Saturday, December 23, 2006

Natal di Tengah Pasar Kebebasan

http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0612/23/opini/3191815.htm
Sabtu, 23 Desember 2006
Martin Lukito Sinaga

Akhir-akhir ini tampaknya kian sulit untuk meyakini bahasa atau kebenaran agama.

Dulu, saat modernitas menyingsing dan menuntut syarat-syarat keberterimaan logis pada kebenaran agama, kita bertemu dengan Schleiermacher yang memperkenalkan agama sebagai ruang perasaan dan momen eksistensial. Baginya agama memiliki logikanya sendiri dan tak perlu memenuhi syarat logis nalar modern. Atau ketika Kant mengusir iman dari wilayah rasio, hati manusia menjadi ruang yang tersisa bagi kebenaran ilahi.

Juga saat Marx memaksa agama siuman dari ilusinya, dan menjungkirbalikkan arah agama dari surga ke bumi, justru iman bertambah dewasa. Melalui kritik Marx, Teologi Pembebasan menyingsing, agama diuji dalam praksis nyata di bumi. Akibatnya, ribuan orang yang saleh menyingsingkan lengan baju untuk kerja sosial yang transformatif. Dari Uskup Cardenal hingga ibu Teressa, membuktikan iman yang bekerja dalam dan demi sejarah.

"Freedom" yang mencemaskan

Kini, orang membicarakan freedom, tetapi dengan aksen yang mendatangkan cemas. Menurut Bellamy (Liberalism and Modern Society, 1992), dulu kebebasan menjadi bahasa yang dijunjung tinggi karena terkait hal etis dan hak asasi manusia, tetapi kini kebebasan dibicarakan sebagai ihwal ekonomis. Dalam pada itu yang menyingsing adalah pasar bebas dengan kompetisi sebagai suasananya. Pasar bebas pun direntang secara global dan bahasa universalnya ialah kebebasan membeli hanya bagi yang berdaya beli.

Hal ini melahirkan sosok manusia baru, Homo Oeconomicus (Priyono, dalam Sesudah Filsafat, 2006). Manusia diseret dalam sebuah ihwal tunggal, yaitu transaksi ekonomi; lalu menemukan identitasnya selaku makhluk yang seluruh kinerjanya harus bernilai jual. Di sini, sang individu terpusat pada kepentingan diri (self-interest), di mana setiap saat ia mengalkulasi pertambahan (akumulasi) miliknya, selaku wujud hasrat tunggalnya.

Akibatnya, proyek yang pernah menggetarkan negeri ini—reformasi dan demokrasi—tampak kian meragukan. Sebab, semua urusan dan alasan dipaksa berujung pada logika untung rugi. Agensi sosial untuk perubahan dihitung dari biaya, bahkan ikhtiar demi mencerdaskan bangsa (baca: pendidikan) menjadi sebentuk usaha jual-beli. Demokrasi yang kini diberi gelar liberal sering berarti bahwa pasar bebas adalah syarat utamanya dan orang- orang yang tidak liberal berarti mereka yang secara percuma sibuk dengan urusan tak berguna, misalnya identitas (etnik, agama, dan moral). Thomas Friedman secara metaforis menunjukkan jalan Homo oeconomicus itu: membangun jalan bebas hambatan demi mobil Lexus dan meninggalkan di belakangnya omelan orang-orang yang memelihara pohon tradisi, pohon Olive!

Sayang, sejumlah penganut agama yang mendeteksi masalah ini keliru menjawab. Agama tadi mengajak orang surut ke masa lalu—di sana konon Kerajaan Ilahi sempurna dan jaya—dan demi itu semua penganut fundamentalisnya secara agresif menghancurkan tanda-tanda kebebasan.

Agama menawarkan sebentuk totalitarianisme di sini, yang merupakan refleksi dari musuhnya, yaitu fundamentalisme pasar. Menabrakkan pesawat demi Tuhan ke menara kembar di New York adalah simbol nyata permusuhan itu.

Atau agama mengambil sebentuk McReligion, agama fast food yang dilengkapi pesan-pesan nikmat dan sukses. Agama berubah menjadi training dan momen pesona rohani diubah menjadi momen bertambah kaya. Agama telah menjadi kultus health and wealth.

Atas kenyataan itu, bahasa dan kebenaran agama menjadi sulit diyakini. Jelas, fundamentalisme agama atau kompromi agama (McReligion) atas pasar ekonomi tidak meyakinkan sama sekali. Sebab, yang dihadapi ialah rasa puas diri secara ekonomis dari Homo oeconomicus yang sibuk mengejar hasratnya yang dangkal dan kedap. Di sini kebenaran agama (baca: Natal) mudah menjadi kosong, diisi kekuasaan pasar yang hanya menjadikannya sebagai pesta belanja dan hadiah-hadiah.

Malam Natal, "a night of survival"

Natal kali ini memang tidak mudah. Meski sebenarnya Natal Perdana pun dilalui dengan sulit, bahkan dalam paradoks. Saat itu empire ekonomi dan politik secara monopolistik dikuasai Kaisar Agustus dari Roma. Teriakan yang saat itu meluncur di gerbang-gerbang pasar kota ialah Pax Augustae, "Damai hanya mungkin dalam sistem ekonomi politik empire ini"! Negeri satelitnya di Palestina—daerah kelahiran Yesus—terpaksa ikut menyerap ideologi empire itu dan didesak percaya pada tatanan moneter di mana mata uang berlogo wajah kaisar menjadi sandaran transaksi ekonomi. Sensus demi kontrol jiwa pun dipaksakan oleh sistem kekuasaan terpusat itu; kita ingat malam Natal ialah malam perjalanan Maria mendaftar diri demi kepentingan statistik empire.

Namun, paradoks malam Natal menjadi alternatif di kampung pinggiran bernama Betlehem diserukan "kesukaan besar untuk seluruh bangsa: Hari ini telah lahir bagimu Juruselamat...." (Lukas 2:10-11). Dan, kelompok masyarakat yang mengambil lokasi di luar orbit tatanan empire, yaitu para gembala, memilih jalan lain: "dan damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepada-Nya" (Injil Lukas 2:13).

Apa yang dibayangkan dalam pertemuan dengan bayi Yesus di malam Natal? Tentu sebentuk ikhtiar yang baru, yang hendak menjalani sebentuk kehidupan bersahaja meski kesukaannya dibayangkan akan menyebar ke bangsa-bangsa. Seruannya ialah mengenai damai yang lain, bukan di bawah Kekaisaran Roma.

Demi damai yang lain itu, para gembala akan mencoba bekerja dalam kerangka oikos (rumah tangga) dan membentuk nomos (tatanan) yang adil. Oikos-nomos (asal kata ekonomi) begitu berarti adanya pengorganisasian kesejahteraan demi masing-masing anggota masyarakat, bukan demi akumulasi kekayaan bagi yang kuat. Tampaknya penetrasi tatanan moneter empire pun hendak dibatasi agar komunitas menjadi mandiri dan sebisanya hidup dari sumber-sumber setempat.

Dan kita yang merayakan Natal ditantang untuk menempuh night of survival sedemikian. Kebangkitan spiritual sedemikian, menurut David Korten (The Post-Corporate World, Life After Capitalism, 2000:281) jauh lebih bermasa depan dibandingkan pertarungan politik global. Natal kali ini memang lebih sulit, namun kebenaran berita Natal perlahan dapat kita yakini kembali.

Martin Lukito Sinaga Pengajar STT Jakarta; Pendeta Gereja Kristen Protestan Simalungun

No comments: