Monday, June 06, 2011

Revolusi Pendanaan LSM Indonesia

http://infid.org/2011/06/03/revolusi-pendanaan-lsm-indonesia/



Pernah dimuat di harian Bisnis Indonesia, 3 Juni 2011
oleh: Firdaus Cahyadi
Knowledge Manager for Sustainable Development, OneWorld-Indonesia
Krisis ekonomi global 2008 yang dipicu oleh serangkaian aksi korporasi di Amerika Serikat belum menunjukan tanda-tanda sepenuhnya berakahir. Bahkan dampak buruk dari krisis itu telah meluas menembus batas-batas wilayah negara. Eropa dan Asia adalah dua kawasan yang juga harus menanggung dampak buruk dari krisis keuangan global tersebut.
Departemen Tenaga Kerja Amerika Serikat misalnya, telah mengakui kegagalannya memperkirakan lonjakan pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat krisis keuangan global. Angka PHK di negara itu ternyata lebih buruk dari yang diperkirakan sebelumnya. Angka pengangguran pada bulan Oktober 2008 telah meningkat menjadi 6,5% dari bulan sebelumnya 6,1%.
Sementara itu, sebuah harian Swiss SONNTAGZEITUNG menyebutkan bahwa hanya dalam waktu tiga hari, tujuh negara Eropa harus menyelamatkan lima bank dari kebangkrutan. Di Inggris, Spanyol dan Irlandia bidang properti ambruk. Bank Eropa berutang banyak dibandingkan bank di Amerika Serikat. Perancis pun dikabarkan berada diambang resesi ekonomi.

Seperti di belahan bumi lainnya, kawasan Asia juga tidak bisa terlepas dari dampak buruk krisis keuangan global ini. Data Kantor Statistik Nasional Filipina yang menyebutkan bahwa pada tahun 2008 jumlah orang yang memiliki pekerjaan berkurang sebesar 168.000. Pekerjaan menyusut di saat harga-harga dan inflasi meroket.
Mayoritas Didanai Asing
Dampak buruk krisis keuangan global juga menghampiri Indonesia. Beberapa perusahaan padat karya di negeri ini sudah nyaris kolaps. Beberapa tenaga kerjanya pun sudah mulai dirumahkan dengan dalih efisiensi. Akibat krisis keuangan global, hingga akhir bulan November 2008, sedikitnya 15 ribu orang telah kehilangan pekerjaan di negeri ini.
Dampak krisis keuangan global itu ternyata bukan hanya monopoli negara,  korporasi dan buruh namun juga berpotensi membuat bangkrut LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) di Indonesia. Bagimana tidak, 90 % dari 13.500 LSM yang tercatat di Departemen Dalam Negeri dalam tahun 2002, ternyata didanai lembaga bantuan asing.
Pada umumnya pendanaan LSM Indonesia berasal dari lembaga-lembaga donor asing yang menghimpun dana dari pajak atau sumbangan masyarakat. Lembaga-lembaga donor yang banyak membantu LSM Indonesia biasanya datang dari negara Amerika Serikat dan Eropa.
Sudah barang tentu, dampak buruk krisis keuangan global yang melanda Amerika Serikat dan kawasan Eropa jelas akan menurunkan jumlah dana yang akan digunakan untuk membantu LSM di luar kedua kawasan tersebut, termasuk Indonesia. Negara-negara di kawasan Amerika Serikat dan Eropa tentu lebih memfokuskan menggunakan uang pajak dari warganya  untuk membangkitkan kembali perekonomian mereka. Jika ada bantuan untuk LSM tentu saja akan lebih diprioritaskan pada LSM dari negaranya yang beroperasi secara internasional.
Menurut Direktur Infid Don K Marut, dalam makalahnya yang berjudul, “Membangun Kerjasama PUSHAM Dengan Penyandang Dana”, selain dari lembaga donor, sebagian LSM Indonesia juga menerima dana dari lembaga keuangan internasional yang selama ini mempromosikan liberalisasi ekonomi dan privatisasi sumber daya alam. Lembaga keuangan internasional semacam itu biasanya secara bersamaan juga memberikan dana berupa hibah dan utang kepada negara-negara berkembang seperti Indonesia.
LSM Indonesia yang memperoleh dana dari lembaga keuangan internasional semacam ini diperkirakan tidak begitu tergoncang akibat krisis keuangan global. Hal itu disebabkan bantuan mereka kepada LSM merupakan satu paket dengan proyek utang yang akan diberikannya kepada negara yang menjadi sasaran proyek utangnya.
Nilai bantuan mereka terhadap LSM lokal pun dipastikan tidak begitu mengalami penurunan yang berarti karena di tengah krisis ekonomi global seperti ini lembaga keuangan internasional itu berkepentingan untuk tetap memastikan bahwa negara-negara berkembang untuk tetap setia pada jalan kapitalisme. Singkat kata, mereka menggunakan LSM-LSM agar memberikan citra positif bahwa proyek utang mereka telah mengadopsi prinsip-prinsip transparansi dan partisipatif.
Pertanyaan berikutnya tentu saja adalah akankah LSM Indonesia yang masih memiliki idealisme menentang proyek liberalisasi ekonomi dan privatisasi sumberdaya alam berguguran? Sementara yang tersisa hanyalah LSM yang mendapatkan dana dari lembaga bisnis bantuan yang justru mempromosikan liberalisasi ekonomi dan privatisasi sumber daya alam?
Lantas apa yang bisa diperbuat oleh LSM Indonesia untuk dapat tetap bertahan hidup dalam krisis pendanaanl seraya keluar dari jeratan ketergantungan dari lembaga donor asing? Hasil penelitian yang dilakukan PIRAC menyebutkan bahwa di tahun 2002 terdapat dana sebesar Rp. 1 trilyun dari individu di Indonesia dalam setahun yang dapat digunakan untuk membiayai kegiatan dalam rangka mengatasi masalah sosial di tengah masyarakat.
Potensi penggalangan dana alternatif untuk gerakan sosial di Indonesia pun disambut oleh Wahana Lingkungan Hidup (Walhi). LSM lingkungan ‘tertua’ di Indonesia itu melakukan penggalangan dana dengan menerbitkan album lagu bertemakan lingkungan hidup. Album itu berjudul “Pulihkan Indonesia”.
Beberapa artis papan atas pun ikut berpartisipasi dalam album itu. Antara lain, almarhum Franky Sahilatua, Melanie Subono, Sruti Respati, Rindra-Fadli (Group Band Padi) dan Sudjiwo Tedjo. Para artis yang berpatisipasi dalam album itu mengaku tidak meminta royalti atau pembagian keuntungan dari album ini. Sepenuhnya untuk Walhi.
Apa yang dilakukan oleh Walhi adalah salah satu cara saja untuk menggalang dana publik bagi gerakan sosial. Tentu masih banyak cara untuk menggalang dana publik. ICW (Indonesia Corruption Watch), Greenpeace dan WWF Indonesia dengan kegiatan publik fundraisingnya pun dapat dijadikan contoh dalam hal ini.
Prinsipnya krisis pendanaan terhadap LSM ini harus disikapi secara kreatif. LSM harus tetap melanjutkan kegiatan kampanye dan advokasinya tanpa harus ‘menjual idealismenya’ kepada lembaga bisnis bantuan. Krisis pendanaan yang melanda LSM harus dijadikan momentum untuk melakukan revolusi pendanaan di LSM itu sendiri.

No comments: