Wednesday, June 01, 2011

Kenapa Jumlah Perokok Indonesia Masih Tertinggi Ketiga di Dunia?

http://www.dedinewsonline.com/2011/05/kenapa-jumlah-perokok-indonesia-masih.html

DediNewsOnline.COM - Indonesia adalah surga bagi para perokok dan ibarat Disney Land bagi industri rokok. Bahkan Indonesia masih menempati urutan ketiga di dunia dengan jumlah perokok terbanyak setelah China dan India.

Berdasarkan data Riskesdas (Riset kesehatan dasar) 2010 diketahui prevalensi perokok di Indonesia mencapai 34,7 persen dengan jumlah paling tinggi terjadi pada kelompok usia 25-64 tahun.

Jika penduduk Indonesia pada tahun 2010 mencapai 237,56 juta, itu berarti ada sekitar 82 juta penduduk yang merokok secara aktif dan kebanyakan ada di pedesaan.

Jika dibandingkan, China adalah negara dengan jumlah perokokterbanyak, yaitu sekitar 300 juta penduduk. Dan di urutan kedua India dengan sekitar 120 juta penduduk adalah perokok aktif, seperti dilansir CBC dan About.com, Selasa (31/5/2011).

Kenapa jumlah perokok Indonesia masih menduduki peringkat ketiga dunia?

Dr Douglas Bettcher, Director of Tobacco Free Initiative WHO dalam artikel Kami mengatakan bahwa regulasi yang ada di Indonesia sangat permisif bagi industri rokok. Inilah yang menjadikan jumlah perokok di Indonesia menempati urutan ketiga terbanyak di dunia.

Menurutnya, hal ini bisa dilihat dari pajak dan cukai rokok di Indonesia yang murah dibandingkan negara lain, sangat sedikit area bebas rokok (baru ada 11 daerah yang memiliki Perda tentang rokok), tidak ada aturan memasang dampak bergambar di bungkus rokok, penjual rokok dimana-mana dan masih banyak lagi.

Selain itu, hanya ada dukungan berhenti merokok yang tersedia di beberapa klinik kesehatan, fasilitas pelayanan primer, beberapa rumah sakit dan di tingkat masyakarat. Terapi dengan Pengganti Nikotin (NRTs) dan farmakoterapi lainnya tidak tersedia. Indonesia juga belum memiliki layanan telepon nasional untuk berhenti merokok.

Dr Bettcher menjelaskan bahwa rokok 100 persen sama dampaknya dengan narkoba yang ilegal. Bahkan rokok bisa lebih parah karena tidak seperti narkoba, merokok bisa dilakukan di hampir semua tempat dan rokok bisa dibeli di mana saja.

"Kemana pun Anda pergi di daerah Indonesia, Anda dengan mudah menemukan orang yang merokok, baik di rumah, kantor, rumah makan, bandara, sekolah bahkan di rumah sakit," tegas Dr Bettcher.

Menurut Dr Bettcher, sebenarnya strategi yang dilakukan oleh perusahaan rokok sama saja di seluruh dunia, yang membedakan adalah bagaimana pemerintah setempat meregulasinya.

"Indonesia ini sangat permisif bagi industri rokok. Bisa dilihat betapa banyaknya iklan-iklan rokok yang ada di televisi, koran, radio atau media-media di Indonesia yang dapat diakses oleh siapa saja, bahkan anak-anak," jelas Dr Bettcher.

Sedangkan Prof dr Budi Sampurna, SH, DFM, SpF(K), SpKP selaku Kepala Biro Hukum dan Organisasi Kemenkes menuturkan ada 2 undang-undang yang masih membolehkan adanya iklan tentang rokok asalkan dalam iklan tersebut tidak ada wujud rokoknya, yaitu undang-undang tentang penyiaran dan pers.

Menurut Prof Budi, berdasarkan diskusi yang panjang maka hasil akhirnya untuk saat ini adalah mengendalikan terlebih dahulu iklan rokok. Tujuannya adalah untuk mencegah anak-anak muda yang masih belum tahu banyak mengenai rokok terpapar oleh iklan rokok yang berlebihan.

"Kita semua dalam hal ini jajaran kementrian kesehatan maunya total ban (pelarangan total) termasuk dengan KPAI, tapi apa yang bisa kita lakukan hanya pengendalian. Setidaknya masih ada rem meskipun tidak berhenti sama sekali," ujar Prof Budi dalam acara temu media menyambut Hari Tanpa Tambakau Sedunia 2011.

Upaya lain yang dikendalikan termasuk dalam hal sponsorship perusahaan rokok untuk event (acara) tertentu atau program CSR-nya agar tidak mengiklankan peristiwa tersebut, serta melakukan pembatasan terhadap iklan rokok di bilboard.

Sementara itu dalam Undang-undang kesehatan sebenarnya sudah disebutkan bahwa tembakau termasuk ke dalam salah satu zat aditif. Dan saat ini RPP mengenai tembakau masih dalam tahap pembahasan dan belum mencapai kesepakatan. Oleh : Merry Wahyuningsih - detikHealth

No comments: