Pater Samuel Oton Sidin, OFM Cap
Penulis: Agustinus Handoko | Editor: A. Wisnubrata
Selasa, 5 April 2011 | 10:28 WIB
KOMPAS.com - Hutan yang terus berkurang di Kalimantan Barat, akibat pembalakan liar dan pembukaan perkebunan kelapa sawit besar-besaran, membuat Pater Samuel Oton Sidin, OFM Cap khawatir. ”Kalau hutan habis, air juga akan habis, terutama ketika kemarau. Bagaimana kita bisa hidup tanpa air?” Itulah pertanyaan yang mengganggu pikirannya.
Tahun 1998 pembalakan liar hutan dan ekspansi perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Barat (Kalbar) marak. Samuel bukan tak setuju dengan perkebunan kelapa sawit, tetapi ia menyayangkan cara ekspansi dan dampaknya terhadap lingkungan.
Maka, Samuel, provinsial ordo OFM Kapusin, ordo pastur dan biarawan Katolik, di Pontianak, Kalbar, pun intens membangun komunikasi dengan penduduk di Desa Teluk Bakung, Kecamatan Sungai Ambawang, Kabupaten Kubu Raya.
Ketika itu, Sungai Ambawang menjadi wilayah administratif Kabupaten Pontianak, sebelum menjadi wilayah Kabupaten Kubu Raya yang mekar dari Pontianak tahun 2007. Samuel hendak membeli ladang penduduk yang tak produktif.
”Tidak semua penduduk menanggapi maksud saya. Ada yang curiga tanah itu akan saya bisniskan untuk kebun kelapa sawit. Namun, saya tegaskan, lahan itu akan dijadikan hutan,” ceritanya.
Setelah membeli tanah beberapa puluh hektar, tahun 2003 Samuel dan beberapa rekan dari komunitas Kapusin menanami kawasan di Dusun Gunung Benua, Desa Teluk Bakung yang disebut Bukit Tunggal. Ia turun tangan mulai dari pembenihan, mencangkul lubang, hingga merawat tanaman.
Kegiatan itu dilakukannya di sela-sela menjalankan tugas sebagai pimpinan Kapusin Pontianak. Hingga tahun 2011, sekitar 100 hektar lahan di Bukit Tunggal telah dihutankan. Untuk kegiatan itu, dananya mencapai sekitar Rp 3 miliar.
Dari mana ia mendapatkan dana tersebut? ”Sebagian menggunakan dana komunitas Kapusin, selebihnya dari dana pribadi dan sumbangan,” ujarnya.
Kontribusi untuk konservasi
Bagi Samuel, Bukit Tunggal merupakan gagasan idealis untuk berkontribusi pada konservasi alam. Karena itulah ia rela menggunakan uang pribadi sekalipun untuk membeli lahan, bibit, dan bekerja keras demi menghijaukan kembali lahan Bukit Tunggal.
Kemauan keras dan kesungguhan Samuel untuk menghutankan Bukit Tunggal kemudian juga mendapat dukungan dari banyak orang. Mereka dengan sukarela turut menyumbang dana atau bibit tanaman.
Tahun 2000-an awal
Dusun Gunung Benua bisa dikatakan termasuk kawasan yang sulit dijangkau karena tidak ada fasilitas jalan yang memadai. Dusun itu hanya bisa diakses dengan transportasi sungai. Ini pun masih harus disambung dengan berjalan kaki.
Belakangan ini Dusun Benua dan Bukit Tunggal telah dilintasi jalan trans-Kalimantan. Walaupun belum seluruhnya diaspal, jalan ini telah membuka akses transportasi di kawasan itu. Pembukaan jalur itu pula yang mempercepat ekspansi perkebunan kelapa sawit di wilayah ini.
Setelah hampir 10 tahun ditanami, Bukit Tunggal menunjukkan manfaatnya. Setiap musim kemarau, air bersih di kawasan ini melimpah dan bisa diakses penduduk Kampung Pario, Penyauk, Kijang Berantai, dan Gunung Benua.
Bukit Tunggal juga menjadi semacam oase di jalur trans-Kalimantan, di antara Sungai Ambawang dan Tayan, Kabupaten Sanggau, yang gersang dan sebagian sisi jalannya dipenuhi perkebunan kelapa sawit.
Bukit Tunggal yang diawasi dan dikelola komunitas Kapusin sering menjadi tempat penelitian mahasiswa. Di Bukit Tunggal, jenis pohon yang ditanam umumnya pohon lokal Kalbar, seperti belian atau ulin, ramin, tengkawang, dan meranti. Sebagian lahan juga ditanami pohon buah lokal Kalbar yang hampir punah, seperti jantak, rambutan hutan, langsat, mangga, serta durian lokal.
”Saya juga bercita-cita menjadikan Bukit Tunggal sebagai arboretum, ’museum’ pohon-pohonan. Saya berharap, keinginan itu bisa tercapai karena kami terus melakukan penanaman,” ujar Samuel.
Akrab dengan alam
Kegigihan Samuel mewujudkan Bukit Tunggal sebagai hutan konservasi bukan kebetulan. Sebagai biarawan asli Dayak Menyuke, Samuel bisa dikatakan akrab dengan alam sejak dilahirkan.
”Ketika di kampung, salah satu kesenangan saya adalah masuk dan keluar hutan bersama teman-teman sebaya, untuk berburu atau sekadar menginap di hutan. Kami memang terbiasa hidup bersama alam,” kata Samuel menceritakan masa kecilnya di Kampung Peranuk, Desa Setia Jaya, Kecamatan Teriak, Kabupaten Bengkayang, Kalbar.
Kampung kelahiran Samuel bersanding dengan hutan belantara dan lahan kebun karet rakyat. Antarkampung di kawasan ini dipisahkan oleh hutan. ”Sedari kecil kami bisa dikatakan tidak pernah keluar dari hutan karena mau ke mana-mana pun harus melewati hutan,” ujarnya.
Menurut Samuel, masyarakat Dayak memang terlahir sebagai kelompok masyarakat yang bergantung pada hasil hutan. ”Walaupun ada pergeseran, sampai sekarang masyarakat Dayak sebetulnya tidak bisa dilepaskan dari keberadaan hutan,” katanya menambahkan.
Pengalaman masa kecil memberi Samuel pelajaran hidup untuk terus berupaya menjaga kelestarian alam. Meski dia juga sempat ”berpisah” dari hutan karena sejak duduk di bangku kelas VI SD ia harus pindah ke ibu kota kecamatan.
”Ketika itu, di kampung saya hanya tersedia sekolah hingga kelas V SD,” kata pria yang kemudian melanjutkan pendidikannya ke berbagai tempat, dalam maupun luar negeri.
Kini Samuel diminta pimpinannya untuk bertugas di Provinsial Kapusin Pontianak. Wilayah tugasnya meliputi seluruh Kalimantan dan sebagian Sulawesi. Di luar menjalankan tugasnya, dia tetap setia pergi-pulang dari biaranya di Sungai Raya, Kubu Raya, ke Bukit Tunggal.
Di Bukit Tunggal, Samuel masih memiliki waktu dan tenaga untuk menekuni ”pekerjaannya” yang lain, yakni menanam pohon. Kegiatan tersebut juga menjadi salah satu hal yang membahagiakannya karena di sini dia bisa kembali bertemu dengan hutan.
***
Samuel Oton Sidin, OFM Cap
Kalau hutan habis, air juga akan habis, terutama ketika kemarau. Bagaimana kita bisa hidup tanpa air?
Maka, Samuel, provinsial ordo OFM Kapusin, ordo pastur dan biarawan Katolik, di Pontianak, Kalbar, pun intens membangun komunikasi dengan penduduk di Desa Teluk Bakung, Kecamatan Sungai Ambawang, Kabupaten Kubu Raya.
Ketika itu, Sungai Ambawang menjadi wilayah administratif Kabupaten Pontianak, sebelum menjadi wilayah Kabupaten Kubu Raya yang mekar dari Pontianak tahun 2007. Samuel hendak membeli ladang penduduk yang tak produktif.
”Tidak semua penduduk menanggapi maksud saya. Ada yang curiga tanah itu akan saya bisniskan untuk kebun kelapa sawit. Namun, saya tegaskan, lahan itu akan dijadikan hutan,” ceritanya.
Setelah membeli tanah beberapa puluh hektar, tahun 2003 Samuel dan beberapa rekan dari komunitas Kapusin menanami kawasan di Dusun Gunung Benua, Desa Teluk Bakung yang disebut Bukit Tunggal. Ia turun tangan mulai dari pembenihan, mencangkul lubang, hingga merawat tanaman.
Kegiatan itu dilakukannya di sela-sela menjalankan tugas sebagai pimpinan Kapusin Pontianak. Hingga tahun 2011, sekitar 100 hektar lahan di Bukit Tunggal telah dihutankan. Untuk kegiatan itu, dananya mencapai sekitar Rp 3 miliar.
Dari mana ia mendapatkan dana tersebut? ”Sebagian menggunakan dana komunitas Kapusin, selebihnya dari dana pribadi dan sumbangan,” ujarnya.
Kontribusi untuk konservasi
Bagi Samuel, Bukit Tunggal merupakan gagasan idealis untuk berkontribusi pada konservasi alam. Karena itulah ia rela menggunakan uang pribadi sekalipun untuk membeli lahan, bibit, dan bekerja keras demi menghijaukan kembali lahan Bukit Tunggal.
Kemauan keras dan kesungguhan Samuel untuk menghutankan Bukit Tunggal kemudian juga mendapat dukungan dari banyak orang. Mereka dengan sukarela turut menyumbang dana atau bibit tanaman.
Tahun 2000-an awal
Dusun Gunung Benua bisa dikatakan termasuk kawasan yang sulit dijangkau karena tidak ada fasilitas jalan yang memadai. Dusun itu hanya bisa diakses dengan transportasi sungai. Ini pun masih harus disambung dengan berjalan kaki.
Belakangan ini Dusun Benua dan Bukit Tunggal telah dilintasi jalan trans-Kalimantan. Walaupun belum seluruhnya diaspal, jalan ini telah membuka akses transportasi di kawasan itu. Pembukaan jalur itu pula yang mempercepat ekspansi perkebunan kelapa sawit di wilayah ini.
Setelah hampir 10 tahun ditanami, Bukit Tunggal menunjukkan manfaatnya. Setiap musim kemarau, air bersih di kawasan ini melimpah dan bisa diakses penduduk Kampung Pario, Penyauk, Kijang Berantai, dan Gunung Benua.
Bukit Tunggal juga menjadi semacam oase di jalur trans-Kalimantan, di antara Sungai Ambawang dan Tayan, Kabupaten Sanggau, yang gersang dan sebagian sisi jalannya dipenuhi perkebunan kelapa sawit.
Bukit Tunggal yang diawasi dan dikelola komunitas Kapusin sering menjadi tempat penelitian mahasiswa. Di Bukit Tunggal, jenis pohon yang ditanam umumnya pohon lokal Kalbar, seperti belian atau ulin, ramin, tengkawang, dan meranti. Sebagian lahan juga ditanami pohon buah lokal Kalbar yang hampir punah, seperti jantak, rambutan hutan, langsat, mangga, serta durian lokal.
”Saya juga bercita-cita menjadikan Bukit Tunggal sebagai arboretum, ’museum’ pohon-pohonan. Saya berharap, keinginan itu bisa tercapai karena kami terus melakukan penanaman,” ujar Samuel.
Akrab dengan alam
Kegigihan Samuel mewujudkan Bukit Tunggal sebagai hutan konservasi bukan kebetulan. Sebagai biarawan asli Dayak Menyuke, Samuel bisa dikatakan akrab dengan alam sejak dilahirkan.
”Ketika di kampung, salah satu kesenangan saya adalah masuk dan keluar hutan bersama teman-teman sebaya, untuk berburu atau sekadar menginap di hutan. Kami memang terbiasa hidup bersama alam,” kata Samuel menceritakan masa kecilnya di Kampung Peranuk, Desa Setia Jaya, Kecamatan Teriak, Kabupaten Bengkayang, Kalbar.
Kampung kelahiran Samuel bersanding dengan hutan belantara dan lahan kebun karet rakyat. Antarkampung di kawasan ini dipisahkan oleh hutan. ”Sedari kecil kami bisa dikatakan tidak pernah keluar dari hutan karena mau ke mana-mana pun harus melewati hutan,” ujarnya.
Menurut Samuel, masyarakat Dayak memang terlahir sebagai kelompok masyarakat yang bergantung pada hasil hutan. ”Walaupun ada pergeseran, sampai sekarang masyarakat Dayak sebetulnya tidak bisa dilepaskan dari keberadaan hutan,” katanya menambahkan.
Pengalaman masa kecil memberi Samuel pelajaran hidup untuk terus berupaya menjaga kelestarian alam. Meski dia juga sempat ”berpisah” dari hutan karena sejak duduk di bangku kelas VI SD ia harus pindah ke ibu kota kecamatan.
”Ketika itu, di kampung saya hanya tersedia sekolah hingga kelas V SD,” kata pria yang kemudian melanjutkan pendidikannya ke berbagai tempat, dalam maupun luar negeri.
Kini Samuel diminta pimpinannya untuk bertugas di Provinsial Kapusin Pontianak. Wilayah tugasnya meliputi seluruh Kalimantan dan sebagian Sulawesi. Di luar menjalankan tugasnya, dia tetap setia pergi-pulang dari biaranya di Sungai Raya, Kubu Raya, ke Bukit Tunggal.
Di Bukit Tunggal, Samuel masih memiliki waktu dan tenaga untuk menekuni ”pekerjaannya” yang lain, yakni menanam pohon. Kegiatan tersebut juga menjadi salah satu hal yang membahagiakannya karena di sini dia bisa kembali bertemu dengan hutan.
***
Samuel Oton Sidin, OFM Cap
- Lahir: Peranuk, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat, 12 Desember 1954
- Pendidikan:
- SD Peranuk
- SD Subsidi Bengkayang
- SMP dan SMA Nyarumkop, Singkawang
- Novisiat Kapusin Santo Fidelis, Parapat, Sumatera Utara
- S-1 Filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Santo Thomas, Parapat
- S-1 Teologi di Pematang Siantar, Sumatera Utara
- S-2 dan S-3 di Teologi Spiritual Fransiskan Universitas Kepausan Antonianum, Roma, Italia - Pekerjaan:
- Biarawan Kapusin
- Pengajar di Novisiat dan Sekolah Tinggi Filsafat Santo Thomas Parapat, 1990-1997
- Provinsial Kapusin Pontianak, 1997-2003 dan 2009-kini
No comments:
Post a Comment