http://tanahair.kompas.com/read/2011/05/08/18351088/Membangun.Jalan..Melupakan.Peradaban
Minggu, 8 Mei 2011 | 18:35 WIB
Oleh A Handoko dan Defri Werdiono
Masyarakat Banjarmasin, Kalimantan Selatan, perlahan-lahan meninggalkan sungai sebagai pusat hidup sosial, dan berpaling pada daratan yang terus dibangun. Pusat peradaban dan gaya hidup secara masif berkembang, seiring pesatnya pembangunan jalan baru.
Sungai kini tinggal menjadi beranda belakang rumah, sementara jalan menempati posisi sebagai beranda depan dan mengambil peran sebagai orientasi pembangunan. Sungai makin asing bagi masyarakatnya sendiri.
Keterasingan sungai dari masyarakatnya bisa dicermati dari penuturan Yana (40), warga Jalan Sultan Adam. Kendati tinggal di Banjarmasin, Yana mengaku baru dua kali mengunjungi pasar terapung di Sungai Alalak, Banjarmasin. ”Dua kali itu juga karena mengantar kerabat yang penasaran dengan pasar terapung. Saya sekalian ingin melihatnya juga, ternyata tidak seramai cerita orang-orang dulu. Saya juga memilih belanja di pasar tradisional di darat yang lebih mudah didatangi dibandingkan ke pasar terapung,” kata Yana.
Kompas/Defri Werdiono
Sejumlah pedagang di Pasar Apung Lokbaintan, di Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan, nampak membaur dengan pembeli dan wisatawan, dalam suatu pagi, pertengahan Maret lalu. Pasar yang berada di Sungai Martapura ini menjadi salah satu alternatif obyek wisata di Banjarmasin dan sekitarnya, selain Pasar Apung Muara Kuin di dekat Sungai Barito.
Lain lagi dengan pengakuan Naniah (35), warga Jalan Sudirman, Banjarmasin. Baginya, berbelanja ke pasar terapung tidak praktis dan repot karena harus menyewa perahu dan tidak semua kebutuhan ada di pasar terapung. ”Berbagai kebutuhan justru tersedia di supermarket yang bersih dan bisa diakses dengan mudah. Saya memanfaatkan pilihan yang ada,” kata Naniah.
Wajah banjarmasin yang dulu dikenal sebagai kota sungai karena memiliki 400 sungai kecil yang bermuara di dua sungai besar, yakni Barito dan Martapura, kini sudah berubah. Pusat bisnis, industri rumah tangga, dan permukiman yang dulu berpusat di pinggir-pinggir sungai, kini telah beralih ke pinggir jalan raya. Hotel, restoran, pusat perbelanjaan, dan pasar-pasar kini berjajar di jalan-jalan utama Banjarmasin. Sungai berangsur-angsur kehilangan perannya sebagai sarana utama mobilitas warga.
Makin surutnya peran sungai di Banjarmasin itu terasa sangat ironis. Pada tahun 1960-an Banjarmasin masih tergantung pada transportasi air melalui dua sungai besar, yakni Barito dan Martapura, serta 400 sungai kecil lainnya yang melintasi berbagai pelosok kota. Namun, rencana pembangunan lima tahunan yang dipakai oleh Orde Baru justru terfokus pada percepatan pembangunan infrastruktur jalan. Moda transportasi sungai tidak mendapat prioritas.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Banjarmasin menunjukkan, panjang jalan dan jumlah kendaraan terus bertambah, sementara jumlah sungai yang bisa dilalui untuk lalu lintas perairan dan jumlah moda transportasi air terus berkurang. Pada tahun 1991/1992 tercatat panjang jalan hanya 205,07 Kilometer (km), dengan 193,29 km di antaranya sudah beraspal. Tahun 2009, tercatat total panjang jalan di Banjarmasin mencapai 458,391 km. Dari panjang jalan itu, 425,726 km di antaranya berupa jalan beraspal, 8,139 km jalan dengan permukaan kerikil, dan 24,526 km masih berupa jalan tanah.
Anggota staf bagian data BPS Banjarmasin, M Basuki, mengatakan, bertambahnya jaringan jalan di Banjarmasin itu berbanding lurus dengan pertambahan jumlah kendaraan bermotor. Tahun 1991/1992, jumlah sepeda motor di Banjarmasin hanya 47.564 buah dan mobil hanya 14.813. Pada tahun 2009 jumlah sepeda motor di Banjarmasin mencapai 259.778 buah dan mobil sebanyak 55.280.
Selain terus bertambahnya jaringan jalan, peningkatan jumlah kendaraan bermotor dipicu pula oleh kemudahan mendapatkan kendaraan bermotor melalui fasilitas kredit. Kini, dengan uang muka Rp 500.000 saja dan angsuran Rp 700.000 per bulan, warga sudah bisa bisa membawa pulang sebuah sepeda motor.
Bertambahnya jaringan jalan dan jumlah kendaraan bermotor di Banjarmasin diikuti oleh terus menurunnya jumlah sungai yang bisa dilalui moda transportasi perairan dan jumlah moda transportasi sungai. Sebelum pembangunan di darat marak, terdapat sedikitnya 400 sungai kecil di Banjarmasin yang bisa dilalui oleh perahu. Kini, jumlahnya tinggal 100.
Budayawan dan dosen Pascasarjana Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin, Djantera Kawi, mengatakan, jumlah sungai yang bisa digunakan sebagai sarana transportasi berkurang drastis karena banyak sebab. ”Banyak sekali sungai kecil di Kota Banjarmasin yang telah tertutup oleh jembatan beton halaman rumah warga. Sebagian sungai lainnya menyempit dan dangkal. Itu membuat perahu tidak bisa lewat dan sungai semakin ditinggalkan,” kata Djantera.
Kondisi itu membuat warga makin enggan menggunakan transportasi sungai. Akibatnya, jumlah moda transportasi air pun turun drastis dalam 20 tahun terakhir. Pada tahun 1991 jumlah moda transportasi sungai di Banjarmasin yang masuk kategori pelayaran lokal 1.136 buah, pelayaran rakyat 1.247 buah, dan kapal lokal 1.136. Tahun 2009, pelayaran lokal dan kapal lokal sudah tak ada lagi, hanya terdapat 416 buah perahu kelotok, 54 buah perahu getek, dan 28 speedboat.
Ketua Presidium Forum Pariwisata Kalimantan Selatan Aloysius J Purwadi mengatakan, revitalisasi pasar apung dan menjadikannya landmark Banjarmasin, bisa menjadi salah satu cara menyelamatkan peradaban sungai. ”Pemerintah daerah semestinya menata pasar terapung menjadi aset wisata sekaligus memberi kemudahan kepada para wisatawan untuk berbelanja. Komoditas yang dijajakan harus lebih variatif, tidak hanya hasil bumi dan hasil tangkapan nelayan,” kata Purwadi.
Menurut Purwadi, pembenahan pasar terapung akan menjadi penggerak perubahan sungai. ”Semua pihak harus bersyukur bahwa pasar terapung belum benar-benar mati, dan masih menjadi daya tarik wisata. Aspek itu bisa menjadi titik tolak pengelolaan sungai secara terpadu agar bisa tumbuh lagi peradaban sungai seperti yang dulu pernah menjadi kebanggaan Banjarmasin,” kata Purwadi.
Dalam tekanan pembangunan yang sangat berorientasi pada pertumbuhan ekonomi dengan memacu pengembangan kawasan darat, Purwadi melihat masih ada peluang untuk mengembalikan sungai pada perannya sebagai pusat peradaban.
Beberapa sungai yang berpotensi dikembangkan lagi antara lain Sungai Jafri Zamzam menuju Pasar Rarawasari, Sungai Duyung menuju Pasar Kalindo, Sungai Veteran menuju A Yani dan Pasar Kuripan, Sungai Pekapuran menuju Pasar Junjung Buih, Sungai Kelayan menuju Pasar Kayuh Baimbai, Sungai Belitung menuju Pasar Simpang Belitung, dan Sungai Pelambuan menuju Pasar Teluk Dalam.
Sungai adalah aset tak ternilai karena tidak banyak wilayah di Indonesia memiliki sungai sebanyak yang dimiliki Banjarmasin. Belum terlambat untuk memalingkan muka ke sungai, menatanya, dan menjadikannya sarana strategis untuk memajukan masyarakat.