Wednesday, June 29, 2011

Tiga Ranah Debat Sains dan Agama


Tulisan ini menyoroti tiga ranah debat antara sains dan agama: pertama, ranah moralitas; kedua, ranah sains dan wahyu skriptural; dan ketiga, ranah filosofis eksistensi Allah dan hakikat manusia. 


Moralitas
Tentu nilai-nilai altruistik yang umum ditawarkan agama-agama kuno, yang mendorong manusia mau berkorban demi kebaikan manusia lainnya, tetap relevan. Tetapi banyak moralitas yang ditawarkan agama-agama kuno tak cocok lagi sekarang ini.

Semua kitab suci agama kuno ditulis dalam suatu kebudayaan patriarkal yang merendahkan kaum perempuan. Patriarkalisme ini berbenturan dengan moralitas modern yang membela kemitraan sejajar perempuan dan lelaki dalam semua aspek kehidupan. Begitu juga, sementara orang modern menerima kesetaraan kalangan LGBT di semua bidang kehidupan, kalangan skripturalis kebanyakan agama membenci mereka. Agama-agama teistik kuno, termasuk Yesus dan kekristenan perdana, membela teokratisme, yang kalau diterapkan sekarang akan berbenturan dengan banyak nilai moral yang dibela sistem demokrasi modern. Dalam dunia kuno, genosida dipraktekkan atas nama suatu allah, sementara kini dipandang sebagai satu musuh umat manusia. Dalam zaman modern, pemikiran bebas didorong dan dijamin oleh UUD suatu negara, tapi para agamawan berbagai agama memakai kitab suci untuk memberangus pemikiran yang tak sejalan dengan isi kitab suci. Moralitas yang ditarik dari teks-teks legal dalam kitab-kitab suci kuno banyak bertabrakan dengan moralitas yang manusia modern susun dengan terutama memperhitungkan konteks sosio-historis suatu tindakan.

Pendek kata, ada banyak nilai moral yang ditawarkan kitab-kitab suci kuno, yang tak kena lagi untuk zaman sekarang. Akibatnya, fungsi agama sebagai satu sumber terpenting ajaran moral bagi kehidupan modern dipertanyakan. Sam Harris, dalam buku terbarunya, The Moral Landscape: How Science Can Determine Human Values(2010), menunjukkan bahwa sains modern, khususnya neurosains (= sains tentang sifat, kapasitas dan cara kerja neuron-neuron yang membentuk organ otak manusia), dapat menjadi satu sumber nilai-nilai moral yang dibangun berdasarkan suatu kesadaran bahwa semua manusia membutuhkan well-being, kesejahteraan, bagi dirinya sendiri dan bagi masyarakatnya. Karena otak melahirkan sains, dan sains memunculkan teknologi, dan keduanya digunakan untuk kesejahteraan manusia dan ketahanan semua bentuk kehidupan, maka otak juga akan sanggup, tanpa agama sekalipun, untuk menggariskan nilai-nilai moral sekuler, yang mengarahkan tindakan manusia ke suatu tujuan pamungkas, yakni  menghasilkan, mempertahankan dan meningkatkan kesejahteraan untuk semua insan.

Sains modern menunjukkan bahwa manusia memiliki suatu kemampuan genetik untuk mempertahankan kehidupan mereka, lewat “selfish gene” (Richard Dawkins), dan lewat suatu mekanisme sosio-biologis “survival of the fittest” (Charles Darwin) yang bekerja dalam proses evolusi biologis, sosial dan kosmologis yang tak pernah selesai. Dalam diri spesies homo sapiens, manusia cerdas, yang memiliki “self consciousness” (kesadaran diri), dorongan mempertahankan kehidupan tak lagi bersifat naluriah, melainkan dipikirkan, diprogram, dan dievaluasi oleh otak manusia, dan dijalankan dalam tindakan dan perilaku. Dalam rangka inilah otak manusia menunjukkan suatu kemampuan untuk melahirkan nilai-nilai moral, lewat sains, lewat kesadaran yang tertanam dalam otak, dan lewat kemampuan berpikir retroaktif dan antisipatif yang menembus ruang dan waktu, ke belakang maupun ke depan.

Sains dan Wahyu Skriptural
Pengetahuan modern dan cara menganalisis objek-objek secara saintifik baru muncul abad 16 atau abad 17 lewat kegiatan penelitian Galileo Galilei (1564-1642), yang kini diakui sebagai Bapak sains modern, dan lewat analisis filosofis rasionalis RenĂ© Descartes (1596-1650) yang diakui sebagai Bapak filsafat modern dan dikenal luas lewat sebuah pernyataannya “Cogito ergo sum”, “Aku berpikir, maka aku ada.”

Karena semua kitab suci ditulis pada masa pramodern, ketika orang belum mampu berpikir, mengobservasi dan menganalisis secara saintifik, jelas mustahil jika orang mau menemukan sains modern dalam kitab-kitab suci kuno. Jika kitab-kitab suci kuno benar memuat sains, mustinya sejak dulu para ahli kitab suci bisa menjadi para penemu sains. Faktanya tak demikian.

Sains modern lahir bukan dari kegiatan mengkaji kitab suci apapun, tetapi dari eksperimentasi, dari observasi atas segala fenomena alam, dan dari kegiatan berpikir yang logis, mendasar, runtut, analitis, konsisten dan koheren, dan dari bukti-bukti empiris objektif. Kitab-kitab suci disusun berdasarkan suatu iman pada keberadaan makhluk-makhluk adikodrati (Allah, misalnya), tanpa suatu bukti empiris apapun yang membenarkan klaim imaniah ini.

Suatu klaim saintifik hanya diterima benar jika ada bukti-bukti empiris yang mendukungnya; ini yang disebut sebagai epistemologi evidensialis. Kitab-kitab suci mengklaim kebenaran imaniah yang berlaku absolut dan diyakini tak bisa salah karena dipercaya datang sebagai wahyu; ini yang disebut sebagai epistemologi revelatif, yang bertabrakan dengan epistemologi evidensialis dalam dunia sains. Sains tak bisa diabsolutkan, tak bisa diilahikan, meskipun tentu saja ada berbagai posisi saintifik yang sudah teruji dan sudah mapan. Sains juga tidak bisa diklaim tidak bisa salah, tetapi selalu terbuka pada falsifikasi saintifik dan reformulasi.

Banyak agamawan mengklaim bahwa kebenaran-kebenaran yang diberitakan dan dipertahankan dalam kitab suci (mereka) adalah kebenaran-kebenaran mutlak yang serba pasti, tak bisa salah dalam segala hal, karena dipercaya diberitahukan atau diwahyukan oleh Allah yang tak bisa salah, sehingga terjamin kebenarannya, dan berlaku kekal, tak pernah usang. Klaim ini sebetulnya salah sama sekali.

Justru kebenaran-kebenaran yang diwartakan agama-agama adalah kebenaran-kebenaran yang paling tidak pasti, paling relatif, sebab hal-hal yang diklaim sebagai kebenaran dalam agama-agama tidak berpijak pada bukti-bukti empiris objektif yang dapat diobservasi oleh indra atau oleh peralatan teknologis, melainkan hanya dipercaya saja secara subjektif. Sebaliknya, kebenaran-kebenaran saintifik jauh lebih pasti ketimbang kebenaran-kebenaran yang diberitakan agama-agama, sebab semua kebenaran sains diklaim benar dengan berdasar bukti-bukti empiris objektif yang bisa diobservasi oleh indra dan oleh peralatan teknologis. Bahkan ada banyak kebenaran saintifik yang kebenarannya sudah mencapai status kebenaran mutlak, sebagai kebenaran-kebenaran saintifik yang sudah mapan, misalnya hukum-hukum besi fisika yang tak bisa salah, dan berlaku universal, di muka Bumi maupun di seluruh jagat raya.   

Banyak agamawan mengklaim bahwa kitab suci mereka sejalan dengan sains modern. Tetapi sebetulnya mereka hanya dengan paksa mencocok-cocokkan sains modern dengan kitab suci. Jika sains yang semula diklaim sejalan dengan kitab suci berubah, mereka pasti akan mencari teks skriptural lain untuk dipaksa sejalan dengan sains modern. Kalaupun sejumlah agamawan bisa dengan jujur mempertemukan sains modern dengan keyakinan religius mereka, ternyata keyakinan religius mereka sudah sangat tidak ortodoks lagi.

Kini banyak agamawan dari berbagai agama mengklaim bahwa pemikiran keagamaan mereka, dan khususnya yang terekam dalam kitab-kitab suci mereka, sejalan dengan fisika quantum. Tetapi fisikawan Victor J. Stenger menunjukkan bahwa klaim-klaim semacam ini diajukan karena para agamawan itu salah memahami berbagai dimensi fisika quantum; tentang ini, lihat bukunya Quantum Gods: Creation, Chaos, and the Search for Cosmic Consciousness (Amherst, New York: Prometheus Books, 2009). Kalaupun para agamawan dapat memasukkan Allah sebagai suatu faktor dalam sains, Allah semacam ini hanya berfungsi sebagai “god of the gaps”, Allah pengisi “celah-celah” yang masih belum bisa diisi oleh sains. Ketika celah-celah ini suatu saat berhasil ditutup oleh data serta bukti saintifik, Allah semacam ini akan menganggur, tak lagi aktif mengisi celah-celah sains. Tempat Allah semacam ini dalam dunia ditentukan oleh para agamawan, dan merekalah yang memberi tugas pada Allah ini, bukan sebaliknya. Aneh juga ada Allah yang semacam ini.

Belakangan ini ada berbagai usaha membangun “sains skriptural”, misalnya sains Vedik, sains Quranik, atau sains Alkitabiah. Tujuannya antara lain bersifat politis, yakni untuk mengunggulkan kedudukan satu agama dalam suatu negara, dan untuk mengendalikan dan menjinakkan arah gerak progresif sains lewat kekuasaan monster agama, dengan akibat seluruh rakyat negara ini diperbodoh oleh para agamawan. Di kalangan Muslim, misalnya, ada berbagai usaha untuk membangun sains Islam, yang dibuat berkonfrontasi dengan apa yang mereka dengan keliru sebut sains Barat, sains imperialis Amerika! Anehnya, banyak kaum bangsawan di Saudi Arabia malah menyekolahkan putera-puteri mereka di universitas-universitas besar di Amerika Serikat, sebuah negara besar modern yang mereka cap imperialis!

Akhirnya akan pasti tampak bahwa semua “sains skriptural” ini hanyalah pseudo-science (atau malah junk science, dalam penilaian para saintis tulen Barat) yang tak memiliki bukti empiris dan dasar teoretis saintifik apapun, sehingga hanya pantas dipandang sebagai doktrin keagamaan, seperti halnya kreasionisme dan intelligent design yang diciptakan kekristenan Amerika. Karena para agamawan kini sedang membawa agama ke dalam ranah sains dan ranah politik, tentu saja bisa dimengerti mengapa para saintis tulen (Barat) kini melakukan banyak pembedahan atas semua klaim keagamaan dengan memakai pisau-pisau bedah sains.

Eksistensi Allah dan Hakikat Manusia
Sampai kini, faktanya, tak ada satu bukti empiris apapun yang membenarkan klaim agama-agama teistik bahwa Allah itu ada. Penelitian fisikawan Victor J. Stenger, misalnya, malah menghasilkan suatu kesimpulan bahwa Allah itu tidak ada. Dua buku mutakhirnya perlu dibaca, Has Science Found God? The Latest Results in the Search for Purpose in the Universe (2003), dan God: The Failed Hypothesis. How Science Shows That God Does Not Exist (2007).

Ketimbang menerima hipotesis kaum agamawan bahwa alam semesta ini ada karena telah diciptakan oleh Allah, sains fisika kini mengargumentasikan bahwa jagat raya ini tercipta sendiri dari ketiadaan, karena bekerjanya gaya gravitasi supersimetri, prinsip relativitas, dan terjadinya fluktuasi quantum dalam suatu titik ruang-waktu yang kosong dan acak, yang tak memungkinkan adanya ruang kosong apapun yang tak berisi energi. Fluktuasi quantum ini bermuara pada suatu inflasi atau eskpansi besar yang selanjutnya menimbulkan big bang. Fisikawan besar Stephen Hawking adalah salah seorang saintis yang berargumentasi demikian, dalam bukunya The Grand Design (2010).

Kini, para “saintis skriptural” Barat, dengan topangan dana dari The John Templeton Foundation, sedang fokus pada berbagai penelitian terhadap mind, pikiran, dengan harapan bahwa mind bisa dibuktikan sebagai suatu zat spiritual, bukan zat material. Alasan mereka: Jika pikiran manusia adalah suatu zat rohani, maka Allah sebagai roh tentu ada. Tapi pertanyaannya adalah: Mengapa pikiran manusia lenyap ketika otak tidak lagi menerima pasokan nutrisi, hormon dan oksigen, ketika tak ada lagi energi elektrokimiawi neurologis yang mengalir dalam otak manusia, ketika manusia mati? Bukankah kalau pikiran manusia itu suatu zat rohani yang independen, tak terikat pada zat material organ otak, pikiran ini akan tetap ada kendatipun otak rusak atau manusia si pemilik otak mati, dan manusia akan dapat tetap hidup hanya dengan roh sekalipun tidak memiliki organ otak? Karena manusia pasti mati ketika otaknya mati atau ketika otaknya dicopot, atau pikiran lenyap ketika otak mati, berarti roh manusia itu tidak ada, dus berarti juga Allah itu, sebagai suatu zat spiritual yang memberi roh kehidupan kepada jasad manusia, tidak ada.

Sebuah argumen ilustratif analogis telah diajukan kalangan agamawan untuk menolak kesimpulan dalam alinea di atas, bahwa roh Allah dan roh manusia itu tidak ada. Mereka memakai ilustrasi stasiun pemancar gelombang radio yang menyiarkan gelombang radio ke mana-mana lalu ditangkap oleh sebuah pesawat radio. Dalam ilustrasi ini, pemancar gelombang radio itu surga, dan gelombang radionya adalah roh Allah, dan pesawat penerima gelombang radio adalah otak manusia, yang berfungsi sebagai antena-antena penangkap "gelombang radio ilahi". Kata mereka, kalau pesawat radionya dimatikan (dalam posisi OFF) atau rusak, gelombang radionya dan stasiun pemancar gelombang radionya masih tetap ada, tidak ikut mati atau rusak.

Kepada kalangan agamawan yang berargumentasi demikian, hanya perlu diajukan satu permintaan: Tunjukkanlah kepada dunia di mana lokasi geografis stasiun pemancar gelombang radio yang mereka sebut surga, dan tunjukkanlah lewat radar adanya gelombang radio ilahi yang mereka bayangkan sebagai roh Allah! Permintaan ini sangat serius, sebab kalau organ lunak berwarna putih, yang memiliki massa, yang objektif ada di dalam tempurung kepala kita, yang kita namakan otak, adalah penerima gelombang radio ilahi, maka gelombang radio ilahi ini juga harus bisa ditunjukkan keberadaannya secara empiris objektif di layar radar, dan lokasi pemancarannya juga harus dapat diidentifikasi-- lebih-lebih sekarang ini teknologi radar sudah sangat maju!

Kalangan skripturalis teistik berkeras bahwa manusia adalah suatu ciptaan unik Allah, yang menjadi hidup karena hembusan roh Allah, dan ada dalam planning Allah sejak awal untuk menjadikannya mahkota termulia dari semua ciptaan lain, untuk berkuasa atas jagat raya. Namun para saintis menegaskan bahwa manusia adalah salah satu bentuk kehidupan yang pada level fundamental tak berbeda dari semua benda material lain dalam jagat raya, yang tersusun dari partikel-partikel subatomik u-quark,d-quark dan elektron.

Kita sudah tahu bahwa sains evolusi, dengan didukung bukti-bukti empiris yang makin melimpah, sudah berhasil memperlihatkan bahwa homo sapiens, makhluk cerdas, yang kita beri nama manusia, adalah makhluk yang sungguh-sungguh berasal dari alam dan merupakan bagian dari alam, yang pada awalnya hanya memuat satu bentuk kehidupan bersel tunggal arkhaea. Buku bagus paling mutakhir yang menggambarkan proses evolusi ini dengan bukti-bukti sangat melimpah, adalah buku Richard Dawkins, The Greatest Show on Earth: The Evidence for Evolution (New York: Free Press, 2009). Sebuah buku tentang sains evolusi yang juga ada di rak buku saya, yang isinya sangat terang dan gamblang, adalah buku karya Jerry A. Coyne, Why Evolution Is True (Penguin Books, 2009).

Sains evolusi menunjukkan bahwa manusia muncul di Bumi sebagai suatu hasil proses evolusi biologis sangat panjang menurut suatu mekanisme seleksi alamiah, proses evolusi yang terus berlangsung acak, buta, tak bertujuan, tak terencana dan tak terpandu oleh kekuatan eksternal adikodrati apapun. Jadi, "the intelligent designer", sang perancang cerdas, yang mereka namakan Allah, sama sekali tak ada, tak memberi desain apapun atas alam ini dan semua bentuk kehidupan di dalamnya, dan khususnya tak merancang dengan cerdas homo sapiens. Dalam menjelaskan asal-muasal semua bentuk kehidupan, khususnya bentuk kehidupan yang kita namakan homo sapiens, hipotesis bahwa Allah adalah sumber semua bentuk kehidupan ini, sama sekali tidak diperlukan. The supernatural designer is dead!

Tetapi, kalangan agamawan dan "saintis teistik" sudah lama berkeras bahwa alam semesta kita ini, dan khususnya sistem matahari kita (solar system), telah dengan luar biasa "disetel dengan pas" (fine-tuned) sehingga menghasilkan suatu zona yang cocok untuk munculnya bentuk-bentuk kehidupan dan khususnya spesies manusia di planet Bumi lewat evolusi. Zona yang terbentuk oleh fine-tuning ini dinamakan Goldilocks Zone. Kalangan ilmuwan juga mengajukan sebuah istilah lain, yakni prinsip anthropik dalam teori tentang fine-tuning ini. Prinsip ini menyatakan bahwa karena dalam jagat raya ini kita, manusia (anthropos), dapat hidup, maka semua hukum fisika dalam jagat raya kita haruslah hukum-hukum yang bersahabat dengan bentuk-bentuk kehidupan sehingga dapat memunculkan kehidupan.

Salah seorang yang dengan gigih mempertahankan teori tentang fine-tuning adalah seorang yang berpengaruh, yang bernama Francis Collins, direktur National Institute of Health di Amerika Serikat. Bahkan ada sejumlah orang yang melangkah lebih jauh untuk membela teisme, dengan menyatakan bahwa fine-tuning dan Goldilocks Zone tak bisa lain selain buah kreasi suatu Oknum cerdas supernatural yang merancang semua kondisi awal yang tercipta pada saat big bang, yang memungkinkan terciptanya fine-tuning dan zona istimewa semacam ini; lantas mereka mengklaim bahwa "sains telah menemukan Allah".  

Tetapi lagi-lagi fisikawan Victor J. Stenger telah menulis sebuah buku mutakhir yang sangat bagus, yang menyajikan analisis-analisis saintifik untuk menunjukkan bahwafine-tuning adalah sebuah konsep yang salah. Bukunya ini berjudul The Fallacy of Fine-Tuning: Why the Universe Is Not Designed for Us (New York, Amherst: Prometheus Books, 2011).

Dalam bukunya itu, Stenger (dan banyak fisikawan lain) menegaskan bahwa jagat raya kita bukanlah satu-satunya jagat raya, melainkan suatu bagian dari banyak jagat raya yang dalam kosmologi mutakhir disebut multiverse, yang berisi jagat raya individual yang jumlahnya tak terbatas, yang membentang ke segala arah tak terbatas dalam ruang tak terbatas, dan untuk jangka waktu tak terbatas di masa lampau dan di masa depan. Secara kebetulan kita hidup dalam suatu jagat raya yang cocok untuk jenis kehidupan kita. Jagat raya tidak disetel dengan pas untuk mempersiapkan kedatangan manusia di dalamnya, melainkan kitalah, manusia, yang telah disetel dengan pas oleh kekuatan-kekuatan alam sehingga kita cocok dengan jagat raya kita khususnya. Tulis Stenger, "Parameter-parameter fisika dan kosmologi tidak secara khusus telah disetel untuk cocok bagi kehidupan, khususnya kehidupan manusia", dan "jagat raya akan tampak sebagaimana seharusnya seandainya pun tidak disetel dengan pas untuk spesies manusia."

Tetapi kalangan agamawan teistik, bahkan juga sekian saintis yang tak beragama, menolak konsep multiverse yang digunakan untuk menolak fine-tuning, dengan alasan bahwa solusi multiverse adalah suatu solusi yang "non-saintifik" sebab kita tidak memiliki suatu cara apapun untuk mengobservasi adanya jagat raya paralel di luar jagat raya kita sendiri.

Terhadap penolakan ini, Stenger, dalam bukunya itu (halaman 22-23), menulis: "Sesungguhnya suatu multiverse adalah suatu konsep yang lebih saintifik dan lebih hemat ketimbang menghipotesiskan adanya suatu roh pencipta yang tak dapat diobservasi dan konsep adanya hanya satu jagat raya tunggal. Multiverse adalah suatu hipotesis saintifik yang sah, sebab konsep ini sejalan dengan pengetahuan terbaik kita", salah satunya adalah teori dawai (string theory) yang diajukan oleh Leonard Susskind.

Menurut teori dawai, atom-atom fundamental dari jagat raya bukanlah partikel-partikel nol-dimensi, melainkan dawai-dawai (strings) satu-dimensi yang bervibrasi. Menurut teori ini, jagat raya memiliki enam dimensi, bukan hanya 4 dimensi ruang dan waktu. Dalam teori dawai, ada 10 pangkat 500 jagat raya yang masing-masing berbeda, dengan parameter-parameter yang berbeda. Melalui proses quantum natural, terbentuk 10 pangkat 500 jagat raya yang tentunya dari antaranya tidak hanya ada 1 jagat raya yang memiliki parameter seperti yang terdapat dalam jagat raya kita yang cocok untuk kehidupan.         

Menyangkut terciptanya kehidupan, sains biologi sintetis di tahun 2010, seperti telah ditunjukkan oleh The J. Craig Venter Institute di Amerika Serikat, telah berhasil membuktikan dalam laboratorium bahwa kehidupan cukup dihasilkan dari zat-zat kimiawi yang mati, yang persenyawaannya berlangsung menurut suatu informasi genetik yang disusun secara digital oleh sebuah komputer.

Craig Venter dkk tidak komat-kamit berdoa meminta roh Allah menghidupkan senyawa kimiawi yang mati, tetapi otak mereka bekerja keras dan mata mereka terkonsentrasi pada peralatan teknologis yang sedang bekerja, ketika mereka melakukan uji-coba penciptaan kehidupan ini, yang bermuara pada suatu keberhasilan yang revolusioner gilang-gemilang, keberhasilan yang menghantam habis kepercayaan keagamaan bahwa manusia (atau makhluk hidup apapun)  diciptakan oleh Allah lewat pemberian nafas/roh kehidupan yang dihembuskan oleh Allah ini (tentang revolusi saintifik Craig Venter ini, masuklah kehttp://www.facebook.com/note.php?note_id=10150126200719096).

Penutup
Semua orang beragama tentu ingin agama tetap bisa memandu sains. Kenyataannya, sains bergerak masuk ke wilayah-wilayah yang dulu hanya dikuasai oleh agama, dan merebutnya dari tangan para agamawan. Maka para agamawan tak pelak lagi harus bekerja keras mencari jalan-jalan lain, dengan langkah pertamanya adalah memahami sains secara objektif.

PHILIP KOTLER Indonesia Sudah Sejajar dengan BRIC

http://analisis.vivanews.com/news/read/226895-indonesia-sudah-sejajar-dengan-bric

RABU, 15 JUNI 2011, 09:51 WIB
  Syahid Latif
 

Indonesia harus bisa menciptakan sebuah slogan menarik dan berkesan

VIVAnews – Pakar marketing dunia, Philip Kotler,  menganggap Indonesia sudah sejajar dengan kelompok negara kekuatan ekonomi baru, BRIC (Brasil, Rusia, India, dan China). Dengan pertumbuhan ekonomi yang terus melaju, menurut diq, BRIC seharusnya ditambah dengan huruf I (Indonesia) menjadi BRICI.
Disamping sektor industri, salah satu kekuatan ekonomi Indonesia terletak pada sektor pariwisata dengan ikon-nya, Bali.  Kotler menilai industri pariwisata Indonesia perlu mempropagandakan keunggulan wisata kepada masyarakat di belahan negara lain. Indonesia harus bisa menciptakan sebuah slogan menarik dan berkesan yang mampu menggambarkan keelokan alam di tanah air.

Sebagian pengamatan dan usulan Philip Kotler ini disampaikan dalam sebuah wawancara khusus VIVAnews.com di Hotel Four Season, Ubud, Bali beberapa hari lalu. Kotler kali ini datang ke Indonesia dengan maksud meresmikan Museum Marketing 3.0 yang merupakan museum pemasaran pertama dan satu-satunya dunia.
Berikut petikan wawancara Philip Kotler dengan VIVAnews.com:

Apa tanggapan Anda mengenai Bali?
Bali telah berhasil mengelola pelayanan kualitas khusus dan budaya khusus lalu mengubahnya menjadi sesuatu yang menyenangkan pelancong. Wisata Bali telah memuaskan wisatawan dengan menyajikan keunggulan apa adanya.

Bali telah memiliki kapasitas untuk mengelola pariwisata dan wisatawannya. Mereka harus bisa memastikan bahwa Bali memiliki akomodasi dan hotel yang cukup bagi para turis. Satu hal yang menjadi masalah adalah kemacetan karena Bali tidak bisa menambah ruas jalan lagi.

Mungkin, Bali harus memutuskan tipe wisata seperti apa yang diinginkan wisatawan. Perbedaaan utama dari kegiatan wisata dunia terletak pada wisatawan berkelas dan wisatawan biasa-biasa saja.

Wisatawan berkelas adalah mereka yang datang dengan uang cukup banyak, fasilitas terbaik, dan tinggal dalam kurun waktu lama. Ini adalah tipe turis terbaik. Sedangkan wisatawan biasa adalah mereka yang datang untuk 1-2 hari saja dan hanya ingin melihat-lihat.

Jika saya menjadi pengelola Bali, saya akan sangat hati-hati memutuskan hal ini. Sudah pasti saya akan mengincar wisatawan yang memang serius ingin tinggal di sini, menghabiskan uang dan mempelajari budaya yang dilihatnya.

Menurut Anda, wisatawan seperti apa yang cocok untuk Bali?
Saya menduga, wisatawan Australia yang datang ke Bali ingin menikmati  kehidupan malam dan pantai. Mereka adalah tipe wisatawan yang ingin  menghabiskan waktu bermain golf, pantai, dan senang-senang.  Ada juga tipe wisatawan yang datang untuk menikmati budaya seperti melihat museum  atau wisata etnographi.
Mungkin saja ada wisatawan yang datang ke Bali dan mempertimbangkan Bali  sebagai rumah kedua atau ketiga bagi mereka. Saat ini juga ada sekitar 4-5 tipe wisatawan. Kami biasa menyebutkan  tiga segment wisata.

Bali selama ini tidak pernah membatasi turis untuk datang, tapi Bali perlu membuat pendekatan lebih banyak.

Contohnya, mungkin Bali harus lebih banyak menyasar turis dari Jerman atau  Perancis. Jika hanya mengandalkan turis yang datang untuk melihat-lihat  saja, mungkin Bali harus menggelar promosi untuk mencampur asal wisatawan  yang disasar.

Saya baru mengetahui, ketika banyak turis Jerman yang datang, mereka akan  memberitahu warga Jerman lain dan akhirnya Bali akan memperoleh banyak  wisatawan Jerman.

Namun jika tidak melakukan seperti hal itu, Bali hanya bisa mendatangkan  bermacam-macam wisawatan dan itu pertumbuhannya lambat. 
Karena Bali banyak memiliki budaya menarik, Anda harus mencari tahu negara  mana yang sangat perduli dengan budaya-budaya yang menarik. Sebagai contoh,  turis Jerman dan Skandinavia terkenal suka berjalan-jalan ke berbagai  bagian negara lain untuk mempelajari kebudayaan baru.
Anda tidak akan banyak mendatangkan wisatawan asal Amerika Selatan  untuk belajar mengenai kebudayaan. Mereka biasanya datang untuk hal lain.

Artinya Indonesia harus membuat target turis?
Betul, jadi Anda harus banyak menggelar promosi, juga meneliti untuk  mengetahui seberapa besar mereka tertarik dengan wisata budaya, berapa  banyak uang yang akan mereka habiskan, dan berapa lama mereka akan tinggal  di sini.

Jika seseorang tertarik dengan Bali, kemana lagi mereka mempertimbangkan untuk berwisata? Apakah mereka akan memikirkan pergi ke Hawaii, Fiji, atau  Thailand? Mungkin Anda bisa belajar dari pesaing-pesaing yang ada.

Bagaimana tanggapan Anda dengan pariwisata dari negara-negara itu?
Anda tahu, Thailand saya pikir kota tujuan wisata yang populer dengan  lamanya pelancong berkunjung. Namun karena kisruh politik dimana orang lama  ingin kembali berkuasa, pelancong merasa kurang aman.
Hal ini juga yang terjadi ketika wisatawan merasa kurang aman berkunjung ke  Bali ketika bom pertama kali meledak di Bali. Tapi saya pikir wisatawan merasa lebih aman.
Ini penting diketahui, karena ketakutan akan menyakiti Bali. Jadi sangat  penting untuk memiliki kebijakan dan keamanan yang terjaga.

Saya kira saat ini wisata di Asia telah populer bagi warga AS, terlihat banyaknya kunjungan wisatawan ke  Vietnam, mungkin Kamboja, Laos, dan Burma. Jadi Anda harus tahu apa yang  terjadi pada sektor pariwisata di negara-negara yang berbeda ini untuk  mengetahui apa yang mereka inginkan.

Anda tentu tidak ingin menginginkan  jenis wisata yang sama untuk menarik wisatawan yang sudah pergi ke Kamboja.  Ini tipe wisata yang berbeda. Saya pikir banyak hal yang dilupakan mengenai  Bali.

Saya pikir banyak warga AS yang mengenal nama Bali, namun mereka tidak  banyak mengetahui tentang Bali. Film terbaru berjudul Eat, Pray, Love untuk pertama kalinya mengangkat nama Bali ke layar lebar.

Sebenarnya saya ingin mengangkat industri film atau mungkin mengajak  pembuat  film dari Holywood untuk membuat film romantis ber-setting  Bali.
Langkah ini sukses dilakukan oleh Hongkong, saya lupa nama judul  filmnya, sepertinya dibintangi oleh William Goldwin atau yang lain.  Sebuah  cerita yang terkenal mengenai Hongkong, sebuah cerita cinta, saya ingin  membuat film seperti itu dengan latar Bali.

Jika anda bertanya pada orang umum, sebutkan tiga hal mengenai Bali, apa  yang akan mereka katakan? Satu pihak mungkin akan mereka katakan,  Bali adalah sebuah pulau. Tapi saya bertanya-tanya, apakah mungkin mereka katakan Indonesia. Saya kurang yakin banyak orang mengenai Pulau Bali berada di  Indonesia.
Bahkan Julia Robert dalam salah satu wawancaranya pernah mengatakan bahwa  di berlibur ke Bali, tidak pernah menyebutkan pulau ini ada di Indonesia. (tertawa....)

Kembali lagi, jadi tiga hal yang mungkin mereka katakan soal Bali, pertama  pulau. Kedua, saya tidak yakin apa mereka tahu Bali dikenal dengan peduduknya yang kebanyakan beragama Hindu. Yang ketiga adalah soal, ... pantai yang bagus.

Anda terpilih sebagai warga kehormatan Bali, bagaimana kesan Anda?
Pertama, ini saya sampaikan, saya adalah duta Indonesia  untuk bidang pariwisata. Kedua,saya sekarang memegang kunci dari kota Denpasar.
Saya merasa tersanjung dan menikmati sore yang menyenangkan kemarin dengan  ratusan orang menunggu perhelatan untuk mendengarkan sambutan dari walikota dan pidato saya.
Usai menjadi warga kehormatan, apakah Anda tidak tertarik mengikuti jejak Anthonio Blanco, tinggal di Bali?
Memang kemarin saya juga sempat mengunjungi Museum Anthonio Blanco dan saya  berpikir dia adalah seniman master dan salah satu yang harus kita kenal  lebih dekat.
Blanco sama bagusnya dengan Dali (Salvador Felip Jacint DalĂ­ Domènech) dimana pemerintah Spanyol memberikan  penghargaan kepadanya. Karya senin Blanco sangat unik karena dia tidak hanya melukis tapi juga membingkai keadaan.
Saya juga bertemu dengan Mario Blanco, anaknya, dan dia sangat asli serta  penuh kasih sayang. Dia juga mampu menciptakan lukisan layaknya seniman  sejati, mirip dengan lukisan ayahnya. Jadi, tampaknya lukisan Antonio Blanco diteruskan oleh anaknya.

Apa usul Anda bagi Bali, dan Indonesia umumnya, dalam mengembangkan industri pariwisata?
Pertama, untuk indonesia, saya menilai di dunia ini ada lima, bukan empat,  negaraemerging countries. Empat negara lain adalah Brazil, Rusia, India,  dan China (BRIC). Seharusnya istilah BRIC diganti menjadi BRICI, dengan kata I terakhir merujuk  pada Indonesia. Selanjutnya, orang akan mulai mencari tahu, siapa itu Indonesia?

Kedua, Indonesia membutuhkan publikasi yang lebih banyak mengenai pertumbuhan ekonomi. Negara Anda saat ini tumbuh rata-rata 6-7 persen per tahun dan ini bisa membuat orang terkesan untuk mengetahui bahwa ekonomi Indonesia semakin kuat. Bahkan jika dibandingkan Amerika Serikat yang sebatas mengalami pertumbuhan.

Anda tahu pertanyaan bagi wisatawan tidak hanya kesan mengenai Indonesia di masa lampau, saat ini pun banyak orang mengatakan mengenai Indonesia.
Saya mau bertanya, tiga kata apa yang bisa dikatakan orang untuk menggambarkan Indonesia? mungkin, negara di Pasifik, negara di Asia, negara dengan banyak pulau yang mencapai 19 ribu pulau, serta penduduk yang banyak. Itulah beberapa hal yang mereka tahu soal Indonesia.

Jadi, salah satu bagian dari persoalan adalah bagaimana memberikan berbagai pandangan yang tidak hanya menarik tapi juga mengesankan.

Sekarang saya ingin kembali bertanya,  apa yang menarik dan berkesan dari Indonesia?Pertama, rata-rata pertumbuhan ekonomi. Kedua, pemimpin dari komunitas ASEAN, pimpinan dari 9 negara dimana masyarakat dunia sudah mengenai negara-negara lainnya. Mereka mengetahui Thailand dan negara Asia lain, dan Indonesia adalah pemimpinnya.Ketiga, Indonesia aman dan progresif.

Permasalahannya sekarang , karena adanya konflik antar agama membuat beberapa orang mempertanyakan apakah Indonesia aman.
Indonesia adalah negara terbuka, masyarakat dunia harus tahu bahwa Indonesia adalah masyarakat demokratis dan Dia memiliki berbagai hal yang berbeda bagi semua orang baik di Jawa, Sumatera, Bali yang dimiliki oleh setiap orang.

Mungkin Indonesia harus menggunakan agen publikasi untuk menciptakan ide mengenai Indonesia.

Bagaimana penilaian Anda soal pariwisata di Indonesia?
Apakah pariwisata Anda terlau kecil atau kebesaran?  Apakah Indonesia kedatangan wisatawan terlalu banyak atau sedikit? Anda memang sudah melampaui target kunjungan yang ditentukan, namun itu belum cukup.
Kapasitas untuk pariwisata di Indonesia sebetulnya lebih besar dari angka-angka yang ditargetkan. Walau diakui Indonesia (Bali)  juga tidak ingin kedatangan wisatawan yang berlebihan.

Indonesia pastinya menginginkan wisatawan bisa berkunjung ke wilayah lain, tidak hanya bali. Ini bisa membuat Bali tidak mengalami overload turis.

Apa tujuan Anda mendirikan museum marketing?
Saya sangat bersemangat dalam pembukaan Museum Marketing 3.0 ini. Alasannya saya berharap ini bisa mengubah persepsi buruk masyarakat mengenai pemasaran. Harus diakui, memang ada marketing yang jahat dan baik juga. Contohnya, marketing yang baik tidak akan memasarkan rokok.

Begitu pula dengan museum ini, kami berharap orang akan datang ke museum ini dengan beragam rasa ingin tahu. Museum apa ini, apa itu museum marketing? Saya tidak tahu banyak mengenai marketing dan saya ingin masuk dan melihat-lihat.  Nah, ketika mereka keluar dari museum inilah, mereka akan mempunyai pemikiran baru mengenai pemasaran.

Saya membayangkan pengunjung yang datang akan berkata, “Lihatlah produk ini yang telah membantu kita, membuat hidup lebih baik, menyantap hidangan sehat, dan lain-lain.” Atau akan ada pengunjung yang berkata, “Lihatlah cara komunikasi yang dibuat dari pemasaran produk ini misalkan Nike dengan tageline "Just Do It”. Anda tahu, hal seperti inilah yang kami inginkan dari museum ini,

Jadi saya berpikir pengunjung akan keluar dari museum ini dengan perasaan yang baik mengenai pemasaran. Mungkin saja beberapa diantara mereka berpikir untuk belajar mengenai pemasaran.

Mungkin pemasaran dalam buku Marketing 1.0 terfokus pada pemasaran produk, Marketing 2.0 yang membuat masyarakat merasa terikat dengan perusahaan tertentu. Marketing 3.0 adalah pemasaran yang membuat masyarakat terkesan dengan perusahaan yang dianggap akan membantu kehidupan mereka.
Mengapa Anda memilih Bali?

Bali adalah pulau 3.0, karena disini kami mengenail istilah People (masyarakat), Planet(bumi), dan Prosperity (kemakmuran) atau disingkat 3P, yang orang lain pasti inginkan.
Di Bali juga ada keluarga Istana dari kerajaan Ubud dengan tiga orang saudaranya. Kerajaan ini  berayahkan seorang raja agung yang mampu mendatangkan Blanco, yang membuka jalan untuk masuknya seni. Tidak hanya wayang, atau dansa tapi seni. Orang-orang yang didatangkan ke Bali ini telah berkontribusi banyak pada Bali.
Bali adalah pulau yang memiliki masyarakat terbuka dan saling mengasihi dan sangat perduli pada keluarga kerajaan. Dengan beragam alasan itulah saya memilih mendirikan museum di sini.

Sunday, June 12, 2011

MBOK GINAH, LEO KRISTI DAN YEHUDI MENUHIN

https://www.facebook.com/notes/brengos-ubanan-reloaded/mbok-ginah-leo-kristi-dan-yehudi-menuhin/126007277481014
By: Brengos Ubanan Reloaded



Ini cerita keluargaku. Hingga umur 3 atau 4 tahun aku masih suka digendong dan ditidurkan oleh MbokGinah. Terutama jika aku rewel dan susah tidur. Namun, ada yang tak lazim: Ia lebih sering membawaku ke kebun belakang kami yang gelap. Dan terjadilah drama yang sama itu, dengan jurus pamungkasnya sebuah tembang yang ia rengeng-rengeng-kan, Mbok Ginah tinggal menungguku mengeluarkan air mata –tapi bukan tangis-- lantas biasanya tak lama kemudian akupun terlelap dengan damai.

Cerita tentang “keanehan” drama antara aku dan Mbok Ginah ini beredar di kalangan famili dan keluargaku. Beberapa di antara mereka bahkan memerlukan bertandang ke rumahku, hanya agar bisa menyaksikannya sendiri “secara live”. Ketika aku beranjak dewasa, mereka suka meledekku, “... jangan-jangan itu bukan tembang, tapi mantra... Lagipula, ia suka menggendongmu ke dekatpapringan, kan?” Dengan bercanda mereka mengingatkanku bahwa Mbok Ginah dulunya seorang dukun, sebelum beranjak tua dan kemudian mengasuhku sejak bayi. Aku hanya bisa ketawa kecut dan tidak pernah benar-benar menanggapi.

Ayah dan almarhumah ibuku pun ternyata tidak mengetahui apa yang dulu Mbok Ginah tembangkan. “Itu bukan tembang dolanan, mungkin sejenis mocopat kuno yang sekarang sudah punah,” kata Ibu.

Ada serpihan kenangan yang masih aku ingat. Kenangan paling jauh dari masa kanak-kanak dan bayiku tentang musik.

Malam itu bulan purnama penuh.

Sinarnya yang keperakan menerobos di sela-sela dedaunan mangga yang meranggas. Pucuk-pucuk daun bambu petung seperti ujung pena riang berlomba mencucuki langit. Suara jengkerik dan serangga malam berkelindan dengan desau angin yang mengelus entah berapa jenis dedaunan di kebun belakang kami. Selain mangga golek dan rumpun bambu, di ujung kebun yang berbatasan dengan sebuah kali kecil ada kedondong dan kersen, setelah itu kelapa, jambu gelas, duwet, srikaya pathek, kluwih dan blimbing wuluh. Sebagai pagar, berjejer mahoni, pinang dan jarak.

Lamat-lamat masih kuingat apak kain jarik yang membalutku, bercampur bau penguk dan wangi sabun Cap Tangan tubuh Mbok Ginah, membiusku memasuki alam sonya-ruri, antara jaga dan tidur. Kemudian dimulailah pertunjukan musik semesta itu. Prolognya begini: tiba-tiba saja kebun sepi, jengkerik dan serangga malam mendadak diam, demi mendengar suara Mbok Ginah. Hanya suara angin malam. Sejurus kemudian ketika ia lantunkan lagi tembangnya, beberapa jengkerik mulai berani bersuara. Setelah itu, satu-dua mulai saling menimpali dan akhirnya mereka bersuara full-orchestrakembali. Sementara suara Mbok Ginah sudah sepenuhnya menguasaiku dan mengantarku ke langit. Airmata pun meleleh hangat di pipiku.

“Allah Akbar ! Alhamdullilah, Gus, Alhamdullilah”, bisik Mbok Ginah, disekanya airmataku dengan ujung tapihnya. Ia menciumku dan memelukku lebih erat. Aku berhutang doa dan kemesraan pada wanita sederhana yang mulia ini.

Jika engkau mengira aku menikmati tembangnya waktu itu dengan telingaku, engkau salah besar. Bukan begitu kejadiannya. Aku tidak mendengarkan, melainkan sepenuhnya menyerahkan diriku pada suara tembang wanita tua itu. Juga pada suara jengkerik, juga pada suara desau angin... Kemudian mereka bersama-sama membawaku membumbung ke langit yang sudah berubah corak dan warna. Entahlah, mungkin juga karena aku telah lelap dalam mimpi.

Pada usia SD, aku terbiasa mendengarkan musik yang diputar ayahku setelah subuh. Beragam. Mulai Fausto Papeti, Areta Franklin, Pat Boone, Jim Reeves, Frank Sinatra, hingga Tety Kadi, Emilia Contesa dan serial keroncong keluaran Lokananta, Solo.

Aku gelisah. Tak satupun musik-musik itu membawaku membumbung ke langit yang berubah corak dan warnanya.

Akupun mulai membongkar-bongkar khasanah musik ayahku. Dan aku menemukan Yehudi Menuhin. Sebenarnya hanya sebuah lagu pop, “Moon River” yang dibawakan secara solo oleh Menuhin dengan biola. Itupun satu-satunya lagunya dalam kompilasi musik berjudul “Golden Instrumentalia”. Pernahkah engkau mendengarkan Menuhin? Jika belum, cobalah sekali waktu. Ia akan memainkan biola seakan-akan langsung di dalam kepalamu sendiri. Ia akan meyakinkanmu bahwa suara itu memang milikmu sendiri, dan sudah berabad-abad berada di situ tanpa kamu menyadarinya.

Aku jatuh cinta pada Menuhin dan mulai tiap hari mengubek-ubek seluruh toko kaset di kotaku yang tak seberapa besar itu. Nihil. Aku rayu teman dari temanku yang anak pemilik radio amatir agar mau membongkar gudang kaset dan piringan hitam bapaknya. Nihil. Fuad, teman bermainku yang bapaknya kyai penyuka lagu-lagu Mesir, seperti Umi Khulsum, malah mendelik, “Lagu-ne Yahudi? Kharom iku ! “

Frustrasi tak menemukan Yehudi Menuhin membuatku liar. Aku mulai melahap segala jenis musik. Jika uang sakuku habis, maka aku mencuri uang belanja Ibu atau merogoh saku celana ayahku untuk membeli kaset. Ketika suatu hari, ayahku menghadiahiku album Heintje –penyanyi cilik Jerman yang waktu itu ngetop dengan hit-nya “Mama”—aku ketawa ngakak. Mana aku sudi menelan musik bayi begituan. Ayahku tidak tahu aku sudah “terjerumus” jauh pada Deep Purple dan Gran Funk. (Pada 1983 atau 1984, di Yogyakarta, akhirnya aku menemukan kaset Yehudi Menuhin dan Stephen Grappeli dalam satu kompilasi bersama)

Di Kediri kotaku, dulu ada sekolah bernama PGLSP. Sekolah tersebut mempunyai lapangan basket dengan tribun dan jajaran tempat duduk dari semen. Para promotor lokal menyelenggarakan berbagai macam pertunjukan musik di situ. Aku sempat menonton Rhoma Irama dan Elvie Sukaesih, Ida Royani sampai Koes Plus, No Koes, Mus Mulyadi, The Hands (Mus Mujiono), Trencem (Setiawan Jody), God Bless, Rollies, Aka Grup dll di tempat ini. Masih kukenang cara mengangkang Ucok Harahap, agak menekuk kayang ketika mengangkat mik. Bokongnya yang tepos, malah membuatnya nampak bodoh seperti dakocan. Aku lebih menyukai Gito Rollies dan Arthur Kaunang.

Harus aku akui, waktu itu aku tidak benar-benar merasa bahagia dengan musik. Jadi aku mencari sensasi lain. Ibuku senang bukan main ketika suatu hari kuminta untuk membangunkanku tiap subuh. “Jangan pas adzan subuhnya, Bu, setengah jam sebelumnya. Jadi waktu sholat aku sudah tidak merasa pusing...”.Ibuku tidak tahu kalau itu cuma akal-akalanku. Sebenarnya aku tidak pernah benar-benar sholat Subuh. Aku hanya duduk-duduk di sajadah, mendengarkan suara Nanang Kosim (?) yang melantunkan satu surat (entah apa). Tiap menjelang subuh masjid di kampungku memutarnya melalui speaker. Indah dan syahdu sekali. Aku mendengarkan pertama kali suara Nanang Kosim (?) itu karena kebetulan. Suatu hari aku terpaksa bangun sebelum subuh, karena pagi itu kami sekeluarga hendak berangkat liburan ke rumah eyangku di Magelang. Kami harus bangun jam 3 dini hari karena harus buru-buru ke Kertosono, dari situ nanti baru naik KA Bima ke Yogyakarta. Riwayat “sholat subuhku” dengan sendirinya berhenti ketika pengajian Nanang Kosim itu kemudian diganti lagu-lagu qasidah yang sungguh berisik dan sama sekali tidak merdu.

Almarhumah ibuku dulu suka membujukku, “Berdoalah, Gusti Allah selalu mendengarkan doa anak-anak. Cobalah...”. Aku malas berdoa karena menurutku Tuhan mengetahui segalanya tanpa kita harus bilang apa-apa pada-Nya. Jadi apa perlunya berdoa? Lagi pula aku cuma kangen Mbok Ginah.

Sampai suatu hari, ketika kelas 1 SMP aku mendengarkan satu musik yang aneh tapi mencekam di radio. Itulah “Legang-Legong Badai Lautku”-nya Leo Kristi. Sungguh mati itu menyihirku. Cara menyanyikannya seperti langsung keluar dari hati. Aku mulai kasak-kasuk mencari tahu. Tak satupun teman-temanku yang tahu dan peduli. Beberapa waktu kemudian aku benar-benar menyaksikan Leo Kristi tampil di TVRI Surabaya, melantunkan “Nyanyian Malam”. Beberapa bulan kemudian, “Gulagalugu”. Masih terekam jelas dalam otakku, bagaimana Leo tampil waktu itu bersama Naniel, Mung, Lita dan Jilly. Ya.. ya... Itu pertunjukan yang manis, rapi, mendekati steril. Ledakannya terkendali. (Itu seperti sasmita, kelak aku tidak akan pernah menyaksikan Leo tampil live serapi ini lagi. Tidak pernah.).

Mulailah babak kegilaan baru di kamarku. Aku memutar album-album “Nyanyian Fajar”, “Nyanyian Malam” dan “Nyanyian Tanah Merdeka” Leo Kristi tiap hari seperti orang sinting. Lagu-lagunya seperti ganja. Engkau akan menemukan tafsir baru dari tiap sedotannya. Mula-mula akan muncul gelenyar-gelenyar aneh pada urat-urat syarafmu. Kemudian engkau akan kehilangan orientasi. Setelah itu mungkin engkau sadar, mungkin juga tidak. Tapi engkau akan “mengerti”. Mengerti apa? Itu tergantung, apa yang ingin kau mengerti? Itu juga tergantung tafsirmu sendiri.

Aku membumbung tinggi. Langit berubah corak dan warna tiap hari bagiku.

Ya.. ya... Mungkin lebih tepat: itu kutukan. Aku melewatkan masa kanak dan remajaku dengan musik Leo Kristi. Banyak kegaduhan dan kesintingan yang ditimbulkannya. Apa boleh buat. Setelah MbokGinah dan (pada kadar tertentu) Yehudi Menuhin, hanya musik Leo yang membuatku mengeluarkan air mata yang bukan tangis... Itu sungguh membuatku sedikit lebih kuat melewati masa mudaku yang sulit dan penuh kesintingan.

“ Pada malam penuh bintang-bintang
Setelah lewat perahu tambang, keranjang kubis, daun pisang
Lorong becek setelah tutup pasar
Berdiri Ana, lelakinya dan rebana...

Ana oh rebana
Ana, Ana, rebana
Kujumpa kau penari sombong
Lelakimu bersandar di tiang  bedak
Kau dalam gaun merah tipis
Menarikan rebana, sambil kau gerai rambutmu yang panjang

Hanya kau dan dia
Ana, ana rebana
Dan aku teringat pada istriku
Saat-saat kubersama jelang tidur malam
Menarikan nyanyian cinta birahi
Lewat gaun tidurnya yang putih

Debar, rinduku debar
Debar rinduku padanya
Komedi kera di pasar malam
Seperti cermin hidup hari ini:
            Burung punuk menunggang kera, kera menunggang kuda,
            Lecutan dari pawang muda

Tapi tidak bagi si Ana
Bersama lelakinya dan rebana
Laju-laju di sepeda tua
Tertawa kecil juga
Dalam canda diri cerita lama

Ya
Tepi pedesaan gersang
Sore lengang
Saat bocah bermain layang-layang
Perawan Ana terlelap di surau
Sambil menghisap ibu jari dimulutnya yang lebar
Manakala angin bertiup seiring suara adzan
Rebana hilang
Ana terbangun ulah bocah lancang
Berbisik padanya dalam isak tangis
Dan ketika hari mulai gelap
Seorang lelaki dengan genggam tangannya yang berat dan kuat
Mengulurkan sebuah rebana
Seraya berkata: kau ! dalam seluruh waktu lewat hidupmu
            Mainkanlah ini bagi dia yang mempertaruhkan segalanya,
            Bagimu... Berbahagialah kau, Ana !

Allahu Akbar
Lailla haiIallah..

Dan aku teringat pada istriku
Saat-saat setelah suara adzan petang
Kami duduk berhadap-hadapan
Dengan senyum memandang ke depan

(“Ana Rebana”, Album Nyanyian Cinta, 1980)

Pertama, Leo harus dipahami sebagai penyair unggul. Mata batinnya seperti raja elang. Ia menemukan berbagai cerita kehidupan di mana pun syahwat berkelana menuntunnya. Terminal, pasar, lumpur sawah, stasiun, pesisir dan sebagainya. Aku rasa ada proses kreatif yang mistis, hanya dia sendiri yang tahu, bagaimana dan dimana kemudian dia menemukan nada-nada luar biasa untuk lirik-liriknya? Musikalitasnya sempurna...

Pernahkah engkau makan rawon “Nguling” Probolinggo? Telusurilah jejak rasa bahan dan rempahnya. Engkau akan sepakat: semuanya seakan-akan memang disiapkan agar paripurna sebagai sajian. Konon kluwek yang digunakan adalah kluwek Bali. Itupun mungkin diperam terlebih dahulu dalam tanah atau dikukus. Thethelan dan sandung lamur-nya pun hanya penjualnya yang tahu, tak hanya dipilih yang terbaik, tapi juga mana yang paling cocok untuk racikan bumbu rawonnya. Aku termasuk orang yang percaya, sampai pada tingkat tertentu, urusan memasak adalah urusan spiritual. Ketika orang ikhlas memasak demi kebahagiaan orang lain, bukan demi yang lain, pasti tangan Tuhan ikut bekerja disitu. Musik Leo Kristi seperti itulah kira-kira, hehehe...

Hubunganku dengan musik Leo Kristi kemudian menjadi amat personal. Kadang aku tak punya cara ucap lain selain melalui lagu-lagunya. Proses kerumitan dan kesintingan ketergantunganku kadang amat parah. Seperti misalnya ketika aku mutlak membutuhkannya untuk melawan ketakutan-ketakutanku sendiri melewati hidup sehari-hari.

Beberapa tahun yang lalu, ketika keponakan pertamaku lahir. Aku bahagia luar biasa. Suatu hari aku berhasil merebut dari tangan emaknya dan membawanya kabur  ke kamarku, beberapa detik aku tak tahu harus berbuat apa. Aku hanya tahu aku harus mengambil gitarku dan menyanyikan sebuah lagu Leo Kristi untuknya. Oke, oke. Tapi lagunya yang mana, yang kira-kira cocok untuk bayi? Tiba-tiba aku ingat,  iparku, emak si bayi berasal dari Semarang, maka aku menyanyikan:

“Pojok cafe simpang lima
Sepanjang sore dan petang hari
Kaki lima rumput kota
Semarang....”

Dan bayi itu nangis kejer...

Sampai hari ini pun, aku tidak pernah berhasil membujuk istriku untuk mengagumiku menyanyikan lagu-lagu Leo Kristi. Padahal aku memacarinya sejak kelas 2 SMP. Sejak saat itupun aku sudah membombardirnya dengan lagu-lagu Leo... 

“Di atas bukit utara semalam
Malam larut  tenggelam jauh
Di bawah kelipan lentera jalan
Berkedip-kedip perlahan
Dengan sinarnya kuning-temaram
Kini aku datang, sayang...”

(“Di Atas Bukit Utara Selaksa Bunga Rumput”, Nyanyian Tanah Merdeka, 1979)

Menginjak SMA, beruntung aku menemukan teman sesama Lker. Itu keajaiban. Kami berdua sering diledek teman-teman lain sebagai sepasang pembeli kaset Leo Kristi satu-satunya di Kediri. Ha ha... Suatu hari aku meminta komentarnya, bagaimana kira-kira kalau aku menisbatkan profil Theresia tokoh dalam lagu “Babtis Theresia” pada seorang teman kami yang cuwaantiikk, kebetulan namanya pun sama: Theresia? Tinggal kita kasih kerudung biarawati aja dia. Beres. Lantas kau bayangkan, bagaimana ia yang sudah kau pacari sejak SMP tiba-tiba dilamar Tuhan, masuk seminari dan meninggalkanmu dengan hati remuk-redam? Engkau toh tak mungkin menantang Tuhan berkelahi untuk merebutnya kembali? Temanku tidak setuju. Dia bilang, Tuhan pencemburu, Ia tak akan biarkan kekasih-kekasih-Nya berwajah terlalu cantik. Agar tidak dicuri dunia. Ada benarnya juga, pikirku.

“Lewat kegelapan gaun panjangmu
Dalam kerudung putih imanmu
Engkau jadi nampak teduh
            Pada Dia Yang Agung
            Pada kesucian sangkakala
            Hari megah

Aku mendekap cintamu Theresia
Seakan dentang lonceng katedral tua
Terdengar dalam hujan dan angin lama
Sedang aku berdiri di luar sana
Sendiri
Dalam airmata bahagia

Kutuliskan namamu
Oh kutuliskan namamu
Lewat putra lelakiku”

(“Babtis Theresia”, Nyanyian Cinta, 1980)

Dari ujung ke ujung aku hapal belaka semua lagu-lagu Leo Kristi seperti wiridan sakral. Baru-baru ini aku ketawa ngakak membaca catatan FB seorang teman lama yang Lker juga (note: Lker sebutan untuk penggila Leo Kristi). Sungguh tepat ia menamakan Lkers yang menginthil Leo manggung di mana pun itu sebagai Jamaah Kristi’iyah. Mungkin lebih tepat lagi Jamaah Tarekat Kristi’iyah. Dan Leo adalah seorang mursyid. Sebagai mursyid, sebagai “wali”,  ia adalah dari jenis yang khaarikul ‘aadah (berperilaku ganjil). Dalam dunia perwalian beneran, kira-kira seperti almarhum Gus Mik, Kediri atau Mbah Lim, Klaten. Begitulah.

Setelah batinku porak-poranda menyaksikan dua atau tiga kali pementasannya di Gedung Kesenian Jakarta dan TIM (mungkin juga sekali di Yogya, aku lupa), aku bersumpah tidak akan  lagi menonton pementasan-pementasannya. Sungguh berantakan, tidak siap, benar-benar amatir. Jauh dari semua ekspetasi estetikku. Sungguh, engkau hanya seperti menonton seorang bonek (Leo memang asli Surabaya) yang mementaskan musiknya secara norak, cengengesan, njelehi.  Batinku tidak siap untuk itu.  Pernahkah engkau melihat Leo Kristi bicara? Ia akan cuma bergumam seperti orang mendem. Tapi bukankah seorang wali seperti Mbah Lim juga gagu berbicara? Konon, menurut Gus Dur, kegaguan Mbak Lim hilang seketika untuk beberapa urusan, yaitu mengaji, menyanyikan Indonesia Raya dan menelepon Gus Dur sendiri. Wallahu alam.

Serius. Sebagai wiridan, lagu-lagu Leo Kristi keramat. Sampai sekarang aku percaya cerita seorang teman, katanya ia ikut andil menumbangkan Soeharto lewat wiridannya yang tak pernah putus beberapa bulan menjelang Reformasi 1998:

“Peringatan dalam diam
Tak satu lelap di sini
Jelang empatpuluh tahun merdeka
Angin lebih dingin dari biasa
Srek srek.. tak tak
Tak tak tak tak
Suara penyapu jalan
Bercampur dengan deru roda kereta

Berjanjilah dalam janji...”

Sekiranya engkau gondok dan sebel pada SBY sekarang ini, coba saja wiridkan suwuk ala temanku ini. Siapa tahu...

Ya, ya. Karena aku sendiri juga sering berkirim doa pada Mbok Ginah melalui wiridan berikut:

“Kenanga cina
Rambatan panjang di jendela kelabu
Kenangan cinta
Rambatan panjang di jendela hatiku
Slalu...”

Beberapa tahun lalu, anakku sulung keheranan,

“Kenapa Bapak suka banget pada lagu-lagu aneh ini? Kok aku tidak suka, sih?”

Ya aku jawab saja seperti Ibuku almarhumah dulu ngendiko membujukku,

“Berdoalah, Nak. Gusti Allah selalu mendengarkan doa anak-anak. Percayalah. Cobalah. Tiap jaman selalu memberi hadiah lagu-lagu yang bagus untuk anak-anak... Kelak engkau juga akan mendapatkan lagumu sendiri...”

Anakku melongo, menatapku terheran-heran tidak mengerti...  Habis, aku mau menjawabnya bagaimana lagi, coba?


(In memoriam alm. Bagus Baskoro

"... kaum bawah-mewah
amat jauh
dari hatiku yang kaya-raya
kemesraan..." )