Sunday, May 15, 2011

Bahaya Laten Sengketa Tanah TNI

http://www.lipi.go.id/www.cgi?berita&1303738744&1&2011&1036007754
Senin, 25 April 2011



Sengketa tanah melibatkan aparat keamanan negara berulang kembali di Kebumen, pekan lalu. Kita belum lupa dengan peristiwa yang sama di Alas Tlogo, Pasuruan, 2007, saat rakyat setempat bentrok dengan TNI AL atau kasus Rumpin di Bogor yang melibatkan adu fisik rakyat dan prajurit TNI AU
.
Di Kebumen, Jawa Tengah, pekan lalu, sengketa tanah itu melibatkan petani Urut Sewu, Sentrojenar, dan prajurit TNI Angkatan Darat. Penyebabnya, petani menolak latihan militer dan uji coba alat utama sistem persenjataan (alutsista) di lahan sengketa. Padahal, pada Januari 2011 Kementerian Pertahanan telah mengumumkan aturan penyelesaian sengketa serta konflik tanah aset Kementerian Pertahanan dan TNI.

Potensi konflik sengketa tanah yang membenturkan TNI dengan rakyat boleh kita sebut sebagai ”bahaya laten”. Data Tim Nasional Pengalihan Aktivitas Bisnis TNI menyebutkan, ada aset TNI berupa 1.618 bidang tanah seluas 16.544,54 hektar yang kini dimanfaatkan oleh pihak ketiga. Sejarah konflik tanah ini pun rumit dan kompleks. Adu klaim terjadi dan kedua pihak bersikeras dengan data dan bukti kepemilikan.

Setidaknya ada tiga bidang persoalan yang perlu dicermati. Pertama, riwayat status tanah yang diperebutkan—yang kerap merujuk pada zaman kolonialisme—telah lama memantik api dalam sekam. Status kepemilikan menjadi penting ditelusuri. Fakta menunjukkan bahwa konflik tanah di Indonesia umumnya berkonteks politik dan beragam dimensi persoalan dalam kurun waktu berbeda.

Bom waktu
Persoalan lama yang tak selesai itu kini menjadi bom waktu. Lalu, setiap konflik pecah, kita mendengar argumentasi klasik yang klise: TNI menuduh rakyat menjarah dan menduduki tanah yang dikuasai sejak zaman kemerdekaan. Sementara rakyat menuduh balik TNI merampas lahan garapannya.

Argumentasi usang ini membawa pada dua kesulitan. Di satu sisi investigasi masa lalu menemui kendala pada persoalan pembuktian, seperti saksi hidup dan bukti-bukti kepemilikan. Apalagi, seiring dengan perjalanan waktu sering dijumpai sertifikat ganda yang mengaburkan status kepemilikan.

Kedua, kesulitan pertama akan menjadi alasan kasus itu sulit diungkap, baik alasan waktu, sumber daya, maupun anggaran. Banyak kasus terkesan diambangkan dan dibiarkan mereda dengan sendirinya.

Kendati persoalan sengketa tanah antara TNI dan rakyat diakui sebagai potensi konflik rawan dan dapat melecut kekerasan berulang, pemerintah—baik di pusat maupun daerah—belum memberikan tanggapan memadai. Padahal, Badan Pertanahan Nasional dan Kementerian Keuangan dianggap kompeten menyelesaikan persoalan rumit ini. Begitu juga anggota Dewan sebagai pengawas, baik di sisi operasionalisasi kebijakan maupun penganggarannya.

Koordinasi buruk antara pusat dan daerah dianggap sebagai salah satu kendala. Penetapan status penguasaan berikut peruntukannya bagi instansi pemerintah sangat penting, terutama guna mengetahui peruntukan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi. Banyak kasus di lapangan, penguasaan serta tugas pokok dan fungsi berbeda dengan peruntukannya.

Bagian dari bisnis TNI
Hal lain, peristiwa konflik tanah yang melibatkan TNI kerap ditengarai sebagai bagian dari bisnis TNI. Dalam kasus Kebumen ini, misalnya, di tanah yang dikuasai TNI ternyata akan didirikan kawasan pertambangan besi yang dikhawatirkan akan mengeruk, mengeksploitasi, dan merusak lingkungan.

Seandainya itu terjadi, ada dua hal yang perlu dilakukan. Pertama, negara perlu segera menetapkan status tanah sengketa itu melalui hasil penelusuran kepemilikan. Kedua, jika memang benar milik TNI, apakah peruntukannya telah tepat dan jelas dalam hal menunjang tugas pokok dan fungsi TNI? Jika informasi adanya kawasan pertambangan besi di lahan itu benar, apakah tepat latihan militer dan uji coba alutsista dilakukan di sana?

Justru seandainya fakta ini tetap dipaksakan, hal ini akan merugikan institusi TNI sendiri. Latihan militer dan uji coba alutsista sangat diperlukan untuk mengembangkan dan meningkatkan profesionalisme TNI. Dibutuhkan lahan militer yang tepat agar tujuan itu tercapai.

Pemerintah perlu memikirkan kebutuhan ini dan tegas dalam pelaksanaannya. Perkembangan waktu tak lagi memungkinkan TNI berdiam di lahan yang kini menjadi permukiman padat. Penataan ulang serta relokasi latihan militer dan uji coba alutsista perlu mempertimbangkan kondisi ini.

Apalagi, dalam pengambilalihan bisnis TNI yang diamanatkan Pasal 76 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, ada pencapaian signifikan, di antaranya penertiban bisnis TNI berbentuk koperasi dan yayasan. Sementara penataan ulang, penertiban, dan inventarisasi barang milik negara, khususnya tanah, dengan Kementerian Keuangan kini nyaris kelar.

Pada dasarnya barang milik negara digunakan untuk penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi kementerian negara, lembaga, atau satuan kerja perangkat daerah. Hal itu dengan jelas diatur pada Pasal 4 Ayat (1) dan Pasal 6 Ayat (1) UU No 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara.

Konsekuensi dari aturan itu, tanah dan bangunan milik negara atau daerah yang tidak dimanfaatkan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi wajib diserahkan kembali kepada Menteri Keuangan atau kepala daerah setempat sesuai dengan Pasal 49 Ayat (3) UU No 1/2004.

Peraturan ini sudah jelas bersentuhan dan mengatur kebutuhan TNI. Tinggal pemerintah tegas menegakkannya. Kita sepakat menciptakan TNI profesional. Jelas upaya itu bukan hanya tanggung jawab TNI, melainkan juga tanggung jawab negara dan seluruh masyarakat sipil.

Jaleswari Pramodhawardani, Peneliti LIPI

No comments: