Sunday, May 15, 2011

Sungai Purba di Ujung Peradaban

http://www.citarum.org/?q=node/807
KOMPAS, SUNGAI CITARUM

Jumat, 6 Mei 2011

Kerusakan Sungai Citarum, yang membentang sejauh 269 kilometer dari Bandung Selatan hingga Muara Gembong, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, dari tahun ke tahun semakin parah. Tidak ada pihak yang berupaya mengendalikan pencemaran sehingga Citarum dibiarkan kehilangan fungsi.


Selama airnya masih ada, walaupun kecil dan pekat akibat pencemaran hebat, persoalan Citarum dianggap biasa,” sindir Mubiar Purwasasmita, Guru Besar Lingkungan Institut Teknologi Bandung.


”Kami sudah melaporkan semua persoalan Citarum, tetapi hingga kini tidak ada penanganan tuntas,” tambah Erry Megantara, Guru Besar Ilmu Lingkungan Universitas Padjadjaran.


Instansi yang langsung menangani Sungai Citarum adalah Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Citarum di bawah Kementerian Pekerjaan Umum. Lembaga ini pun lebih menangani fisik sungai untuk mengurangi genangan banjir di Bandung Selatan atau wilayah hulu Citarum.


Pekerjaan konstruksi tahap pertama BBWS 1994-1999 mengeruk lumpur sedimen Citarum 2 juta-3 juta meter kubik. Tahap kedua 1999-2008 juga mengeruk 2 juta-3 juta meter kubik. Luas genangan banjir memang menurun, dari 7.450 hektar tahun 1985 menjadi 1.402 hektar pada tahun 2008.


”Di sisi lain, sedimen yang turun dari Citarum hulu berkisar 10 juta meter kubik per tahun,” ungkap Staf Ahli Gubernur Jabar Anang Sudarna, yang juga mantan Kepala Dinas Kehutanan Jabar.


Sementara itu, untuk pencemarannya hingga kini tidak ada yang mengendalikan. Mulai dari bagian hulu di Situ Cisanti, kaki Gunung Wayang Bandung Selatan, hingga ke Muara Gembong, aliran Sungai Citarum sudah tercemar berbagai bahan kimia berbahaya.


Penyebabnya, sungai terpanjang dan terbesar di Jabar ini dijadikan tempat pembuangan limbah pertanian, peternakan, industri/pabrik tekstil, sampah rumah tangga, dan segala aktivitas kehidupan kota di sekitar daerah aliran sungai (DAS) Citarum, termasuk Bandung Raya.


Ironis, ketika kesadaran tentang kelestarian alam semakin berkembang, semua fungsi Sungai Citarum untuk melanjutkan cita-cita kemerdekaan dirusak oleh hampir semua komponen bangsa. Sepertinya, sungai purba itu kini tengah berada di ujung peradaban.


Makin buruk
Sungai Citarum bernilai sangat strategis bagi kepentingan nasional karena airnya dimanfaatkan tiga waduk pembangkit listrik tenaga air (PLTA), yakni Waduk Saguling (700-1.400 megawatt), Cirata (1.008 megawatt), dan Jatiluhur (187 megawatt). Ketiga PLTA ini menerangi Jawa dan Bali.


Di hilir, air Citarum digunakan mengairi sawah di lumbung padi nasional, yaitu Kabupaten Karawang, Purwakarta, Subang, dan sebagian Indramayu. Air Citarum juga merupakan bahan baku air minum bagi 80 persen kebutuhan air minum warga DKI Jakarta.


Kini, Citarum yang memiliki wilayah sekitar 12.000 kilometer persegi melayani air minum bagi 25 juta jiwa penduduk. Sebanyak 15 juta penduduk tinggal di Jabar dan 10 juta jiwa lainnya di DKI Jakarta.


Total air irigasi yang dipasok Citarum mencapai 420.000 hektar di Kabupaten Bandung, Kota Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Cianjur, Purwakarta, Karawang, Subang, dan Indramayu.


Sayangnya, sumber daya sebesar itu disia-siakan. Kepala Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Jabar Iwan Setiawan melaporkan, akibat pencemaran dan sedimentasi, kualitas air Citarum makin lama makin buruk. 


Berdasarkan pemantauan tahun 2010, di DAS Citarum tidak ada satu lokasi pun yang kualitas airnya memenuhi mutu air baku minum (kelas II) maupun pertanian/perikanan (kelas III).


Apa parameternya sampai air Sungai Citarum bahkan tak layak dipakai di lahan pertanian dan perikanan? Ternyata, air sungai ini, antara lain, tinggi nilai COD (chemical oxygen demand), yaitu ukuran jumlah cemaran bahan organik di permukaan air), seng, nitrit, sulfid, besi (Fe), detergen, bakteri koli, serta coliform dari kotoran manusia dan hewan.
”Untuk pertanian tidak baik, apalagi kalau air tersebut mengandung logam berat, lebih buruk lagi untuk perikanan,” tutur Erry.


Nilai ekonomi
Sungai, di mana pun, selalu memberi nilai ekonomi bagi manusia. Tak terkecuali Citarum. Mengacu data Badan Pusat Statistik, Provinsi Jabar adalah produsen utama perikanan budidaya di republik ini. Pada subsektor jaring apung, antara tahun 2005 dan 2008 produksi Jabar selalu mendominasi produksi nasional.


Tahun 2006, produksi ikan dari jaring apung Jabar bahkan mencapai 80,9 persen dari total produksi nasional atau 143.252 ton. Tahun 2008 mencapai 144.560 ton dari total produksi nasional sebesar 263.169 ton. Ikan-ikan itu merupakan konsumsi warga Jabar, Banten, dan DKI Jakarta.


Keberadaan kolam-kolam keramba jaring apung (KJA) di Waduk Saguling, Cirata, dan Ir H Djuanda (Jatiluhur) menyumbang angka produksi di atas. Sejak diuji coba tahun 1974 dan dibudidayakan tahun 1988 di Waduk Ir Djuanda, pola budidaya KJA terus berkembang. Jumlah KJA di tiga waduk terus meningkat dan kini ditaksir lebih dari 70.000 unit.
Teknologi KJA tergolong baru dan menguntungkan. Oleh karena itu, usaha yang awalnya direkomendasikan bagi warga yang terdampak pembangunan waduk itu menjadi incaran investor.


Meski begitu, konsumen rupanya menyadari buruknya kualitas Citarum. ”Ibu-ibu di kompleks saya tidak mau beli kalau ikannya datang dari Saguling. Mereka tahu waduk itu tempat pertama penampungan limbah Citarum,” ujar Mohamad Husen, warga Kompleks Margahayu Raya Bandung.


Pesatnya perkembangan jumlah KJA, ditambah pencemaran dan sedimentasi dari hulu Citarum, membuat daya dukung perairan terus menurun. Gabungan Pengusaha Makanan Ternak (GPMT) mencatat, akumulasi sejumlah masalah itu membuat usaha budidaya ikan KJA melesu dalam 13 tahun terakhir, khususnya di Waduk Saguling dan Cirata.


Ketua GPMT Denny Indradjaja menyebutkan, permintaan pakan ikan dari pembudidaya di Waduk Saguling anjlok dari sekitar 4.000 ton per bulan tahun 1997 menjadi 100 ton per bulan tahun 2010. Kondisi serupa terjadi di Waduk Cirata, yang anjlok dari 12.000 ton per bulan tahun 1999-2002 menjadi 4.000 ton per bulan tahun 2010.


Buruknya kualitas air meningkatkan risiko kematian ikan akibat anjloknya kadar oksigen terlarut, serangan virus, atau teraduknya endapan dasar waduk.


Menurut Denny, karena sudah tidak menguntungkan, sebagian pembudidaya ikan KJA di Saguling dan Cirata memilih memindahkan jaring apungnya ke Waduk Ir H Djuanda yang kondisi airnya dinilai lebih baik. Konsumsi pakan di Waduk Ir H Djuanda pun meningkat dari 1.500 ton per bulan sebelum tahun 2005 menjadi 4.000 ton per bulan tahun 2010.


Begitu banyak orang menggantungkan hidup pada Citarum, begitu besar nilai ekonomi sungai tersebut. Tidak ada jalan lain kecuali merevitalisasi sungai itu, mengendalikan kerusakan daerah aliran sungai, dan menghentikan pencemarannya bila jutaan orang tetap ingin mendapat manfaat dari sungai tersebut. (DMU/MKN)

No comments: