Jumat, 01 Desember 2006
M Basuki Sugita
Kawan mari kita terbuka dengan orang yang beda agama
Kawan mari kita menghormat orang-orang yang beda pendapat
Ada Islam Allahhu Akbar
Ada Budha Amitaba
Ada Kristen Alleluia
Ada Hindu om shanti-shanti
Ada Konghucu hongcu-hongcu
Semua jadi saudaraku
Pagi itu siswa-siswi kelas IX SMP Keluarga di Kudus menyanyikan lagu di atas yang berjudul Mari Terbuka dengan penuh riang gembira. Lirik lagu sederhana yang sarat makna itu dinyanyikan serempak oleh semua siswa, baik yang beragama Katolik, Kristen, Buddha, maupun Islam.
Apakah para siswa sedang diberi pelajaran kesenian? Ataukah mereka sedang belajar pendidikan agama? Jawabnya tidak. Ketika siswa bernyanyi lagu Mari Terbuka di atas, mereka sedang mendapat pembekalan pembelajaran Pendidikan Religiositas.
SMP Keluarga di Kudus, seperti halnya sekolah-sekolah di bawah naungan Yayasan Kanisius yang berpusat di Semarang, sejak empat tahun terakhir mengenalkan Pendidikan Religiositas sebagai pengganti Pendidikan Agama. Sejak saat itu pula di Yayasan Kanisius tidak ada lagi pendidikan agama (Katolik) pada umumnya. Para siswa kemudian dibekali pendidikan iman alternatif yang akrab disebut Pendidikan Religiositas. Lantas apa perbedaan dan kesamaan kedua pembelajaran itu?
Pada prinsipnya, baik Pendidikan Agama pada umumnya maupun Pendidikan Religiositas sama saja. Kedua pembelajaran itu bertujuan meningkatkan iman dan takwa bagi siswa yang mempelajarinya.
Pembelajaran
Namun, ada satu perbedaan prinsip yang membedakan kedua pembelajaran itu, yakni pendidikan agama yang dikenal sehari-hari hanya berkutat pada dogma dan nilai-nilai kebenaran agama itu sendiri, sementara Pendidikan Religiositas bicara lebih luas, ingin merangkum kesamaan nilai-nilai universal setiap agama. Prinsip yang dipakai: cintailah Tuhanmu sesuai agamamu.
Untuk itu, buku materi Pendidikan Religiositas pegangan siswa hasil kerja sama Komisi Kateketik Keuskupan Agung Semarang (KAS), Majelis Pendidikan Katolik (MPK) Keuskupan Agung Semarang (KAS), dan penerbit Kanisius tidak melulu ditulis oleh mereka yang berlatar belakang Katolik. Sejumlah tokoh lain agama juga diberi kesempatan serupa. Untuk lebih memantapkan hubungan antar-agama, buku Pendidikan Religiositas diberi judul Orang Beriman Membangun Persaudaraan dengan latar belakang gambar lima tempat ibadah yang diakui pemerintah.
Tercatat pengasuh Ponpes Nurul Ummahat Kotagede, Yogyakarta, KH Abdul Muhaimin; Pdt Bambang Subagya STh dari GKJ Ambarukmo, Yogyakarta; pengasuh majalah "Interfaith" Suluh, Yogyakarta, Effendi; serta pengawas pendidikan agama Hindu, Yogyakarta, Ida Bagus Pudja; ikut memberi sumbangan materi pembelajaran.
Materi pembelajaran Pendidikan Religiositas tidak hanya berkutat membahas hubungan antara manusia dan Tuhan. Namun, lebih dari itu, juga mengupas permasalahan anak manusia pada umumnya. Mulai manusia sebagai makhluk sosial, hubungan dengan lawan jenis, hubungan manusia dengan alam lingkungan, sampai manusia berhadapan dengan hukum agama.
Sebagai contoh, pembelajaran tingkat SMP disusun secara sistematis dan disesuaikan dengan tingkat intelektualitas serta kadar pemahaman siswa itu sendiri, dengan harapan untuk memudahkan siswa menyerap materi. Untuk kelas VII, pembahasan materi secara garis besar berada pada seputar diri anak sebagai bagian lingkungan manusia. Kelas VIII, siswa diajak memahami hubungan dengan lawan jenis, persahabatan, bahkan pacaran. Adapun kelas IX dibahas hubungan siswa/manusia dengan pelbagai aturan agama.
Pokok bahasan
Supaya materi tidak kering dan kaku, setiap pokok bahasan dibagi menjadi delapan bagian, yakni gambaran umum, cerita atau kisah pengalaman hidup, menggali nilai-nilai kebenaran, memperkaya nilai-nilai kehidupan, menggali nilai-nilai iman, memperkaya nilai-nilai iman, mewujudkan nilai-nilai iman, dan evaluasi.
Untuk memahami pokok bahasan, pada awal materi siswa diajak mendalami sepotong kisah pengalaman hidup. Dengan harapan pembahasan materi selalu "membumi" apa adanya dan mudah ditemukan contohnya di lingkungan sekitar, tidak terlalu dogmatis serta tidak bertele-tele. Pada hakikatnya, pembahasan Pendidikan Religiositas selalu bertumpu pada kondisi riil manusia itu sendiri.
Boleh dikatakan, kelebihan Pendidikan Religiositas ada di bagian memperkaya nilai-nilai iman. Pada bagian ini tidak hanya agama tertentu yang dianut mayoritas siswa dimintai "pendapatnya", tetapi semua agama yang diakui pemerintah diberi kesempatan sama. Jadi, baik ajaran agama Buddha, Hindu, Islam, Katolik, Kristen, atau Khong Hu Cu, bahkan kadang-kadang aliran kepercayaan, dikutip "pendapatnya" untuk sesuatu materi pembelajaran.
Namun, bukan berarti siswa harus tahu semua "pendapat" agama di buku materi, tetapi siswa diajak membuka cakrawala hati dan pikiran bahwa sebuah "pendapat" pada agama yang dianutnya ternyata juga muncul secara serupa di agama lain. Benang merah inilah yang jadi inti dan kekuatan Pendidikan Religiositas. Dari pembelajaran seperti ini siswa diajak bersikap bahwa kebenaran tidak mutlak dimiliki agama yang mereka anut, ternyata kebenaran juga muncul pada agama lain.
Bagaimanapun, manusia hidup di dunia ini karena berkat dan rahmat Tuhan yang sama. Tidak boleh satu agama pun mengklaim diri sebagai pihak yang paling benar. Pendidikan Religiositas mengajarkan kesamaan pandangan antar-agama. Perbedaan jelas ada karena dari sono-nya sudah demikian adanya. Jadi, mengapa harus memperuncing perbedaan?
Semangat pluralisme seperti dilakukan Yayasan Kanisius dan Maman Imanulhaq Fakieh dari Pondok Pesantren Al-Mizan di Desa Ciborelang, Kecamatan Jatiwangi, Majalengka, Jawa Barat (Kompas, 18/11), memang patut didukung. Siapa mau menyusul?
M Basuki Sugita Pendidik, Tinggal di Desa Kaliputu, Kudus, Jawa Tengah
No comments:
Post a Comment