Thursday, April 21, 2011

Lembaga Super (Bebal)

http://www.gatra.com/artikel.php?id=147325
PERSPEKTIF RADHAR PANCA DAHANA


Tertangkap basahnya kegiatan menikmati video porno anggota DPR dari Fraksi PKS, Arifinto, pada saat sidang paripurna DPR, sama kita ketahui hanyalah puncak gunung es dari perilaku pornografis dan bahkan mesum pada anggota lembaga wakil rakyat itu. Mantan anggota parlemen dari Fraksi PDI-P (dulu), Permadi, pernah membuat sinyalemen yang keras mengenai hal itu: praktek mesum dilakukan oleh anggota DPR di fasilitas gedung atau kantor yang diberikan dan dibiayai dengan keringat rakyat.

Tentu saja, sang wakil rakyat dapat membela diri. Itu haknya. Biarlah itu menjadi beban pribadinya, bertanggung jawab dengan kejujuran yang tak bisa ditipu kepada Tuhan-nya, kepada Kekuasaan Mutlak yang menjadi basis paling dasar dari ideologi partainya sendiri. Biarlah ia bertanggung jawab pula kepada rakyat yang telah memberinya kuasa, percaya, dan harta, juga dengan kebenaran yang tak bisa dibohongi.

Kita pun, sebagai umum dan awam, tidak sepatutnya berlagak suci. Sebagian kita tentu pernah melakukan hal serupa. Namun kelemahan dan kekurangan manusiawi biarlah menjadi bagian domestik di wilayah privasi setiap orang. Karena tanggung jawabnya, secara sosial, hukum formal, atau hukum Ilahi, memang berada di wilayah pribadi. Ia menjadi tidak pantas dan menyepelekan bahkan menghumiliasi publik --yang justru menjadi dasar dan tujuan kerja dan perjuangannya-- bila kelemahan itu dilakukan di ruang publik, dalam fasilitas publik dan dalam forum yang membicarakan kepentingan, nasib, dan masa depan publik.

Gunung es yang sama juga terlihat pada beberapa kasus korupsi yang melibatkan anggota DPR, baik sebagai tersangka, terdakwa, maupun narapidana. Lebih pahit lagi, gunung es yang sama bagi sikap, cara berpikir, dan perilaku para wakil rakyat yang memperdaya dan memanipulasi kepercayaan dan kekuasaan yang diberikan kepadanya, semata untuk membela atau memenuhi hajat, ambisi, dan nafsunya sendiri.

Banyak produk parlemen diketahui oleh publik --terutama yang diwakili oleh pengamat dan lembaga-lembaga masyarakat independen-- telah mengingkari rakyat dan cenderung membela kepentingan kekuasaan (elite), khususnya mereka yang berkuasa atas uang (modal). Intrik, lobi, kasak-kusuk, konspirasi, serta berbagai transaksi terjadi, secara samar juga terang-terangan, dalam proses penciptaan produk itu. Kasus terpilihnya Deputi Senior BI, Miranda Goeltom, tentu hanya salah satu puncak gunung esnya.

Dari fenomena gunung es, dilengkapi dengan berita semua media massa, data lembaga independen, hingga pengakuan sebagian anggota parlemen sendiri, beberapa indikasi dapat diperlihatkan sebagai pertanda involusi yang terjadi di lembaga kepercayaan rakyat itu. Pertama, sistem organisasi atau manajemen yang involutif itu ditandai oleh semakin kuat bahkan super-dominannya kepentingan pribadi dan sektarian (kelompok atau partai) di atas kepentingan rakyat (konstituen).

Kedua, bukan lagi ide dan niat yang luhur melatari produk-produk parlemen, melainkan justru mekanisme transaksional demi pemenuhan hasrat dan nafsu individual anggotanya. Tak peduli jika transaksi itu berarti menjual harga diri, jati diri, bahkan kedaulatan bangsa dan negerinya sendiri. Ketiga, hal yang paling menggiriskan, involusi itu menguat karena DPR telah berubah menjadi lembaga yang tak tersentuh (untouchable), menjadi superbody sesungguhnya dalam pengertian politik, ketika tiada satu kekuatan politik, sosial, atau kultural apa pun yang secara formal dapat menggagalkan keberadaannya.

Setelah presiden dilucuti dari kewenangannya ''membubarkan parlemen'', lembaga rakyat itu kini berdiri dengan sangat congkaknya: apa pun pendapat dan serangan dari siapa pun, (kekuasaan) aku tak tergoyahkan. Maka, mereka pun merajalela dengan keputusan-keputusan yang mereka buat sendiri, bahkan ''rakyat tak perlu dilibatkan", kata ketuanya. Ia tidak sadar, bahkan air peturasan yang membersihkan kotorannya, deterjen yang mencuci celananya, parfum yang mewangi di tubuhnya, hingga tiap teguk air dan suap nasi yang melepaskan haus dan laparnya berasal dari keringat rakyat jelata.

Inilah tragedi dari demokrasi kita. Bagaimana sistem politik dan kemasyarakatan yang kita bela habis-habisan, dengan harta, nyawa, dan alam sebagai tumbalnya, justru melahirkan lembaga yang super, super kebalnya, super bebalnya. Kita harus berani memeriksa lagi dengan cermat, demokrasi apa yang telah kita ciptakan, sehingga tak ada mekanisme formal apa pun yang dapat mengoreksi DPR sebagai lembaga.

Koreksi itu mungkin bisa dimulai dengan pemberian kewenangan kepada konstituen untuk mencabut/mengoreksi pilihannya pada wakil yang ia pilih. Bukan kepentingan partai yang menentukan, melainkan rakyatlah yang memberinya kekuasaan. Bila tidak, bukan hanya anggota dan lembaga super (bebal) itu, melainkan juga partai politik, bahkan negara secara umum akan kehilangan legitimasi publik, sekaligus legitimasi Ilahiahnya. Itukah yang Anda, kita, inginkan?

Radhar Panca Dahana
Pekerja seni dan pemerhati budaya
[PerspektifGatra Nomor 23 Beredar Kamis, 14 April 2011] 

No comments: