Friday, April 08, 2011

Dahsyatnya Bisnis Batik

http://swa.co.id/2011/03/dahsyatnya-bisnis-batik-3/


Thursday, March 31st, 2011
oleh : Harmanto Edi Djatmiko

Gelombang pasang industri batik membawa para pebisnisnya menikmati boom bisnis yang belum pernah mereka alami. Agar berkelanjutan, kreativitas dan inovasi adalah segalanya. Namanya juga industri kreatif berbasis budaya.
Sejak Perang Kemerdekaan, belum pernah rasanya, di negeri ini, meruap rasa nasionalisme yang sedemikian dahsyat seperti pada 2-3 tahun terakhir: ketika batik, sebagai produk budaya, berusaha direnggut dari tangan bangsa Indonesia. Bung Karno, misalnya, memang sempat menggelorakan “Ganyang Malaysia!”, tetapi tak sampai menyentuh emosi seluruh rakyat hingga siap mati demi Indonesia. Barangkali, ini semacam simbol, hal-hal yang berkaitan dengan budaya (karena itu, kepribadian dan harga diri) ternyata lebih bermakna ketimbang kepentingan politik.
Terlebih lagi, jika produk budaya tersebut mampu memberi makna konkret bagi pemiliknya. Batik, seperti kita tahu, selain sebagai warisan budaya adi luhung dari nenek moyang, juga telah — dan masih akan terus — menjadi sumber penghidupan bagi jutaan rakyat Indonesia.
Betul kata pepatah, kita menghargai air ketika sumur nyaris kering. Maka, ketika ada bangsa lain yang berusaha mengklaim batik adalah budaya mereka, ramai-ramailah berbagai daerah di negeri ini mengungkapkan kehebatan tradisi membatik masing-masing. Bukan hanya di Pulau Jawa dan Madura yang di setiap jengkal tanahnya memang akrab dengan batik (Cirebon, Pekalongan, Banyumas, Yogyakarta, Solo, Mojokerto, dll.), tetapi juga di luar Jawa seperti beberapa daerah di Kalimantan (misalnya, Samarinda), Sumatera (Padang, Palembang), Sulawesi (Toraja), Papua, bahkan Nusa Tenggara Barat.
Secara berseloroh, bolehlah kita berterima kasih kepada pihak luar yang mengklaim bahwa batik adalah warisan budaya mereka. Kalau tak ada klaim itu, mungkin kita adem-ayem saja. Dan, ketika akhirnya United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) memberi pengakuan batik sebagai salah satu warisan budaya Indonesia di Abu Dhabi, 2 Oktober 2009, kebanggaan itu pun meledak menjadi sebuah kegiatan ekonomi, yang diikuti boom bisnis batik yang belum pernah dialami negeri ini sepanjang perjalanan sejarah batiknya.
Perasaan nasionalisme, yang kalau dirumuskan para ahli menjadi amat rumit dan bikin pusing kepala, menjadi cair ketika belakangan ini kita menjadi sangat terbiasa melihat orang-orang berbusana batik. Pagi, siang, sore, ataupun malam hari. Dan pada kesempatan apa pun: ke kantor, pesta, santai, rapat RT, bahkan ke masjid, gereja, pura, atau kuil sekalipun.
Batik pun kini dikenakan bukan hanya oleh orang tua, tetapi juga anak-anak muda. Belakangan, menjadi pemandangan biasa anak-anak muda yang pergi ke kampus, jalan-jalan di mal, atau pergi ke pesta teman dengan berbatik ria. Juga, batik sekarang bukan semata dinikmati oleh kalangan yang memahami seni dan filosofi di balik setiap helai kain batik, melainkan juga generasi baru yang melihat batik dari corak dan warnanya yang memang sangat beragam, atraktif dan artistik – singkatnya, dari sisi tren fashion-nya.
Gelombang itu terus bergulung naik manakala pemerintah mewajibkan seluruh pegawainya, baik di departemen maupun BUMN dan BUMD, mengenakan batik minimal sehari dalam sepekan, yakni hari Jumat. Langkah ini dengan suka rela dan penuh kesadaran diikuti perusahaan swasta besar, menengah ataupun kecil. Fenomena ini kian melecut para perancang busana dan pengusaha batik untuk menciptakan dan memopulerkan desain dan kreasi baru. Dulu sebatas kemeja dan rok batik, sedangkan kini lebih bervariasi seperti baby doll, jaket panjang longgar, jaket model kimono, blushalter neck, hingga celana pendek.
Sedemikian masifnya gelombang itu, yang menikmati boom bisnis batik dewasa ini tentu saja tidak sebatas para pelaku bisnis batik papas atas sekelas Batik Keris dan Danar Hadi, melainkan (terlebih-tebih) para pengusaha batik kelas menengah, kecil, bahkan industri rumahan yang jumlahnya ribuan di negeri ini. Tahun lalu, banyak pengusaha batik dari berbagai kelas yang menyatakan pertumbuhan bisnis mereka mencapai di atas 100%. Malah, saat liburan Lebaran tahun lalu, omset bisnis batik di Yogya dan Solo melonjak 500%.
Secara nasional, tahun lalu, nilai transaksi bisnis batik mencapai Rp 3,2 triliun. Nilai ekspornya mencapai US$ 17,35 juta. Melihat tren masyarakat Indonesia yang semakin bangga mengenakan kain batik, kita tetap optimistis angka-angka itu bakal terus meningkat tahun ini dan tahun-tahun mendatang. Saat ini, diperkirakan terdapat lebih dari 800.000 perajin dan pengusaha batik tersebar di hampir seluruh provinsi di Indonesia. Potensi dan peluang bisnis batik ini pun diprediksi masih besar dan bisa terus ditingkatkan sebagai penyumbang devisa negara di tahun-tahun mendatang.
Karena industri batik masuk dalam kategori sektor industri kreatif berbasis budaya, kreativitas dan inovasi adalah segalanya. Batik memang warisan budaya. Namun, hanya budaya yang selalu diaktualkan oleh pemiliknyalah yang mampu bertahan dan terus berkembang menembus ruang dan waktu.

No comments: