Jumat, 6 Mei 2011 | 03:43 WIB
JAKARTA, KOMPAS
Menurut Wakil Ketua Komisi I dari Fraksi PDI-P Tubagus Hasanuddin, Kamis (5/5), hampir 10 tahun CIA bekerja keras dan mempertaruhkan nyawa untuk memburu Osama dengan mengumpulkan satu per satu informasi berharga.
Begitu dipastikan target ”terkunci” dan diketahui keberadaannya, CIA tetap berkoordinasi dan menyerahkan proses eksekusi ke instansi berwenang, dalam hal ini, Navy SEALs. ”Demi kepentingan bangsa dan negara mereka, semua pihak di sana tidak mengenal ego sektoral, melainkan cukup saling bekerja sama,” ujar Hasanuddin.
Hasanuddin mengkritik pernyataan sebagian kalangan yang menilai keberhasilan pemberantasan terorisme tergantung pada keberadaan perundang-undangan tentang intelijen. UU intelijen yang dimaksud adalah pasal yang memberi kewenangan terhadap aparat intelijen untuk bisa turut menangkap dan menahan setiap orang yang dicurigai terlibat jaringan terorisme seperti pada masa lalu.
Menurut dia, akan jauh lebih baik jika aturan UU itu hanya sebagai pendorong dan memperkuat intelijen sehingga mampu meningkatkan kemampuan bekerja sama secara solid dengan aparat terkait lain.
Tidak hanya itu, Hasanuddin juga memuji sosok kepemimpinan Presiden Obama. Dia dinilai tegas memutuskan kebijakan
Bahkan, seperti diwartakan, Presiden Obama juga tidak
”Jangan seperti sekarang. Pemerintah gembar-gembor ingin mengeliminasi ancaman radikalisme. Pada kenyataannya pernyataan pemerintah justru tidak dianggap oleh masyarakat. Bagaimana tidak, saat ada ormas terang-terangan bersimpati kepada Osama, pemerintah lewat aparat keamanan kan terkesan ragu. Akhirnya masyarakat makin apatis. Padahal, rakyat seharusnya bisa menjadi mata dan telinga aparat dalam memberantas radikalisme,” kata Hasanuddin.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Arsyaad Mbai menegaskan, kematian Osama tidak secara otomatis menghentikan ancaman terorisme di Indonesia. Apalagi, diketahui, tidak semua jaringan teroris secara langsung punya kaitan dengan Al Qaeda. Namun, mereka tetap punya kemampuan untuk melancarkan aksi serangan teror.
”Memang tetap ada pengaruhnya (kematian Osama) mengingat selama ini fatwa-fatwa yang dikeluarkannya menjadi referensi bagi jaringan teroris lain. Harus diingat, tidak semua kelompok teroris yang ada terkait langsung dengan Al Qaeda atau Osama. Lihat saja dalam kejadian terakhir beberapa pekan lalu, pelaku rencana bom (di saluran pipa gas di Gading Serpong, Tangerang Selatan) Pepi Fernando kan membuktikan dia tidak punya hubungan dengan Al Qaeda,” ujar Mbai.
Lebih lanjut Mbai membenarkan, pemerintah saat ini semakin memperkuat pengamanan di lokasi-lokasi yang diprediksi bisa menjadi target baru serangan teror.
Terkait target potensial serangan teroris terkait obyek vital atau kepentingan negara Barat, Mbai mengaku tempat-tempat itu masih terus menjadi perhatian aparat keamanan. Penyerangan terhadap sejumlah kantor polisi dan tempat ibadah di sejumlah daerah belakangan ini tidak lantas menjadikan aparat menggeser fokus perhatian mereka soal pengamanan.
”Target mereka siapa saja dan kelompok mana saja yang dianggap menghambat pencapaian tujuan mereka, entah itu Barat atau domestik. Sebelum menargetkan kepentingan Barat,
Guru Besar Studi Filsafat dan Islam Universitas Muhammadiyah Malang Syamsul Arifin menyebutkan, ideologi Islam radikal tumbuh sebagai jawaban atas defisit kekuatan dunia Islam pada geopolitik dunia. Dengan alasan itu pula ideologi Islam radikal tidak akan mati atau berkurang setelah kematian Osama.
Menurut Syamsul, Al Qaeda bukan sekadar organisasi, melainkan susunan ideologi, yang terbukti membuat Osama mampu menarik simpati generasi muda untuk dilatih menjadi berpaham radikal.
Proses radikalisasi itu berakar pada kondisi sosial, politik, dan ekonomi masyarakat Muslim dunia, yang selama sekian dekade semakin melemah dan bertambah miskin akibat ketidakadilan distribusi kesejahteraan masyarakat global dunia. ”Kekecewaan menjadi lahan subur bagi tumbuhnya radikalisme, yang dengan mudah disulut dan dibakar melalui metode perjuangan Osama bin Laden,” ujarnya.
Syamsul menambahkan, negara-negara maju, terutama AS, harus mampu mengembangkan cara untuk introspeksi diri. Mereka harus paham bahwa kebijakan terkait politik luar negeri mereka selama ini kerap menimbulkan kekecewaan sekaligus kebencian dari kelompok miskin di dunia Islam.
”Pasca-pemerintahan Presiden Obama kondisi ketidakadilan seperti itu memang sedikit berubah. Namun, konsistensi kebijakan Obama masih harus dibuktikan pada masa mendatang. Perubahan sikap AS terhadap negara berpenduduk mayoritas Muslim miskin, terlihat sikap Obama yang lunak dan dialogis,” ujarnya.
Syamsul menambahkan, kematian Osama relevan menjadi jawaban atas peristiwa tragedi 9/11 tahun 2001. Namun, kondisi kesetaraan, keamanan, dan kedamaian harus disokong oleh AS dan Eropa. Ini adalah beberapa faktor terpenting untuk mengikis akar terorisme demi terciptanya dunia yang lebih aman.
No comments:
Post a Comment