http://www.gatra.com/artikel.php?id=100631
PERSPEKTIF RADHAR PANCA DAHANA
Berlalunya tahun 2006, atau kira-kira tahun ketiga pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), sebenarnya sudah cukup mengajarkan dan menegaskan pada kita akan beberapa hal. Pertama, jikapun ada yang kita sebut "kemajuan", ternyata kemajuan itu tidaklah cukup signifikan bagi perubahan keadaan masyarakat, secara sosial, ekonomis, psikologis, juga kultural. Angka-angka hebat pada tingkatan makro menyimpan paradoks atau seperti menentang hukum kapitalisme sendiri ketika ia tak bisa berbuat apa-apa pada sektor riil.
Berarti ada yang keliru pada angka itu, pada sistem (kapitalisme)-nya bahkan. Bukan angkanya, bisa jadi. Melainkan makna dan aplikasinya. Uang melimpah, katakanlah, tapi ia tak untuk memberdayakan diri. Melainkan menjadi penganggur di peti-peti harta luar negeri: jadi pengangguran sambil membiarkan diri beranak-pinak tanpa risiko. Tepatnya tanpa tanggung jawab sosial dan kebangsaan: mendayagunakannya di negeri tempat uang itu dikeruk habis-habisan.
Hal kedua, kondisi itu bukan saja menghambat bahkan melenyapkan hak-hak ekosob (ekonomi, sosial, budaya) yang kovenan PBB-nya sudah kita ratifikasi. Melainkan juga adanya semacam kebingungan --lebih mengkhawatirkan jika ia sebenarnya rasa frustrasi-- kalau para penanggung jawab negeri ini (di kabinet, parlemen, atau mahkamahnya) tidak kunjung memiliki gagasan terobosan untuk mengatasi situasi paradoksal di atas. Pendek kata, elite kita mengalami kemarau ide, satu hal yang hukumnya wajib kifayah di masa kini.
Persoalan tersebut disusul oleh kenyataan ketiga yang lebih ngegirisi: dengan bekal aturan-aturan baru yang merupakan reformasi konstitusional pun, ternyata perubahan signifikan tak terjadi lantaran begitu lemah implementasinya. Pemerintah di semua lini tidak cukup tough hanya untuk melaksanakan aturan tersebut, tanpa dalih atau retorika murahan. Pemimpin yang tidak kapabel dan tidak kompeten masih mengangkangi berbagai jabatan publik, mulai pemerintahan hingga parlemen, dari institusi negara sampai organisasi olahraga.
Tiga kenyataan di atas dalam analisis teknisnya sudah banyak disuarakan dalam pelbagai forum. Tapi, sekali lagi, kita harus mengakui, para elite penguasa itu seperti tuli dan buta. Atau saya kira lebih pada inkompetensi yang ada. Kemampuan yang ternyata pas-pasan, karena memang rasionalisasi di balik pemilihan "demokratis" yang sangat lemah membuat mereka sungguh tak berdaya. Memang tidak mampu mengemban tuntutan bahkan tugas-tugas dasarnya saja. Tapi nafsu berkuasa terlalu kuat. Maka, kegagalan tidak menjadi pelajaran, apalagi menjadi kejantanan untuk "angkat tangan". Berbagai bencana, mega-korupsi, kebengsrekan birokrasi, kegagalan di Asian Games, hingga perilaku amoral begitu permisifnya mereka bela secara kolektif.
Tampaknya, tidak ayal lagi, tahun-tahun mendatang, jika perubahan diharapkan harus terjadi, perubahan itu tidak lagi sekadar angka di atas kertas atau berupa bumbu retoris dari wacana para pejabat atau juru bicaranya. Ia harus dimulai dengan keras, bukan dengan orientasi angka/hasil akhir (betapapun itu penting), melainkan pada modus atau cara kita melaksanakan niat itu. Angka --seperti terbukti-- ternyata tak membuktikan apa-apa pada realitasnya. Ia bisa saja semu, bahkan sebuah tipu.
Tapi sebuah cara atau modus bekerja adalah nyawa dari sebuah kerja, di mana proses, waktu, dan jiwa ada di dalamnya. Seperti matematika dan pelajaran dasar lainnya, bukan hasil akhir yang penting, melainkan cara menghitung atau "jalan"-nya yang lebih utama. Karena di situlah sebuah akhir mendapat kualitas, mendapat makna dan fungsi. Karena di situlah keseluruhan pribadi (karakter/jati diri) teruji dan terbukti.
Pada titik inilah kecenderungan kita yang permisif, terlalu kompromistis, dan apologetik --sebagai wujud mentalitas dan kepribadian yang lemah-- mesti ditolak habis. Tak ada kompromi untuk kesalahan, kekurangan, wanprestasi, atau output yang asal-asalan. Sebuah elan vital dan etos kerja baru harus ditegakkan. Dan seluruh kalangan elite mesti menjalankannya. Tanpa kecuali. Tanpa kompromi. Atau aturan, hukum, bahkan kode etik segera menangani segala bias, deviasi, atau pelanggaran.
"Kebangkitan" Amerika Latin yang kini sudah membuat tujuh negara utamanya bersatu dalam tekad menentang kedegilan globalisme dan nafsu serakah Amerika Serikat cs dapat menjadi contoh. Elite utamanya, dari Lula da Silva di Brasil hingga Hugo Chaves di Venezuela, dari Evo Morales di Bolivia sampai Michele Bachelet di Cile, membuktikan betapa modus yang kuat (betapapun itu menentang logika global) dapat diterapkan. Dengan satu tujuan: kemajuan bangsa, semesta rakyat kita.
Maka, Chavez pun melempar semua kepentingan Amerika di muka presidennya. Morales menasionalisasi semua usaha ekstratifnya. Argentina dulu menentang dan menolak pembayaran utang. Mereka pun sukses. Apa pun kontroversi di dalamnya. Sebagaimana hal yang sama terjadi di Cina atau Rusia. Sebagian dunia membuktikan sudah: jangan kompromi pada kelemahan diri, sebelum kita tidak kompromi pada kekuatan eksternal (yang kasar dan imperialistik).
Radhar Panca Dahana
Pekerja seni
[Perspektif, Gatra Nomor 6 Beredar Kamis, 21 Desember 2006]
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment