidang riset dan pengembangan energi yang didukung pemerintah dalam rangka mendorong efisiensi energi dan meningkatkan ketahanan energi serta mengurangi emisi CO2.
***
Pada 11 Maret lalu, Jepang dilanda gempa dan tsunami yang menghancurkan kawasan Tohuku. Bencana itu langsung membuat 6.800 MW pasokan listrik dari empat stasiun PLTN yang memiliki total kapasitas 12.000 MW itu terganggu. Pada saat ini, total PLTN yang offline pasca-musibah itu sekitar 9.700 MW. Infrastruktur energi lainnya, seperti electrical grid, kilang-kilang pengolahan (refineries), dan pembangkit listrik berbasis migas, juga terkena dampak gempa dan tsunami itu.
Sepertinya Jepang tak bisa menghindari tambahan LNG dan minyak untuk menyediakan listrik sebagai pengganti PLTN-nya yang rusak, terutama untuk memasok kebutuhan listrik rumah tangga dan bisnis. Dalam jangka pendek, krisis listrik itu akan secara langsung berdampak pada local business, ekspor-impor, dan pertumbuhan ekonomi global. Sedangkan dalam jangka panjang, kebijakan energi Jepang akan menjadi salah satu kunci untuk menentukan arah pemulihan dan daya saing (competitiveness) ekonomi Jepang.
Pengaruh krisis listrik terhadap local business Jepang itu terjadi lantaran sistem listrik di Jepang berbeda antara Jepang Timur dan Jepang Barat, karena itu tidak bisa saling membantu. Misalnya, perusahaan-perusahaan di kawasan timur tidak bisa dengan mudah membeli listrik dari kawasan barat Jepang. Sehingga kondisi ini diperkirakan dapat menyebabkan instabilitas jangka pendek terhadap perekonomian Jepang, bisa sampai lima tahun. Dan, karena kebutuhan pasokan bahan bakar listrik tidak bisa dipenuhi dari nuklir, diperkirakan bakal mendorong permintaan minyak mentah dan LNG.
Krisis listrik, khususnya yang berbasis nuklir itu, akan mempengaruhi peta energi global. Setidaknya, kondisi ini akan berpotensi mengurangi minat sejumlah negara yang sedang mengembangkan nuklir, termasuk Indonesia. Dengan kata lain, tampaknya perburuan terhadap sumber-sumber energi konvensional: minyak, gas bumi, dan batu bara, akan tetap menguat di masa mendatang. Situasi ini tentu akan kembali mendorong kenaikan harga komoditas energi konvensional tersebut.
***
Bagi Indonesia, kondisi itu seharusnya menguntungkan. Bukankah Jepang merupakan daerah tujuan ekspor terbesar untuk pasar LNG kita. Tentu kondisi itu menjadi peluang bagi Indonesia untuk mendapatkan harga terbaik.
Memang kita tidak bisa serta-merta memenuhi seluruh keinginan Jepang untuk memasok LNG lebih banyak lagi. Perlu diperhatikan pula neraca energi yang kita miliki pada saat ini. Maklum, di sejumlah daerah, khususnya di Jawa Barat, diperkirakan dalam jangka waktu 10 tahun ke depan berpotensi mengalami shortage gas bila tidak ada sumber-sumber pasokan gas lain. Tetapi, di daerah-daerah di luar Jawa, kita justru mengalami surplus gas.
Indonesia juga perlu memelihara sumber-sumber energi konvensional yang pada saat ini masih mengalami surplus, seperti batu bara. Ini mengingat, peta energi global ke depan masih menempatkan sumber energi berbasis hidrokarbon sebagai pilihan utama. Karena itulah, ke depan, sumber-sumber energi hidrokarbon yang kita miliki perlu dijaga dan sepenuhnya diarahkan untuk energy security kita. Di samping, tentunya, Indonesia harus secepatnya mengembangkan energi-energi alternatif.
Sugiharto
Chairman of Steering Committee The Indonesia Economic Intelligence
[Perspektif, Gatra Nomor 22 Beredar Kamis, 7 April 2011]
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment