http://www.gatra.com/artikel.php?id=148506
PERSPEKTIF RADHAR PANCA DAHANA
Salah satu begawan ekonomi yang calon salah satu pejabat tertinggi negara itu dahulu bertanya kepadaku, "Apa yang saya bisa bicarakan, Dik, tentang kebudayaan?" Wajahnya menyimpan penegasan, bidang kerjanya tak berkait sama sekali dengan hal yang pada saat itu harus ia bincangkan. Aku tersenyum, menyentuh lengannya yang berkain batik sederhana, dan menukas, "Justru ekonomi tanpa kebudayaan takkan berarti apa-apa."
Pernyataan itu secara spesifik lebih bermakna dalam konteks negeri ini, Indonesia. Ia berangkat dari realitas historis-kultural, di mana rakyat negeri ini, rakyat yang nelayan (maritim) juga sebagian agraris, menjalankan tugas ekonomisnya sebagai kebutuhan yang alamiah dan dasariah sebagai manusia. Dan tugas itu, baik yang paling dasar (memenuhi kebutuhan hidup) maupun yang lanjutan (meningkatkan taraf kesejahteraan), tidak dapat dilepaskan dari realitas alamiah dari lingkungan yang ada di sekitarnya.
Artinya, irama kerja tugas itu tidak akan melawan atau berlawanan dengan irama hidup alam di mana ia mendapatkan semua sumber penghidupannya, sumber semua kebutuhan spesiesnya untuk survive, berkembang, dan beregenerasi. Maka, darinya akan tercipta sebuah simbiosis yang mutualistik di antara keduanya, sehingga tak terjadi dominasi atau subordinasi, terlebih hubungan yang penuh eksploitasi.
Manusia tradisi Indonesia akan memperhatikan batas di mana ia dapat memanfaatkan dan mendayagunakan alam, mengambil secukupnya, mengembalikan yang berlebih, atau mengganti apa yang telah ia habiskan sebagai pemenuhan konsumsi. Irama kerjanya pun akan mengikuti irama hidup alam. Ada saatnya ia bekerja keras, ada saatnya ia menuai, dan ada saatnya ia diam tak melakukan apa-apa. Seperti tanaman yang tumbuh, berbuah, kemudian diam, untuk memulai siklus hidup berikutnya.
Di titik akhir itulah, manusia pekerja Indonesia berada dalam situasi vacant, kosong dalam arti sepi dari kerja. Lalu ia memanfaatkannya untuk berpesta, bepergian, bersilaturahmi, ber-vacantie. Berlibur. Liburan manusia tradisi kita adalah masa di mana lingkungan tempat kita bekerja juga libur, entah itu peternak, peladang, petani, nelayan, dan seterusnya. Di titik ini, produktivitas luar biasa bisa kita dapatkan, karena manusia dan alam saling mendukung kerja demi hasil atau produksi terbaik.
Persoalan akan muncul ketika hari libur itu ditetapkan berdasarkan alasan kultural yang sama sekali berbeda. Seperti menetapkan hari libur Minggu dan Sabtu yang notabene berbasis kultural-historis Eropa dengan adab daratan atau kontinentalnya.
Dapat dibayangkan, bila masyarakat yang agraris dan maritim dipaksa menjalankan libur adab daratan yang industrialistik. Mereka, tentu saja, akan kehilangan irama kerja, irama hidupnya. Irama di mana alam --biasanya-- ikut menari bersama. Di sini relasi environmental, sosial, hingga kultural antara manusia dan alam sebagai sumber hidupnya pun menjadi retak. Tercipta situasi yang saling mengasingkan pada awalnya, dominatif dan eksploitatif di giliran berikutnya. Simbiosis itu tak lagi mutualistik, tapi parasitik, imperialistik.
Bagaimana kita mengharapkan produksi hebat dari relasi semacam itu? Bagaimana seorang manusia pekerja dapat diharapkan kreatif dan produktif? Tak mengherankan jika dalam ekonomi kapitalistik kita, budaya industri itu tak segera tumbuh, karena ia melawan dasar dari disiplin tubuh tradisional kita. Tak mengherankan bila kita tak kunjung berswasembada, bahkan pada produk-produk agrikultural andalan kita, ketika mayoritas pekerja yang masih berkultur agraris dan maritim mesti mengikuti pola dan gaya hidup masyarakat industri (urban) yang tak sampai 30% jumlahnya.
Mungkin jumlah penduduk kota kita telah mencapai angka 50%, sebanding dengan masyarakat rural. Tapi tidak berarti tradisi hari libur kerja oksidental dapat diterapkan begitu saja. Terlebih penerapan "harpitnas" yang sembrono. Sebab bukan saja petani dan nelayan yang bekerja sepanjang minggu, melainkan juga tukang bakso, toko kelontong, tukang ojek, warung tegal, dan semua usaha mikro dan kecil tetap bekerja ketika para buruh dan karyawan berleha membelanjakan penghasilannya.
Apalagi ketika kita mafhum, penetapan libur kerja itu tidak lain merupakan adopsi dari keyakinan religius masyarakat Eropa. Minggu untuk ibadah Kristiani dan Sabtu untuk ibadah Yahudi, hari di mana --konon-- Tuhan beristirahat atau tidak bekerja. Jumat yang merupakan hari ibadah agama mayoritas negeri ini malah tidak disertakan.
Tradisi bangsa kita memiliki perhitungan spiritual sendiri untuk kerja-kerja ekonomis yang mesti kita lakukan. Tapi biarlah kertas lain menjawab hal itu kemudian. Yang penting jernih sudah, mengapa produktivitas kita tak bisa maksimal dan pertumbuhan ekonomi kita tak sepesat Cina --walau sesungguhnya mudah melampauinya. Sebab ternyata proses kita berekonomi telah begitu lama meninggalkan dasar kebudayaannya.
Radhar Panca Dahana
Pekerja seni dan pemerhati budaya
[Perspektif, Gatra Nomor 28 Beredar Kamis, 19 Mei 2011]
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment