Thursday, April 21, 2011

Memperkuat "Modal Moral"

http://www.gatra.com/artikel.php?id=147324
PERSPEKTIF YUDI LATIF


Drama seri aneka manipulasi di seputar pemilihan Ketua Umum PSSI memperlihatkan secara telanjang hilangnya rasa malu di wajah elite negeri. Rangkaian drama pengiriman bom ke sejumlah alamat memperlihatkan jebolnya ambang kepatutan, hingga nyawa manusia pun dipermainkan. Kekukuhan DPR melanjutkan proyek kemewahan dalam rancangan gedung baru, tanpa menunjukkan perbaikan kinerjanya dalam mengemban amanat rakyat, mempertontonkan melemahnya etika pertanggungjawaban.

Para elite negeri boleh jumawa bahwa politik adalah seni kemungkinan yang bekerja di luar pertimbangan moral. Namun, perlu diingat, kepentingan dalam politik harus dipandang sebagai kepentingan yang bisa dibenarkan (justified) dan absah (legitimate). Bukan saja karena agen dan institusi politik secara normatif dituntut untuk melayani kepentingan di luar dirinya sendiri, bahkan demi menjaga kelangsungan kepentingan sendiri pun kerja politik harus memperoleh dukungan dan pembenaran konstituen.

Pembenaran dan dukungan konstituen memang bisa diraih lewat manipulasi. Tetapi manipulasi secara terus-menerus tanpa kadar pertanggungjawaban bisa merobohkan kepercayaan. Terlebih di masa krisis, ketika kepercayaan dan legitimasi politik menjadi taruhan pemulihan keadaan. Tanpa komitmen pada moral politik, krisis sosial kehilangan jangkar keyakinan dan kepercayaan yang bisa berujung malapetaka yang berkepanjangan. Pengalaman bangsa-bangsa menunjukkan, hanya pemimpin politik yang memiliki ketangguhan "modal moral" (moral capital) yang bisa membawa komunitas politik keluar dari kubangan krisis.

Moral dalam arti ini adalah kekuatan dan kualitas komitmen aktor/institusi politik dalam memperjuangkan nilai-nilai, tujuan, dan kepentingan politik yang dikehendaki dan dibenarkan sebagian besar komunitas politik. Dengan begitu, yang dikehendaki bukan sekadar kualitas moral individual, melainkan juga kemampuan politik untuk menginvestasikan potensi kebajikan perseorangan ini ke dalam mekanisme politik yang bisa mempengaruhi tingkah laku masyarakat.

Setidaknya, ada empat sumber utama bagi seorang pemimpin untuk mengembangkan, menjaga, dan memobilisasi "modal moral" secara politik. Pertama, dasaran moralitas (moral ground), menyangkut nilai-nilai, tujuan, serta orientasi politik yang menjadi komitmen dan dijanjikan pemimpin politik kepada konstituennya. Kedua, tindakan politik, menyangkut kinerja pemimpin politik dalam menerjemahkan nilai-nilai moralitasnya ke dalam ukuran-ukuran perilaku, kebijakan, dan keputusan politiknya.

Ketiga, keteladanan, menyangkut contoh-contoh perilaku moral yang kongkret dan efektif, yang menularkan kesan otentik dan keyakinan kepada komunitas politik. Keempat, keefektifan komunikasi politik, menyangkut kemampuan seorang pemimpin untuk mengomunikasikan gagasan serta nilai-nilai moralitasnya dalam bentuk retorika politik yang efektif, yang mampu mempengaruhi dan memperkuat moralitas masyarakat.

Kebanyakan pemimpin politik kita sudah gugur pada kriteria pertama. Fundamen moral politik macam apa yang dijanjikan oleh seorang ketua partai yang "menggelapkan" uang negara, mengemplang pajak, bermain-main dengan hukum, atau berkompromi dengan para maling demi tambahan pundi-pundi keuangan atau "keselamatan" diri dan partainya.

Pada kriteria kedua lebih sedikit lagi yang bisa lolos. Hampir tidak ada partai yang sungguh-sungguh setia pada fatsun politik atau sanggup menerjemahkan klaim ideologisnya ke dalam bentuk kebijakan dan agenda politik. Partai yang mengibarkan bendera Islam tidak mesti memperlihatkan kebijakan dan keputusan politik yang amanah, jujur, dan bersih. Partai yang mengibarkan ideologi marhaenisme tidak mesti mengusung kebijakan politik yang membela kepentingan rakyat kecil (bukankah nasib TKI tak ditangani secara serius?). Partai yang berkredo "maju tak gentar membela yang benar" tidak mesti kedap terhadap mereka yang bayar.

Pada kriteria ketiga lebih sulit lagi ditemui. Pemimpin yang mengklaim sebagai demokrat justru sering merekayasa pelumpuhan institusi demokrasi. Pemimpin yang mengaku pejuang wong cilik justru menjaga jarak dari rakyat. Pemimpin baru untuk partai lama dengan slogan baru justru menghadirkan babak baru penyalahgunaan. Akhirnya, komunikasi politik pemimpin politik kita gagal. Bukan hanya mencerminkan kelemahan dan amatirisme perseorangan, melainkan juga karena tak tersedianya mekanisme pertanggungjawaban publik, yang menjamin adanya pertautan langsung antara pemimpin dan pengikutnya.

Jika satria piningit sulit dihadirkan, mengapa pemimpin yang ada tidak berusaha memperkokoh "modal moral" politiknya. Bukankah seperti bentuk-bentuk kapital lainnya, ini pun bisa berkurang, bisa bertambah, atau bisa dicari cara untuk melengkapinya. Tidak pernah ada kata terlambat untuk perbaikan dan pertobatan.

Yudi Latif
Cendekiawan muslim
[PerspektifGatra Nomor 21 Beredar Kamis, 31 Maret 2011] 

No comments: