Tuesday, December 26, 2006

Dunia Konsumsi, Mau tapi Malu

http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0612/24/utama/3196920.htm
Minggu, 24 Desember 2006

BRE REDANA

Mengapa kami perlu membikin semacam catatan khusus mengenai kehidupan kota besar, urban life, yang beberapa sisinya dilihat orang sebagai semata-mata kehidupan konsumtif, dangkal, tidak heroik, tidak menantang seperti filsafat, tidak serius (dan angker) seperti agama dan LSM—pendeknya sesuatu yang "di-tidak-kan" tapi diam-diam "dirayakan" semua orang bahkan oleh para pengecamnya? Salah satunya tentu dikarenakan "kedekatan" (proximity), yang sebenarnya mengandung ironi: justru karena kedekatan ini, banyak hal telah dirongrongnya tanpa kita sadari.

Kota besar adalah schizophrenic, kata Suketu Mehta mengutip Victor Hugo dalam bukunya yang menjadi unggulan Pulitzer, Maximum City (2005). Keseluruhan buku itu tentang Bombay—atau Mumbai sekarang orang menyebut—yang barangkali bisa menjadi cermin bagi semua orang untuk menyadari hubungan antara sebuah individu dan suatu kota besar dalam pertumbuhannya yang maksimum dan setiap saat terancam meledak.

Kota besar menjadi seperti sosoknya sekarang antara lain dikarenakan kendaraan, mobil. Karena mobil orang bisa tinggal makin jauh dan makin jauh dari pusat kota. Kota mengembang karena mobil, dan kemudian juga sekarat karena mobil. Lahan-lahan untuk pertumbuhan anak-anak di luar rumah terancam dari waktu ke waktu. Dari kebun, dari lapangan, anak digusur ke taman, dari taman ke tempat parkir, ketika yang terakhir itu pun tak ada lagi bahkan sela-selanya, takluklah anak- anak: mereka duduk di ruang tamu nonton televisi.

Kenyataannya kemudian, kita telah hidup di dunia virtual, dunia cyber, dunia maya. Yang dipahami orang mengenai sesuatu yang "nyata", terus berevolusi. "Taste the real thing" seperti iklan minuman dulu sudah terlalu kuno. Sekarang di pinggir jalan di Jakarta orang menjumpai iklan peralatan elektronik yang semboyannya "imagined reality". Kenyataan, seperti konsep bangsa yang diintroduksikan oleh Benedict Anderson, adalah sesuatu yang "terbayangkan" belaka.

Itu semua, bukankah isyarat, bahwa kita seharusnya melihat apa yang disebut "kenyataan" itu secara berbeda? Citra, perwujudan semu, perwujudan gadungan, itulah arena pertarungan berbagai kepentingan masyarakat masa kini. Tidak hanya terbatas pada dunia konsumsi yang memang strategi bujuk-rayunya adalah pada penciptaan citra, tetapi juga pada pertarungan kepentingan politik entah itu oleh penguasa, organisasi massa, lembaga swadaya masyarakat, individu-individu yang memperjuangkan kepentingannya sendiri dengan berkedok memperjuangkan kemiskinan, hak-hak asasi manusia, hak buruh, saham perusahaan, dan lain-lain. Dalam dunia citra ini, Anda sungguh- sungguh bisa percaya kepada mereka atau dia? Hua-ha-ha….

Spiritualitas

Faktor-faktor paling kritis dalam membentuk sebuah kota, konon adalah kesakralan, kemampuan untuk menyediakan rasa aman bagi warga, dan kemampuan menghidupkan ekonomi atau bisnis. Dengan alasan itulah metropolitan pertama dalam peradaban manusia lahir, yaitu Mesopotamia di lembah antara Sungai Eufrat dan Tigris pada sekitar 3500 tahun SM. Kota berikut alasan penjadiannya adalah alasan keagamaan, di mana orang akan dengan aman bisa menghayati kehidupan spiritualitasnya dengan intens. Setelah itu, dalam rentang waktu ribuan tahun, kota-kota dibangun dengan alasan sama, dari Babylon, Roma, Alexandria, Paris dengan katedral Notre Dame-nya, dan seterusnya.

Kota menjadi arena untuk alasan ekonomi mulai berkembang setelah Revolusi Industri. Tahun 1800 London menjadi kota paling padat, dengan jumlah penduduk melampaui satu juta jiwa. Pada pertengahan tahun 1800-an itulah Charles Dickens menuliskan Hard Times, yang berisi semacam keresahan, ketika kota menjadi batu bata, dengan manusia-manusia yang tampak serupa belaka satu sama lain. Mereka meninggalkan rumah dan kembali ke rumah pada waktu yang sama, mengerjakan pekerjaan yang sama, setiap hari sama seperti hari kemarin, akan sama dengan hari esok—dan itu akan berlangsung terus sampai nanti kiamat.

Sekarang, setelah 200 tahun, di antara gegas kota besar, adakah yang masih menyimpan keresahan itu? Para pemikir yang pandai bicara, ahli tata ruang, arsitek yang hebat-hebat, para pengembang, memang kita dengar sering bicara akan perlunya ruang hijau perkotaan, penyelamatan lingkungan, preservasi historik, tapi, adakah yang bicara akan perlunya visi moral untuk mengembangkan sebuah kota?

Kita semua telah sama-sama ambil bagian dalam melucuti sakralitas sebuah ruang. Bukan saja dengan pembangunan yang tanpa rencana, ngawur seperti pembangunan jalan ala Jakarta, tetapi juga dengan kemunafikan kita, yang di zaman ini dimanjakan dan diakomodasi dengan sempurna oleh industri citra. Bukan hanya para pencoleng, kriminal terorganisir bergentayangan, tetapi juga figur-figur yang dikira orang pahlawan, tetapi sebetulnya hanyalah manipulator citra.

Kembali ke pertanyaan semula, mengapa harus dibikin catatan tentang kehidupan kota besar, urban life. Jawabnya kira-kira, karena alasan-alasan di atas, serta ikhtiar, bagaimana kita berusaha menemukan diri dan berwaspada dalam lingkungan yang telah berubah luar biasa berikut semua gejala yang tak terelakkan ini.

Atau setidaknya, agar kita tak terbiasa munafik: mau tapi malu.

No comments: