http://www.gatra.com/artikel.php?id=148905
PERSPEKTIF YUDI LATIF
Tiga belas tahun setelah reformasi digulirkan, banyak orang mulai sangsi dengan janji demokrasi di negeri ini. Dari penjelajahan hampir setiap pekan mengarungi cakrawala Nusantara, dari jarak dekat dengan bau keringat dan kaki kebangsaan, dengan mudah kupergoki retakan-retakan pada arsitektur kenegaraan kita. Tiga belas tahun setelah reformasi demokratis digulirkan, Indonesia adalah tenunan yang robek karena simpul yang rapuh.
Dari Danau Sentani di Papua hingga Danau Toba di Sumatera Utara, kebeningan air kearifan memang masih tersisa, tetapi polusi yang ditimbulkan oleh limbah politik kian mendekat mengancam ketahanan ekosistem kebudayaan. Tentu merisaukan, karena Indonesia adalah pertautan politik dari keragaman budaya. Jika politik sebagai simpul pertautan itu rapuh, kekayaan warisan budaya Nusantara itu tidak bisa diikat menjadi sapu lidi yang kuat, tetapi sekadar serpihan lidi yang berserak, mudah patah.
Indonesia lebih merupakan state-nation ketimbang nation-state. Bangsa Indonesia dipersatukan bukan karena kesamaan budaya, agama, dan etnisitas, melainkan karena adanya negara persatuan, yang menampung cita-cita politik bersama, mengatasi segala paham golongan dan perseorangan. Jika negara merupakan faktor pemersatu bangsa, negara pula yang menjadi faktor pemecah belah bangsa. Dengan demikian, lebih dari negara mana pun di muka bumi ini, politik kenegaraan bagi Indonesia sangatlah vital untuk menjaga keutuhan dan keberlangsungan bangsa.
Arsitektur politik kenegaraan yang secara tepat guna sanggup mempertautkan kemajemukan Indonesia sebagai nations-in-nation adalah desain negara kekeluargaan. Secara bertepatan, pendiri bangsa, dengan keragaman garis ideologisnya, memiliki pertautan dalam idealisasi terhadap nilai kekeluargaan.
Dengan demikian, semangat gotong royong merupakan cetakan dasar (archetype) dan karakter ideal keindonesiaan. Ia bukan saja dasar statis yang mempersatukan, melainkan juga dasar dinamis yang menuntun ke arah mana bangsa ini harus berjalan. Dalam istilah Soekarno, kekeluargaan adalah "meja statis" dan "leitstar dinamis" yang mempersatukan dan memandukan.
Karena kekeluargaan merupakan jantung keindonesiaan, kehilangan semangat kekeluargaan dalam kehidupan kenegaraan dan kebangsaan Indonesia merupakan kehilangan segala-galanya. Kehilangan yang membuat biduk kebangsaan limbung, terombang-ambing gelombang perubahan tanpa jangkar dan arah tujuan.
Jika demokrasi Indonesia kian diragukan kemaslahatannya, tak lain karena perkembangan demokrasi itu cenderung tercerabut dari jiwa kekeluargaan. Peraturan daerah berbasis eksklusivisme keagamaan bersitumbuh menikam jiwa ketuhanan yang berkebudayaan. Lembaga-lembaga finansial dan korporasi internasional dibiarkan mengintervensi perundang-undangan dengan mengorbankan kemanusiaan yang adil dan beradab.
Tribalisme, nepotisme, dan pemujaan putra daerah yang menguat dalam pemilu kepala daerah melemahkan persatuan kebangsaan. Anggota parlemen bergotong royong menjarah keuangan rakyat, memperjuangkan "dana aspirasi" seraya mengabaikan aspirasi rakyat, melupakan kegotongroyongan berdasarkan hikmah kebijaksanaan. Ekspansi neoliberalisme, kesenjangan sosial, dan tindak korupsi melebar, menjegal keadilan sosial.
Demokrasi yang dijalankan justru memutar jarum jam ke belakang, membawa kembali rakyat pada periode prapolitik, ketika terkungkung dalam hukum besi sejarah survival of the fittest dan idol of the tribe. Ada jarak yang lebar antara voices dan choices, antara apa yang diargumentasikan dengan pilihan institusi dan kebijakan yang diambil. Demokrasi yang diidealkan sebagai wahana untuk memperjuangkan kesetaraan dan persaudaraan lewat pengorganisasian kepentingan kolektif justru menjadi instrumen bagi kepentingan privat.
Demokrasi yang dikembangkan tanpa mempertimbangkan sistem pencernaan kebudayaan dan karakter keindonesiaan seperti biduk yang limbung. Dalam satu dekade terakhir, kita seakan-akan telah mengalami begitu banyak perubahan. Namun perubahan yang terjadi tidak membawa kita ke mana pun.
Ibarat pohon, sejarah perkembangan bangsa yang sehat tidak bisa tercerabut dari tanah dan akar kesejarahannya, ekosistem sosial-budaya, sistem pemaknaan, dan pandangan dunianya tersendiri. Pancasila dirumuskan oleh pendiri bangsa sebagai dasar dan tuntutan bernegara dengan mempertimbangkan aspek-aspek itu, lewat usaha penggalian, penyerapan, kontekstualisasi, rasionalisasi, dan aktualisasinya dalam rangka menopang keberlangsungan dan kejayaan bangsa.
Dapat dikatakan bahwa sebagian besar ketidakmampuan kita memecahkan masalah hari ini disebabkan ketidakmampuan kita merawat warisan terbaik dari masa lalu. Adapun warisan termahal para pendiri bangsa yang merosot pada saat ini adalah karakter. Karena itu, marilah kita hidupkan kembali karakter Pancasila, sebagai jalan kemaslahatan dan kemajuan Indonesia!
Yudi Latif
Cendekiawan muslim
[Perspektif, Gatra Nomor 30 Beredar Kamis, 2 Juni 2011]
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment