Kamis,
14 April 2011
Mawar Kusuma
Di lahan seluas 5.000 meter persegi milik Yayasan Bambu Indonesia di Bumi Cibinong Indah, Bogor, Jawa Barat, Jatnika melatih tenaga ahli pembuatan rumah bambu. Mereka dibekali kemampuan olahraga bela diri pencak silat Cimande. Ilmu bela diri khas Jawa Barat ini memberi bekal kekuatan sehingga mereka mampu membangun rumah bambu yang ikatannya kuat dan tahan lama.
Jatnika telah melatih lebih dari 20 angkatan tenaga ahli bambu yang masing-masing terdiri atas 25 orang. Mereka dilatih untuk mampu mengikat kuat setiap bambu dengan sepuluh macam ikatan tali ijuk. Mereka sanggup merakit bambu betung, bambu gombong, bambu tali, hingga bambu hitam yang diameternya bisa mencapai 20 sentimeter.
Produk rumah bambu itu menjadi komoditas ekspor. Demi kualitas, Jatnika hanya menyanggupi dua permintaan ekspor rakitan rumah bambu knock down (bongkar pasang) per tahun. Proses pembangunan rumah bambu di luar negeri juga hanya dilakukan dengan tenaga ahli yang sudah dididik Jatnika. Permintaan ekspor rumah bambu, antara lain berasal dari Malaysia, Brunei, dan Arab Saudi.
Pembangunan tiap rumah bambu biasanya memakan waktu tiga bulan. Sejak tahun 1985, kata Jatnika, pihaknya telah membangun lebih dari 3.000 rumah bambu.
Jatnika mematok biaya pembangunan rumah antara Rp 1,2 juta hingga Rp 2,5 juta per meter persegi dan luas satu rumah rata-rata 50 meter persegi.
Jatnika hidup sederhana di rumah bambu miliknya yang menyatu dengan kawasan Yayasan Bambu Indonesia. Keuntungan yang diperolehnya dari pembangunan rumah bambu juga dimanfaatkan untuk pengadaan bibit, yang kemudian ditanam sebagai upaya penghijauan. ”Saya sebar kembali untuk penanaman. Kebahagiaan tidak selamanya terletak di materi,” kata Jatnika.
Penghijauan terutama dilakukan di sekitar sungai sebagai penahan tebing. Bambu yang ditanamnya sudah merimbun di bantaran Sungai Ciliwung, Cisadane, dan Ciluwer. Di kampung halamannya, Jatnika menanam lebih dari 10 hektar bambu di tepian sungai Cimande. Tanaman bambu tersebut tak sekadar mencegah erosi sungai, tapi juga memberi kesejahteraan bagi warga sekitar.
Selain rumah, Jatnika juga membangun pesantren miliknya dari bambu. Jika membangun 10 masjid atau mushala dari bambu, Jatnika menyumbangkan satu mushala secara gratis. Impiannya adalah menyaksikan rumah bambu menjadi ciri khas utama ketika orang memasuki wilayah Jawa Barat.
Jatnika meyakini, fatwa bambu yang dulu dilontarkan oleh Prabu Haur Kuning. Prabu Haur Kuning adalah putra Prabu Siliwangi dari istri ke-11. Prabu Haur Kuning yang hanya memiliki wilayah kekuasaan seluas 1.200 depa mampu mewujudkan kesejahteraan rakyatnya dari penanaman bambu.
Tiga fatwa bambu itu menyebutkan, jika Nusantara ingin sejahtera, tidak dihinggapi penyakit menular, dan tidak dijajah, maka tiap keluarga minimal harus menanam 1.000 rumpun bambu. Melalui penanaman bambu, akan tercipta kesejahteraan, kesehatan, dan pertahanan negara.
Jatnika pribadi mengaku sangat merasakan buah kesejahteraan karena bambu. Dari penanaman 1.000 rumpun bambu betung berumur lima tahun, misalnya, dia bisa memanen 20.000 batang bambu. Dengan harga jual Rp 30.000 per batang, Jatnika sudah bisa memperoleh Rp 600 juta per panen, setahun sekali.
Nilai jual tersebut akan semakin tinggi setelah disentuh dengan keahlian, seperti dibuat menjadi kipas, sangkar burung, dan beragam alat dapur.
Tiap tahun, kata Jatnika, minimal lima batang dari serumpun bambu harus ditebang agar pertumbuhan bambu tak terhambat.
Satu rumpun bambu yang terdiri dari 50 batang mampu menyimpan 2.000 liter air. Tak heran jika orang di pedesaan biasa membuat sumur di dekat rumpun bambu.
Tinggal di rumah bambu, menurut Jatnika, juga mampu memberi kenyamanan. Resonansi dengung panjang berbunyi dari rongga bambu mampu menumbuhkan ketenangan bagi penghuninya.
”Kita ini bersaudara dengan bambu. Bunyi nggg... yang sama bisa kita dengar ketika menutup telinga dengan tangan. Itulah kenapa sangat nyaman tidur di rumah bambu,” ujar Jatnika.
Sejak duduk di bangku SD, Jatnika sudah menganyam bambu untuk dijual. Orangtuanya berprofesi sebagai perajin bambu. Tiap malam, ketika masih memakai seragam SMP dan SMA, kepada teman-temannya Jatnika juga mengajar cara menganyam bambu serta melatih pencak silat Cimande.
Setelah kuliahnya selesai tahun 1981, Jatnika menekuni bisnis pembangunan rumah bambu sembari bekerja di perusahaan penerbitan. Ekspor kerajinan bambu mulai dijalaninya tahun 1985 ke Taiwan, dan sejak saat itu dia fokus menggeluti usaha bambu. Usaha kerajinan bambunya kala itu berkembang dengan lima sanggar di Jakarta.
Ketika ikut pameran rumah bambu di Lapangan Banteng tahun 1995, Ketua Dewan Kerajinan Nasional kala itu, Nyonya Tri Sutrisno, mengajaknya mendirikan Yayasan Bambu Indonesia. Sejak itulah Jatnika melebarkan sayap ekspor rumah bambunya. Yayasan Bambu Indonesia hingga kini masih aktif mendidik para ahli pembuat rumah bambu.
Jatnika mengaku hingga kini sudah mengembangkan 41 model rumah tradisional bambu khas Jawa Barat. Bekerja sama dengan PT Angkasa Pura II, dia telah mematenkan hak cipta untuk rumah bambu semi permanen pada 2006.
Indonesia kaya dengan 105 spesies endemik asli bambu yang 95 di antaranya ditemukan di Jawa Barat. Namun, Jatnika merasa resah karena bambu masih dianggap tanaman liar, tanpa adanya penanaman yang terprogram.
Berdasar catatan Jatnika, hampir 1.000 hektar hutan bambu di Bogor ditebang dalam kurun lima tahun terakhir. Padahal, katanya, kehidupan masyarakat Indonesia tidak lepas dari budaya bambu, mulai dari keperluan bahan baku rumah hingga makanan.
Jatnika Nanggamiharja
No comments:
Post a Comment