Sunday, June 12, 2011

MBOK GINAH, LEO KRISTI DAN YEHUDI MENUHIN

https://www.facebook.com/notes/brengos-ubanan-reloaded/mbok-ginah-leo-kristi-dan-yehudi-menuhin/126007277481014
By: Brengos Ubanan Reloaded



Ini cerita keluargaku. Hingga umur 3 atau 4 tahun aku masih suka digendong dan ditidurkan oleh MbokGinah. Terutama jika aku rewel dan susah tidur. Namun, ada yang tak lazim: Ia lebih sering membawaku ke kebun belakang kami yang gelap. Dan terjadilah drama yang sama itu, dengan jurus pamungkasnya sebuah tembang yang ia rengeng-rengeng-kan, Mbok Ginah tinggal menungguku mengeluarkan air mata –tapi bukan tangis-- lantas biasanya tak lama kemudian akupun terlelap dengan damai.

Cerita tentang “keanehan” drama antara aku dan Mbok Ginah ini beredar di kalangan famili dan keluargaku. Beberapa di antara mereka bahkan memerlukan bertandang ke rumahku, hanya agar bisa menyaksikannya sendiri “secara live”. Ketika aku beranjak dewasa, mereka suka meledekku, “... jangan-jangan itu bukan tembang, tapi mantra... Lagipula, ia suka menggendongmu ke dekatpapringan, kan?” Dengan bercanda mereka mengingatkanku bahwa Mbok Ginah dulunya seorang dukun, sebelum beranjak tua dan kemudian mengasuhku sejak bayi. Aku hanya bisa ketawa kecut dan tidak pernah benar-benar menanggapi.

Ayah dan almarhumah ibuku pun ternyata tidak mengetahui apa yang dulu Mbok Ginah tembangkan. “Itu bukan tembang dolanan, mungkin sejenis mocopat kuno yang sekarang sudah punah,” kata Ibu.

Ada serpihan kenangan yang masih aku ingat. Kenangan paling jauh dari masa kanak-kanak dan bayiku tentang musik.

Malam itu bulan purnama penuh.

Sinarnya yang keperakan menerobos di sela-sela dedaunan mangga yang meranggas. Pucuk-pucuk daun bambu petung seperti ujung pena riang berlomba mencucuki langit. Suara jengkerik dan serangga malam berkelindan dengan desau angin yang mengelus entah berapa jenis dedaunan di kebun belakang kami. Selain mangga golek dan rumpun bambu, di ujung kebun yang berbatasan dengan sebuah kali kecil ada kedondong dan kersen, setelah itu kelapa, jambu gelas, duwet, srikaya pathek, kluwih dan blimbing wuluh. Sebagai pagar, berjejer mahoni, pinang dan jarak.

Lamat-lamat masih kuingat apak kain jarik yang membalutku, bercampur bau penguk dan wangi sabun Cap Tangan tubuh Mbok Ginah, membiusku memasuki alam sonya-ruri, antara jaga dan tidur. Kemudian dimulailah pertunjukan musik semesta itu. Prolognya begini: tiba-tiba saja kebun sepi, jengkerik dan serangga malam mendadak diam, demi mendengar suara Mbok Ginah. Hanya suara angin malam. Sejurus kemudian ketika ia lantunkan lagi tembangnya, beberapa jengkerik mulai berani bersuara. Setelah itu, satu-dua mulai saling menimpali dan akhirnya mereka bersuara full-orchestrakembali. Sementara suara Mbok Ginah sudah sepenuhnya menguasaiku dan mengantarku ke langit. Airmata pun meleleh hangat di pipiku.

“Allah Akbar ! Alhamdullilah, Gus, Alhamdullilah”, bisik Mbok Ginah, disekanya airmataku dengan ujung tapihnya. Ia menciumku dan memelukku lebih erat. Aku berhutang doa dan kemesraan pada wanita sederhana yang mulia ini.

Jika engkau mengira aku menikmati tembangnya waktu itu dengan telingaku, engkau salah besar. Bukan begitu kejadiannya. Aku tidak mendengarkan, melainkan sepenuhnya menyerahkan diriku pada suara tembang wanita tua itu. Juga pada suara jengkerik, juga pada suara desau angin... Kemudian mereka bersama-sama membawaku membumbung ke langit yang sudah berubah corak dan warna. Entahlah, mungkin juga karena aku telah lelap dalam mimpi.

Pada usia SD, aku terbiasa mendengarkan musik yang diputar ayahku setelah subuh. Beragam. Mulai Fausto Papeti, Areta Franklin, Pat Boone, Jim Reeves, Frank Sinatra, hingga Tety Kadi, Emilia Contesa dan serial keroncong keluaran Lokananta, Solo.

Aku gelisah. Tak satupun musik-musik itu membawaku membumbung ke langit yang berubah corak dan warnanya.

Akupun mulai membongkar-bongkar khasanah musik ayahku. Dan aku menemukan Yehudi Menuhin. Sebenarnya hanya sebuah lagu pop, “Moon River” yang dibawakan secara solo oleh Menuhin dengan biola. Itupun satu-satunya lagunya dalam kompilasi musik berjudul “Golden Instrumentalia”. Pernahkah engkau mendengarkan Menuhin? Jika belum, cobalah sekali waktu. Ia akan memainkan biola seakan-akan langsung di dalam kepalamu sendiri. Ia akan meyakinkanmu bahwa suara itu memang milikmu sendiri, dan sudah berabad-abad berada di situ tanpa kamu menyadarinya.

Aku jatuh cinta pada Menuhin dan mulai tiap hari mengubek-ubek seluruh toko kaset di kotaku yang tak seberapa besar itu. Nihil. Aku rayu teman dari temanku yang anak pemilik radio amatir agar mau membongkar gudang kaset dan piringan hitam bapaknya. Nihil. Fuad, teman bermainku yang bapaknya kyai penyuka lagu-lagu Mesir, seperti Umi Khulsum, malah mendelik, “Lagu-ne Yahudi? Kharom iku ! “

Frustrasi tak menemukan Yehudi Menuhin membuatku liar. Aku mulai melahap segala jenis musik. Jika uang sakuku habis, maka aku mencuri uang belanja Ibu atau merogoh saku celana ayahku untuk membeli kaset. Ketika suatu hari, ayahku menghadiahiku album Heintje –penyanyi cilik Jerman yang waktu itu ngetop dengan hit-nya “Mama”—aku ketawa ngakak. Mana aku sudi menelan musik bayi begituan. Ayahku tidak tahu aku sudah “terjerumus” jauh pada Deep Purple dan Gran Funk. (Pada 1983 atau 1984, di Yogyakarta, akhirnya aku menemukan kaset Yehudi Menuhin dan Stephen Grappeli dalam satu kompilasi bersama)

Di Kediri kotaku, dulu ada sekolah bernama PGLSP. Sekolah tersebut mempunyai lapangan basket dengan tribun dan jajaran tempat duduk dari semen. Para promotor lokal menyelenggarakan berbagai macam pertunjukan musik di situ. Aku sempat menonton Rhoma Irama dan Elvie Sukaesih, Ida Royani sampai Koes Plus, No Koes, Mus Mulyadi, The Hands (Mus Mujiono), Trencem (Setiawan Jody), God Bless, Rollies, Aka Grup dll di tempat ini. Masih kukenang cara mengangkang Ucok Harahap, agak menekuk kayang ketika mengangkat mik. Bokongnya yang tepos, malah membuatnya nampak bodoh seperti dakocan. Aku lebih menyukai Gito Rollies dan Arthur Kaunang.

Harus aku akui, waktu itu aku tidak benar-benar merasa bahagia dengan musik. Jadi aku mencari sensasi lain. Ibuku senang bukan main ketika suatu hari kuminta untuk membangunkanku tiap subuh. “Jangan pas adzan subuhnya, Bu, setengah jam sebelumnya. Jadi waktu sholat aku sudah tidak merasa pusing...”.Ibuku tidak tahu kalau itu cuma akal-akalanku. Sebenarnya aku tidak pernah benar-benar sholat Subuh. Aku hanya duduk-duduk di sajadah, mendengarkan suara Nanang Kosim (?) yang melantunkan satu surat (entah apa). Tiap menjelang subuh masjid di kampungku memutarnya melalui speaker. Indah dan syahdu sekali. Aku mendengarkan pertama kali suara Nanang Kosim (?) itu karena kebetulan. Suatu hari aku terpaksa bangun sebelum subuh, karena pagi itu kami sekeluarga hendak berangkat liburan ke rumah eyangku di Magelang. Kami harus bangun jam 3 dini hari karena harus buru-buru ke Kertosono, dari situ nanti baru naik KA Bima ke Yogyakarta. Riwayat “sholat subuhku” dengan sendirinya berhenti ketika pengajian Nanang Kosim itu kemudian diganti lagu-lagu qasidah yang sungguh berisik dan sama sekali tidak merdu.

Almarhumah ibuku dulu suka membujukku, “Berdoalah, Gusti Allah selalu mendengarkan doa anak-anak. Cobalah...”. Aku malas berdoa karena menurutku Tuhan mengetahui segalanya tanpa kita harus bilang apa-apa pada-Nya. Jadi apa perlunya berdoa? Lagi pula aku cuma kangen Mbok Ginah.

Sampai suatu hari, ketika kelas 1 SMP aku mendengarkan satu musik yang aneh tapi mencekam di radio. Itulah “Legang-Legong Badai Lautku”-nya Leo Kristi. Sungguh mati itu menyihirku. Cara menyanyikannya seperti langsung keluar dari hati. Aku mulai kasak-kasuk mencari tahu. Tak satupun teman-temanku yang tahu dan peduli. Beberapa waktu kemudian aku benar-benar menyaksikan Leo Kristi tampil di TVRI Surabaya, melantunkan “Nyanyian Malam”. Beberapa bulan kemudian, “Gulagalugu”. Masih terekam jelas dalam otakku, bagaimana Leo tampil waktu itu bersama Naniel, Mung, Lita dan Jilly. Ya.. ya... Itu pertunjukan yang manis, rapi, mendekati steril. Ledakannya terkendali. (Itu seperti sasmita, kelak aku tidak akan pernah menyaksikan Leo tampil live serapi ini lagi. Tidak pernah.).

Mulailah babak kegilaan baru di kamarku. Aku memutar album-album “Nyanyian Fajar”, “Nyanyian Malam” dan “Nyanyian Tanah Merdeka” Leo Kristi tiap hari seperti orang sinting. Lagu-lagunya seperti ganja. Engkau akan menemukan tafsir baru dari tiap sedotannya. Mula-mula akan muncul gelenyar-gelenyar aneh pada urat-urat syarafmu. Kemudian engkau akan kehilangan orientasi. Setelah itu mungkin engkau sadar, mungkin juga tidak. Tapi engkau akan “mengerti”. Mengerti apa? Itu tergantung, apa yang ingin kau mengerti? Itu juga tergantung tafsirmu sendiri.

Aku membumbung tinggi. Langit berubah corak dan warna tiap hari bagiku.

Ya.. ya... Mungkin lebih tepat: itu kutukan. Aku melewatkan masa kanak dan remajaku dengan musik Leo Kristi. Banyak kegaduhan dan kesintingan yang ditimbulkannya. Apa boleh buat. Setelah MbokGinah dan (pada kadar tertentu) Yehudi Menuhin, hanya musik Leo yang membuatku mengeluarkan air mata yang bukan tangis... Itu sungguh membuatku sedikit lebih kuat melewati masa mudaku yang sulit dan penuh kesintingan.

“ Pada malam penuh bintang-bintang
Setelah lewat perahu tambang, keranjang kubis, daun pisang
Lorong becek setelah tutup pasar
Berdiri Ana, lelakinya dan rebana...

Ana oh rebana
Ana, Ana, rebana
Kujumpa kau penari sombong
Lelakimu bersandar di tiang  bedak
Kau dalam gaun merah tipis
Menarikan rebana, sambil kau gerai rambutmu yang panjang

Hanya kau dan dia
Ana, ana rebana
Dan aku teringat pada istriku
Saat-saat kubersama jelang tidur malam
Menarikan nyanyian cinta birahi
Lewat gaun tidurnya yang putih

Debar, rinduku debar
Debar rinduku padanya
Komedi kera di pasar malam
Seperti cermin hidup hari ini:
            Burung punuk menunggang kera, kera menunggang kuda,
            Lecutan dari pawang muda

Tapi tidak bagi si Ana
Bersama lelakinya dan rebana
Laju-laju di sepeda tua
Tertawa kecil juga
Dalam canda diri cerita lama

Ya
Tepi pedesaan gersang
Sore lengang
Saat bocah bermain layang-layang
Perawan Ana terlelap di surau
Sambil menghisap ibu jari dimulutnya yang lebar
Manakala angin bertiup seiring suara adzan
Rebana hilang
Ana terbangun ulah bocah lancang
Berbisik padanya dalam isak tangis
Dan ketika hari mulai gelap
Seorang lelaki dengan genggam tangannya yang berat dan kuat
Mengulurkan sebuah rebana
Seraya berkata: kau ! dalam seluruh waktu lewat hidupmu
            Mainkanlah ini bagi dia yang mempertaruhkan segalanya,
            Bagimu... Berbahagialah kau, Ana !

Allahu Akbar
Lailla haiIallah..

Dan aku teringat pada istriku
Saat-saat setelah suara adzan petang
Kami duduk berhadap-hadapan
Dengan senyum memandang ke depan

(“Ana Rebana”, Album Nyanyian Cinta, 1980)

Pertama, Leo harus dipahami sebagai penyair unggul. Mata batinnya seperti raja elang. Ia menemukan berbagai cerita kehidupan di mana pun syahwat berkelana menuntunnya. Terminal, pasar, lumpur sawah, stasiun, pesisir dan sebagainya. Aku rasa ada proses kreatif yang mistis, hanya dia sendiri yang tahu, bagaimana dan dimana kemudian dia menemukan nada-nada luar biasa untuk lirik-liriknya? Musikalitasnya sempurna...

Pernahkah engkau makan rawon “Nguling” Probolinggo? Telusurilah jejak rasa bahan dan rempahnya. Engkau akan sepakat: semuanya seakan-akan memang disiapkan agar paripurna sebagai sajian. Konon kluwek yang digunakan adalah kluwek Bali. Itupun mungkin diperam terlebih dahulu dalam tanah atau dikukus. Thethelan dan sandung lamur-nya pun hanya penjualnya yang tahu, tak hanya dipilih yang terbaik, tapi juga mana yang paling cocok untuk racikan bumbu rawonnya. Aku termasuk orang yang percaya, sampai pada tingkat tertentu, urusan memasak adalah urusan spiritual. Ketika orang ikhlas memasak demi kebahagiaan orang lain, bukan demi yang lain, pasti tangan Tuhan ikut bekerja disitu. Musik Leo Kristi seperti itulah kira-kira, hehehe...

Hubunganku dengan musik Leo Kristi kemudian menjadi amat personal. Kadang aku tak punya cara ucap lain selain melalui lagu-lagunya. Proses kerumitan dan kesintingan ketergantunganku kadang amat parah. Seperti misalnya ketika aku mutlak membutuhkannya untuk melawan ketakutan-ketakutanku sendiri melewati hidup sehari-hari.

Beberapa tahun yang lalu, ketika keponakan pertamaku lahir. Aku bahagia luar biasa. Suatu hari aku berhasil merebut dari tangan emaknya dan membawanya kabur  ke kamarku, beberapa detik aku tak tahu harus berbuat apa. Aku hanya tahu aku harus mengambil gitarku dan menyanyikan sebuah lagu Leo Kristi untuknya. Oke, oke. Tapi lagunya yang mana, yang kira-kira cocok untuk bayi? Tiba-tiba aku ingat,  iparku, emak si bayi berasal dari Semarang, maka aku menyanyikan:

“Pojok cafe simpang lima
Sepanjang sore dan petang hari
Kaki lima rumput kota
Semarang....”

Dan bayi itu nangis kejer...

Sampai hari ini pun, aku tidak pernah berhasil membujuk istriku untuk mengagumiku menyanyikan lagu-lagu Leo Kristi. Padahal aku memacarinya sejak kelas 2 SMP. Sejak saat itupun aku sudah membombardirnya dengan lagu-lagu Leo... 

“Di atas bukit utara semalam
Malam larut  tenggelam jauh
Di bawah kelipan lentera jalan
Berkedip-kedip perlahan
Dengan sinarnya kuning-temaram
Kini aku datang, sayang...”

(“Di Atas Bukit Utara Selaksa Bunga Rumput”, Nyanyian Tanah Merdeka, 1979)

Menginjak SMA, beruntung aku menemukan teman sesama Lker. Itu keajaiban. Kami berdua sering diledek teman-teman lain sebagai sepasang pembeli kaset Leo Kristi satu-satunya di Kediri. Ha ha... Suatu hari aku meminta komentarnya, bagaimana kira-kira kalau aku menisbatkan profil Theresia tokoh dalam lagu “Babtis Theresia” pada seorang teman kami yang cuwaantiikk, kebetulan namanya pun sama: Theresia? Tinggal kita kasih kerudung biarawati aja dia. Beres. Lantas kau bayangkan, bagaimana ia yang sudah kau pacari sejak SMP tiba-tiba dilamar Tuhan, masuk seminari dan meninggalkanmu dengan hati remuk-redam? Engkau toh tak mungkin menantang Tuhan berkelahi untuk merebutnya kembali? Temanku tidak setuju. Dia bilang, Tuhan pencemburu, Ia tak akan biarkan kekasih-kekasih-Nya berwajah terlalu cantik. Agar tidak dicuri dunia. Ada benarnya juga, pikirku.

“Lewat kegelapan gaun panjangmu
Dalam kerudung putih imanmu
Engkau jadi nampak teduh
            Pada Dia Yang Agung
            Pada kesucian sangkakala
            Hari megah

Aku mendekap cintamu Theresia
Seakan dentang lonceng katedral tua
Terdengar dalam hujan dan angin lama
Sedang aku berdiri di luar sana
Sendiri
Dalam airmata bahagia

Kutuliskan namamu
Oh kutuliskan namamu
Lewat putra lelakiku”

(“Babtis Theresia”, Nyanyian Cinta, 1980)

Dari ujung ke ujung aku hapal belaka semua lagu-lagu Leo Kristi seperti wiridan sakral. Baru-baru ini aku ketawa ngakak membaca catatan FB seorang teman lama yang Lker juga (note: Lker sebutan untuk penggila Leo Kristi). Sungguh tepat ia menamakan Lkers yang menginthil Leo manggung di mana pun itu sebagai Jamaah Kristi’iyah. Mungkin lebih tepat lagi Jamaah Tarekat Kristi’iyah. Dan Leo adalah seorang mursyid. Sebagai mursyid, sebagai “wali”,  ia adalah dari jenis yang khaarikul ‘aadah (berperilaku ganjil). Dalam dunia perwalian beneran, kira-kira seperti almarhum Gus Mik, Kediri atau Mbah Lim, Klaten. Begitulah.

Setelah batinku porak-poranda menyaksikan dua atau tiga kali pementasannya di Gedung Kesenian Jakarta dan TIM (mungkin juga sekali di Yogya, aku lupa), aku bersumpah tidak akan  lagi menonton pementasan-pementasannya. Sungguh berantakan, tidak siap, benar-benar amatir. Jauh dari semua ekspetasi estetikku. Sungguh, engkau hanya seperti menonton seorang bonek (Leo memang asli Surabaya) yang mementaskan musiknya secara norak, cengengesan, njelehi.  Batinku tidak siap untuk itu.  Pernahkah engkau melihat Leo Kristi bicara? Ia akan cuma bergumam seperti orang mendem. Tapi bukankah seorang wali seperti Mbah Lim juga gagu berbicara? Konon, menurut Gus Dur, kegaguan Mbak Lim hilang seketika untuk beberapa urusan, yaitu mengaji, menyanyikan Indonesia Raya dan menelepon Gus Dur sendiri. Wallahu alam.

Serius. Sebagai wiridan, lagu-lagu Leo Kristi keramat. Sampai sekarang aku percaya cerita seorang teman, katanya ia ikut andil menumbangkan Soeharto lewat wiridannya yang tak pernah putus beberapa bulan menjelang Reformasi 1998:

“Peringatan dalam diam
Tak satu lelap di sini
Jelang empatpuluh tahun merdeka
Angin lebih dingin dari biasa
Srek srek.. tak tak
Tak tak tak tak
Suara penyapu jalan
Bercampur dengan deru roda kereta

Berjanjilah dalam janji...”

Sekiranya engkau gondok dan sebel pada SBY sekarang ini, coba saja wiridkan suwuk ala temanku ini. Siapa tahu...

Ya, ya. Karena aku sendiri juga sering berkirim doa pada Mbok Ginah melalui wiridan berikut:

“Kenanga cina
Rambatan panjang di jendela kelabu
Kenangan cinta
Rambatan panjang di jendela hatiku
Slalu...”

Beberapa tahun lalu, anakku sulung keheranan,

“Kenapa Bapak suka banget pada lagu-lagu aneh ini? Kok aku tidak suka, sih?”

Ya aku jawab saja seperti Ibuku almarhumah dulu ngendiko membujukku,

“Berdoalah, Nak. Gusti Allah selalu mendengarkan doa anak-anak. Percayalah. Cobalah. Tiap jaman selalu memberi hadiah lagu-lagu yang bagus untuk anak-anak... Kelak engkau juga akan mendapatkan lagumu sendiri...”

Anakku melongo, menatapku terheran-heran tidak mengerti...  Habis, aku mau menjawabnya bagaimana lagi, coba?


(In memoriam alm. Bagus Baskoro

"... kaum bawah-mewah
amat jauh
dari hatiku yang kaya-raya
kemesraan..." )

No comments: