Tulisan ini menyoroti tiga ranah debat antara sains dan agama: pertama, ranah moralitas; kedua, ranah sains dan wahyu skriptural; dan ketiga, ranah filosofis eksistensi Allah dan hakikat manusia.
Moralitas
Tentu nilai-nilai altruistik yang umum ditawarkan agama-agama kuno, yang mendorong manusia mau berkorban demi kebaikan manusia lainnya, tetap relevan. Tetapi banyak moralitas yang ditawarkan agama-agama kuno tak cocok lagi sekarang ini.
Semua kitab suci agama kuno ditulis dalam suatu kebudayaan patriarkal yang merendahkan kaum perempuan. Patriarkalisme ini berbenturan dengan moralitas modern yang membela kemitraan sejajar perempuan dan lelaki dalam semua aspek kehidupan. Begitu juga, sementara orang modern menerima kesetaraan kalangan LGBT di semua bidang kehidupan, kalangan skripturalis kebanyakan agama membenci mereka. Agama-agama teistik kuno, termasuk Yesus dan kekristenan perdana, membela teokratisme, yang kalau diterapkan sekarang akan berbenturan dengan banyak nilai moral yang dibela sistem demokrasi modern. Dalam dunia kuno, genosida dipraktekkan atas nama suatu allah, sementara kini dipandang sebagai satu musuh umat manusia. Dalam zaman modern, pemikiran bebas didorong dan dijamin oleh UUD suatu negara, tapi para agamawan berbagai agama memakai kitab suci untuk memberangus pemikiran yang tak sejalan dengan isi kitab suci. Moralitas yang ditarik dari teks-teks legal dalam kitab-kitab suci kuno banyak bertabrakan dengan moralitas yang manusia modern susun dengan terutama memperhitungkan konteks sosio-historis suatu tindakan.
Pendek kata, ada banyak nilai moral yang ditawarkan kitab-kitab suci kuno, yang tak kena lagi untuk zaman sekarang. Akibatnya, fungsi agama sebagai satu sumber terpenting ajaran moral bagi kehidupan modern dipertanyakan. Sam Harris, dalam buku terbarunya, The Moral Landscape: How Science Can Determine Human Values(2010), menunjukkan bahwa sains modern, khususnya neurosains (= sains tentang sifat, kapasitas dan cara kerja neuron-neuron yang membentuk organ otak manusia), dapat menjadi satu sumber nilai-nilai moral yang dibangun berdasarkan suatu kesadaran bahwa semua manusia membutuhkan well-being, kesejahteraan, bagi dirinya sendiri dan bagi masyarakatnya. Karena otak melahirkan sains, dan sains memunculkan teknologi, dan keduanya digunakan untuk kesejahteraan manusia dan ketahanan semua bentuk kehidupan, maka otak juga akan sanggup, tanpa agama sekalipun, untuk menggariskan nilai-nilai moral sekuler, yang mengarahkan tindakan manusia ke suatu tujuan pamungkas, yakni menghasilkan, mempertahankan dan meningkatkan kesejahteraan untuk semua insan.
Sains modern menunjukkan bahwa manusia memiliki suatu kemampuan genetik untuk mempertahankan kehidupan mereka, lewat “selfish gene” (Richard Dawkins), dan lewat suatu mekanisme sosio-biologis “survival of the fittest” (Charles Darwin) yang bekerja dalam proses evolusi biologis, sosial dan kosmologis yang tak pernah selesai. Dalam diri spesies homo sapiens, manusia cerdas, yang memiliki “self consciousness” (kesadaran diri), dorongan mempertahankan kehidupan tak lagi bersifat naluriah, melainkan dipikirkan, diprogram, dan dievaluasi oleh otak manusia, dan dijalankan dalam tindakan dan perilaku. Dalam rangka inilah otak manusia menunjukkan suatu kemampuan untuk melahirkan nilai-nilai moral, lewat sains, lewat kesadaran yang tertanam dalam otak, dan lewat kemampuan berpikir retroaktif dan antisipatif yang menembus ruang dan waktu, ke belakang maupun ke depan.
Sains dan Wahyu Skriptural
Pengetahuan modern dan cara menganalisis objek-objek secara saintifik baru muncul abad 16 atau abad 17 lewat kegiatan penelitian Galileo Galilei (1564-1642), yang kini diakui sebagai Bapak sains modern, dan lewat analisis filosofis rasionalis RenĂ© Descartes (1596-1650) yang diakui sebagai Bapak filsafat modern dan dikenal luas lewat sebuah pernyataannya “Cogito ergo sum”, “Aku berpikir, maka aku ada.”
Karena semua kitab suci ditulis pada masa pramodern, ketika orang belum mampu berpikir, mengobservasi dan menganalisis secara saintifik, jelas mustahil jika orang mau menemukan sains modern dalam kitab-kitab suci kuno. Jika kitab-kitab suci kuno benar memuat sains, mustinya sejak dulu para ahli kitab suci bisa menjadi para penemu sains. Faktanya tak demikian.
Sains modern lahir bukan dari kegiatan mengkaji kitab suci apapun, tetapi dari eksperimentasi, dari observasi atas segala fenomena alam, dan dari kegiatan berpikir yang logis, mendasar, runtut, analitis, konsisten dan koheren, dan dari bukti-bukti empiris objektif. Kitab-kitab suci disusun berdasarkan suatu iman pada keberadaan makhluk-makhluk adikodrati (Allah, misalnya), tanpa suatu bukti empiris apapun yang membenarkan klaim imaniah ini.
Suatu klaim saintifik hanya diterima benar jika ada bukti-bukti empiris yang mendukungnya; ini yang disebut sebagai epistemologi evidensialis. Kitab-kitab suci mengklaim kebenaran imaniah yang berlaku absolut dan diyakini tak bisa salah karena dipercaya datang sebagai wahyu; ini yang disebut sebagai epistemologi revelatif, yang bertabrakan dengan epistemologi evidensialis dalam dunia sains. Sains tak bisa diabsolutkan, tak bisa diilahikan, meskipun tentu saja ada berbagai posisi saintifik yang sudah teruji dan sudah mapan. Sains juga tidak bisa diklaim tidak bisa salah, tetapi selalu terbuka pada falsifikasi saintifik dan reformulasi.
Banyak agamawan mengklaim bahwa kebenaran-kebenaran yang diberitakan dan dipertahankan dalam kitab suci (mereka) adalah kebenaran-kebenaran mutlak yang serba pasti, tak bisa salah dalam segala hal, karena dipercaya diberitahukan atau diwahyukan oleh Allah yang tak bisa salah, sehingga terjamin kebenarannya, dan berlaku kekal, tak pernah usang. Klaim ini sebetulnya salah sama sekali.
Justru kebenaran-kebenaran yang diwartakan agama-agama adalah kebenaran-kebenaran yang paling tidak pasti, paling relatif, sebab hal-hal yang diklaim sebagai kebenaran dalam agama-agama tidak berpijak pada bukti-bukti empiris objektif yang dapat diobservasi oleh indra atau oleh peralatan teknologis, melainkan hanya dipercaya saja secara subjektif. Sebaliknya, kebenaran-kebenaran saintifik jauh lebih pasti ketimbang kebenaran-kebenaran yang diberitakan agama-agama, sebab semua kebenaran sains diklaim benar dengan berdasar bukti-bukti empiris objektif yang bisa diobservasi oleh indra dan oleh peralatan teknologis. Bahkan ada banyak kebenaran saintifik yang kebenarannya sudah mencapai status kebenaran mutlak, sebagai kebenaran-kebenaran saintifik yang sudah mapan, misalnya hukum-hukum besi fisika yang tak bisa salah, dan berlaku universal, di muka Bumi maupun di seluruh jagat raya.
Banyak agamawan mengklaim bahwa kitab suci mereka sejalan dengan sains modern. Tetapi sebetulnya mereka hanya dengan paksa mencocok-cocokkan sains modern dengan kitab suci. Jika sains yang semula diklaim sejalan dengan kitab suci berubah, mereka pasti akan mencari teks skriptural lain untuk dipaksa sejalan dengan sains modern. Kalaupun sejumlah agamawan bisa dengan jujur mempertemukan sains modern dengan keyakinan religius mereka, ternyata keyakinan religius mereka sudah sangat tidak ortodoks lagi.
Kini banyak agamawan dari berbagai agama mengklaim bahwa pemikiran keagamaan mereka, dan khususnya yang terekam dalam kitab-kitab suci mereka, sejalan dengan fisika quantum. Tetapi fisikawan Victor J. Stenger menunjukkan bahwa klaim-klaim semacam ini diajukan karena para agamawan itu salah memahami berbagai dimensi fisika quantum; tentang ini, lihat bukunya Quantum Gods: Creation, Chaos, and the Search for Cosmic Consciousness (Amherst, New York: Prometheus Books, 2009). Kalaupun para agamawan dapat memasukkan Allah sebagai suatu faktor dalam sains, Allah semacam ini hanya berfungsi sebagai “god of the gaps”, Allah pengisi “celah-celah” yang masih belum bisa diisi oleh sains. Ketika celah-celah ini suatu saat berhasil ditutup oleh data serta bukti saintifik, Allah semacam ini akan menganggur, tak lagi aktif mengisi celah-celah sains. Tempat Allah semacam ini dalam dunia ditentukan oleh para agamawan, dan merekalah yang memberi tugas pada Allah ini, bukan sebaliknya. Aneh juga ada Allah yang semacam ini.
Belakangan ini ada berbagai usaha membangun “sains skriptural”, misalnya sains Vedik, sains Quranik, atau sains Alkitabiah. Tujuannya antara lain bersifat politis, yakni untuk mengunggulkan kedudukan satu agama dalam suatu negara, dan untuk mengendalikan dan menjinakkan arah gerak progresif sains lewat kekuasaan monster agama, dengan akibat seluruh rakyat negara ini diperbodoh oleh para agamawan. Di kalangan Muslim, misalnya, ada berbagai usaha untuk membangun sains Islam, yang dibuat berkonfrontasi dengan apa yang mereka dengan keliru sebut sains Barat, sains imperialis Amerika! Anehnya, banyak kaum bangsawan di Saudi Arabia malah menyekolahkan putera-puteri mereka di universitas-universitas besar di Amerika Serikat, sebuah negara besar modern yang mereka cap imperialis!
Akhirnya akan pasti tampak bahwa semua “sains skriptural” ini hanyalah pseudo-science (atau malah junk science, dalam penilaian para saintis tulen Barat) yang tak memiliki bukti empiris dan dasar teoretis saintifik apapun, sehingga hanya pantas dipandang sebagai doktrin keagamaan, seperti halnya kreasionisme dan intelligent design yang diciptakan kekristenan Amerika. Karena para agamawan kini sedang membawa agama ke dalam ranah sains dan ranah politik, tentu saja bisa dimengerti mengapa para saintis tulen (Barat) kini melakukan banyak pembedahan atas semua klaim keagamaan dengan memakai pisau-pisau bedah sains.
Eksistensi Allah dan Hakikat Manusia
Sampai kini, faktanya, tak ada satu bukti empiris apapun yang membenarkan klaim agama-agama teistik bahwa Allah itu ada. Penelitian fisikawan Victor J. Stenger, misalnya, malah menghasilkan suatu kesimpulan bahwa Allah itu tidak ada. Dua buku mutakhirnya perlu dibaca, Has Science Found God? The Latest Results in the Search for Purpose in the Universe (2003), dan God: The Failed Hypothesis. How Science Shows That God Does Not Exist (2007).
Ketimbang menerima hipotesis kaum agamawan bahwa alam semesta ini ada karena telah diciptakan oleh Allah, sains fisika kini mengargumentasikan bahwa jagat raya ini tercipta sendiri dari ketiadaan, karena bekerjanya gaya gravitasi supersimetri, prinsip relativitas, dan terjadinya fluktuasi quantum dalam suatu titik ruang-waktu yang kosong dan acak, yang tak memungkinkan adanya ruang kosong apapun yang tak berisi energi. Fluktuasi quantum ini bermuara pada suatu inflasi atau eskpansi besar yang selanjutnya menimbulkan big bang. Fisikawan besar Stephen Hawking adalah salah seorang saintis yang berargumentasi demikian, dalam bukunya The Grand Design (2010).
Kini, para “saintis skriptural” Barat, dengan topangan dana dari The John Templeton Foundation, sedang fokus pada berbagai penelitian terhadap mind, pikiran, dengan harapan bahwa mind bisa dibuktikan sebagai suatu zat spiritual, bukan zat material. Alasan mereka: Jika pikiran manusia adalah suatu zat rohani, maka Allah sebagai roh tentu ada. Tapi pertanyaannya adalah: Mengapa pikiran manusia lenyap ketika otak tidak lagi menerima pasokan nutrisi, hormon dan oksigen, ketika tak ada lagi energi elektrokimiawi neurologis yang mengalir dalam otak manusia, ketika manusia mati? Bukankah kalau pikiran manusia itu suatu zat rohani yang independen, tak terikat pada zat material organ otak, pikiran ini akan tetap ada kendatipun otak rusak atau manusia si pemilik otak mati, dan manusia akan dapat tetap hidup hanya dengan roh sekalipun tidak memiliki organ otak? Karena manusia pasti mati ketika otaknya mati atau ketika otaknya dicopot, atau pikiran lenyap ketika otak mati, berarti roh manusia itu tidak ada, dus berarti juga Allah itu, sebagai suatu zat spiritual yang memberi roh kehidupan kepada jasad manusia, tidak ada.
Sebuah argumen ilustratif analogis telah diajukan kalangan agamawan untuk menolak kesimpulan dalam alinea di atas, bahwa roh Allah dan roh manusia itu tidak ada. Mereka memakai ilustrasi stasiun pemancar gelombang radio yang menyiarkan gelombang radio ke mana-mana lalu ditangkap oleh sebuah pesawat radio. Dalam ilustrasi ini, pemancar gelombang radio itu surga, dan gelombang radionya adalah roh Allah, dan pesawat penerima gelombang radio adalah otak manusia, yang berfungsi sebagai antena-antena penangkap "gelombang radio ilahi". Kata mereka, kalau pesawat radionya dimatikan (dalam posisi OFF) atau rusak, gelombang radionya dan stasiun pemancar gelombang radionya masih tetap ada, tidak ikut mati atau rusak.
Kepada kalangan agamawan yang berargumentasi demikian, hanya perlu diajukan satu permintaan: Tunjukkanlah kepada dunia di mana lokasi geografis stasiun pemancar gelombang radio yang mereka sebut surga, dan tunjukkanlah lewat radar adanya gelombang radio ilahi yang mereka bayangkan sebagai roh Allah! Permintaan ini sangat serius, sebab kalau organ lunak berwarna putih, yang memiliki massa, yang objektif ada di dalam tempurung kepala kita, yang kita namakan otak, adalah penerima gelombang radio ilahi, maka gelombang radio ilahi ini juga harus bisa ditunjukkan keberadaannya secara empiris objektif di layar radar, dan lokasi pemancarannya juga harus dapat diidentifikasi-- lebih-lebih sekarang ini teknologi radar sudah sangat maju!
Kalangan skripturalis teistik berkeras bahwa manusia adalah suatu ciptaan unik Allah, yang menjadi hidup karena hembusan roh Allah, dan ada dalam planning Allah sejak awal untuk menjadikannya mahkota termulia dari semua ciptaan lain, untuk berkuasa atas jagat raya. Namun para saintis menegaskan bahwa manusia adalah salah satu bentuk kehidupan yang pada level fundamental tak berbeda dari semua benda material lain dalam jagat raya, yang tersusun dari partikel-partikel subatomik u-quark,d-quark dan elektron.
Kita sudah tahu bahwa sains evolusi, dengan didukung bukti-bukti empiris yang makin melimpah, sudah berhasil memperlihatkan bahwa homo sapiens, makhluk cerdas, yang kita beri nama manusia, adalah makhluk yang sungguh-sungguh berasal dari alam dan merupakan bagian dari alam, yang pada awalnya hanya memuat satu bentuk kehidupan bersel tunggal arkhaea. Buku bagus paling mutakhir yang menggambarkan proses evolusi ini dengan bukti-bukti sangat melimpah, adalah buku Richard Dawkins, The Greatest Show on Earth: The Evidence for Evolution (New York: Free Press, 2009). Sebuah buku tentang sains evolusi yang juga ada di rak buku saya, yang isinya sangat terang dan gamblang, adalah buku karya Jerry A. Coyne, Why Evolution Is True (Penguin Books, 2009).
Sains evolusi menunjukkan bahwa manusia muncul di Bumi sebagai suatu hasil proses evolusi biologis sangat panjang menurut suatu mekanisme seleksi alamiah, proses evolusi yang terus berlangsung acak, buta, tak bertujuan, tak terencana dan tak terpandu oleh kekuatan eksternal adikodrati apapun. Jadi, "the intelligent designer", sang perancang cerdas, yang mereka namakan Allah, sama sekali tak ada, tak memberi desain apapun atas alam ini dan semua bentuk kehidupan di dalamnya, dan khususnya tak merancang dengan cerdas homo sapiens. Dalam menjelaskan asal-muasal semua bentuk kehidupan, khususnya bentuk kehidupan yang kita namakan homo sapiens, hipotesis bahwa Allah adalah sumber semua bentuk kehidupan ini, sama sekali tidak diperlukan. The supernatural designer is dead!
Tetapi, kalangan agamawan dan "saintis teistik" sudah lama berkeras bahwa alam semesta kita ini, dan khususnya sistem matahari kita (solar system), telah dengan luar biasa "disetel dengan pas" (fine-tuned) sehingga menghasilkan suatu zona yang cocok untuk munculnya bentuk-bentuk kehidupan dan khususnya spesies manusia di planet Bumi lewat evolusi. Zona yang terbentuk oleh fine-tuning ini dinamakan Goldilocks Zone. Kalangan ilmuwan juga mengajukan sebuah istilah lain, yakni prinsip anthropik dalam teori tentang fine-tuning ini. Prinsip ini menyatakan bahwa karena dalam jagat raya ini kita, manusia (anthropos), dapat hidup, maka semua hukum fisika dalam jagat raya kita haruslah hukum-hukum yang bersahabat dengan bentuk-bentuk kehidupan sehingga dapat memunculkan kehidupan.
Salah seorang yang dengan gigih mempertahankan teori tentang fine-tuning adalah seorang yang berpengaruh, yang bernama Francis Collins, direktur National Institute of Health di Amerika Serikat. Bahkan ada sejumlah orang yang melangkah lebih jauh untuk membela teisme, dengan menyatakan bahwa fine-tuning dan Goldilocks Zone tak bisa lain selain buah kreasi suatu Oknum cerdas supernatural yang merancang semua kondisi awal yang tercipta pada saat big bang, yang memungkinkan terciptanya fine-tuning dan zona istimewa semacam ini; lantas mereka mengklaim bahwa "sains telah menemukan Allah".
Tetapi lagi-lagi fisikawan Victor J. Stenger telah menulis sebuah buku mutakhir yang sangat bagus, yang menyajikan analisis-analisis saintifik untuk menunjukkan bahwafine-tuning adalah sebuah konsep yang salah. Bukunya ini berjudul The Fallacy of Fine-Tuning: Why the Universe Is Not Designed for Us (New York, Amherst: Prometheus Books, 2011).
Dalam bukunya itu, Stenger (dan banyak fisikawan lain) menegaskan bahwa jagat raya kita bukanlah satu-satunya jagat raya, melainkan suatu bagian dari banyak jagat raya yang dalam kosmologi mutakhir disebut multiverse, yang berisi jagat raya individual yang jumlahnya tak terbatas, yang membentang ke segala arah tak terbatas dalam ruang tak terbatas, dan untuk jangka waktu tak terbatas di masa lampau dan di masa depan. Secara kebetulan kita hidup dalam suatu jagat raya yang cocok untuk jenis kehidupan kita. Jagat raya tidak disetel dengan pas untuk mempersiapkan kedatangan manusia di dalamnya, melainkan kitalah, manusia, yang telah disetel dengan pas oleh kekuatan-kekuatan alam sehingga kita cocok dengan jagat raya kita khususnya. Tulis Stenger, "Parameter-parameter fisika dan kosmologi tidak secara khusus telah disetel untuk cocok bagi kehidupan, khususnya kehidupan manusia", dan "jagat raya akan tampak sebagaimana seharusnya seandainya pun tidak disetel dengan pas untuk spesies manusia."
Tetapi kalangan agamawan teistik, bahkan juga sekian saintis yang tak beragama, menolak konsep multiverse yang digunakan untuk menolak fine-tuning, dengan alasan bahwa solusi multiverse adalah suatu solusi yang "non-saintifik" sebab kita tidak memiliki suatu cara apapun untuk mengobservasi adanya jagat raya paralel di luar jagat raya kita sendiri.
Terhadap penolakan ini, Stenger, dalam bukunya itu (halaman 22-23), menulis: "Sesungguhnya suatu multiverse adalah suatu konsep yang lebih saintifik dan lebih hemat ketimbang menghipotesiskan adanya suatu roh pencipta yang tak dapat diobservasi dan konsep adanya hanya satu jagat raya tunggal. Multiverse adalah suatu hipotesis saintifik yang sah, sebab konsep ini sejalan dengan pengetahuan terbaik kita", salah satunya adalah teori dawai (string theory) yang diajukan oleh Leonard Susskind.
Menurut teori dawai, atom-atom fundamental dari jagat raya bukanlah partikel-partikel nol-dimensi, melainkan dawai-dawai (strings) satu-dimensi yang bervibrasi. Menurut teori ini, jagat raya memiliki enam dimensi, bukan hanya 4 dimensi ruang dan waktu. Dalam teori dawai, ada 10 pangkat 500 jagat raya yang masing-masing berbeda, dengan parameter-parameter yang berbeda. Melalui proses quantum natural, terbentuk 10 pangkat 500 jagat raya yang tentunya dari antaranya tidak hanya ada 1 jagat raya yang memiliki parameter seperti yang terdapat dalam jagat raya kita yang cocok untuk kehidupan.
Menyangkut terciptanya kehidupan, sains biologi sintetis di tahun 2010, seperti telah ditunjukkan oleh The J. Craig Venter Institute di Amerika Serikat, telah berhasil membuktikan dalam laboratorium bahwa kehidupan cukup dihasilkan dari zat-zat kimiawi yang mati, yang persenyawaannya berlangsung menurut suatu informasi genetik yang disusun secara digital oleh sebuah komputer.
Craig Venter dkk tidak komat-kamit berdoa meminta roh Allah menghidupkan senyawa kimiawi yang mati, tetapi otak mereka bekerja keras dan mata mereka terkonsentrasi pada peralatan teknologis yang sedang bekerja, ketika mereka melakukan uji-coba penciptaan kehidupan ini, yang bermuara pada suatu keberhasilan yang revolusioner gilang-gemilang, keberhasilan yang menghantam habis kepercayaan keagamaan bahwa manusia (atau makhluk hidup apapun) diciptakan oleh Allah lewat pemberian nafas/roh kehidupan yang dihembuskan oleh Allah ini (tentang revolusi saintifik Craig Venter ini, masuklah kehttp://www.facebook.com/note.php?note_id=10150126200719096).
Penutup
Semua orang beragama tentu ingin agama tetap bisa memandu sains. Kenyataannya, sains bergerak masuk ke wilayah-wilayah yang dulu hanya dikuasai oleh agama, dan merebutnya dari tangan para agamawan. Maka para agamawan tak pelak lagi harus bekerja keras mencari jalan-jalan lain, dengan langkah pertamanya adalah memahami sains secara objektif.