Kamis, 30 November 2006
Michael Porter: Manfaatkan Momentum untuk Berubah
Jakarta, Kompas - Bangsa Indonesia harus segera mengubah pola berpikirnya dari yang sibuk memikirkan diri sendiri, saling menghancurkan, dan cepat puas dengan apa yang dimiliki menjadi pola pikir yang berusaha untuk meningkatkan produktivitas demi meningkatkan daya saing dalam percaturan global.
"Pemerintah dan sektor swasta saat ini sibuk dengan berbagai persoalan kompleks yang melilit perekonomian Indonesia. Perusahaan-perusahaan juga kelihatan sibuk memperebutkan kue ekonomi yang ada, bukannya berusaha memperbesar kue tersebut dengan meningkatkan daya saingnya," ujar Profesor Michael E Porter dari Harvard Business School kepada Kompas seusai seminar bertema "How to Make Indonesia More Competitive", Rabu (29/11) di Jakarta.
Seminar itu diselenggarakan Program Magister Manajemen Universitas Indonesia dan Kadin Pasar Modal. Porter tercatat sebagai guru besar yang dijuluki The Most Influential Business Thinker dan menjadi penasihat ekonomi negara-negara berkembang yang terbukti meningkatkan daya saingnya. Konsepnya, kluster dan daya saing, dipakai Pemerintah Singapura, Malaysia, Vietnam, China, Brasil, Kosta Rika, dan sebagainya.
Porter mengatakan, semua persoalan di Indonesia sebenarnya sudah sangat dipahami pemerintah dan sektor swasta. Sayangnya, upaya yang dilakukan tidak menghasilkan perubahan signifikan. Masih terjadi inefisiensi di berbagai bidang yang disebabkan antara lain aturan yang terlalu banyak dan panjang, kurangnya tenaga ahli, dan ketidakcukupan infrastruktur.
Akibatnya, menurut Porter, sejak krisis ekonomi, pertumbuhan ekonomi Indonesia stagnan, daya saing tidak cukup baik, investasi asing langsung tidak mengalami pertumbuhan berarti, dan pertumbuhan ekspor juga tidak menggembirakan.
"Padahal, seluruh dunia sedang bergerak sangat cepat. Maka sebenarnya inilah momentum tepat bagi Indonesia untuk berubah, tumbuh lebih signifikan dengan peningkatan daya saing," ujar Porter.
Perubahan yang dilakukan harus terintegrasi. Di satu sisi, sektor swasta harus mengembangkan bisnisnya dengan pola berpikir untuk menjadi yang terbaik. Selain itu, produknya harus punya keunikan. "Jangan bersaing pada dimensi yang sama. Itu strategi yang salah," kata Porter.
Di sisi lain, pemerintah harus menjadi katalisator bagi perkembangan sektor swasta. Pemerintah harus melakukan reformasi birokrasi dan kebijakan.
Asosiasi atau kamar dagang juga harus berubah peran dari lembaga lobi pencari proteksi menjadi lembaga kerja sama yang mempromosikan persaingan sehat, menyatukan industri, pemberi akses terhadap pengetahuan, dan riset.
Sebenarnya, menurut Porter, Indonesia memiliki kelebihan dalam hal sumber daya alam yang melimpah. Indonesia saat ini juga mempunyai pemimpin yang baik dan memiliki banyak pemikir cerdas. "Lalu kenapa Indonesia masih tetap stagnan? Saya pikir penyebabnya sebagian adalah masalah mentalitas dan perilaku. Selain itu, tidak adanya kolaborasi dan tidak adanya rasa untuk membangun win-win opportunity sehingga setiap pihak bisa merasa mereka adalah bagian dari tim," ujarnya.
Berdasarkan Global Competitiveness Report 2006-2007 yang memeringkatkan 121 negara, secara keseluruhan Indonesia berada di posisi ke-35. Jika memasukkan parameter produk domestik bruto per kapita, Indonesia berada di peringkat ke-83.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan, pemerintah tidak menyangkal berbagai persoalan ekonomi yang dihadapi saat ini. "Terus terang saya tidak ingin Indonesia menjadi negara yang gagal," ujarnya.
Dia menambahkan, sudah saatnya semua pihak bertindak dan tidak lagi hanya berbicara. Tidak lagi sibuk membicarakan keburukan satu sama lain, melainkan harus saling mendukung. Upaya untuk menjadi kompetitif harus didukung dan dikerjakan semua pihak.
Sulit berkembang
Dalam seminar lain bertajuk "Gerakan Peningkatan Produktivitas Nasional", Wakil Ketua Umum Kadin Anthon Riyanto menilai rendahnya implementasi kebijakan infrastruktur, pelayanan publik, penegakan hukum, perpajakan, dan perburuhan menyebabkan dunia usaha sulit berkembang. Dunia usaha membutuhkan seluruh kebijakan tersebut untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing industri.
Menurut Anthon, beban biaya produksi terus bertambah karena pengusaha harus menanggung setiap kenaikan ongkos yang muncul akibat kelambanan pemerintah merealisasikan kebijakannya.
Kondisi buruk infrastruktur, misalnya, menyebabkan ongkos transportasi mahal. Ekonomi biaya tinggi akibat lemahnya penegakan hukum dan birokrasi masih menjadi momok bagi pengusaha. Aparat pemerintahan dan penegak hukum masih belum optimal berperan menciptakan iklim investasi yang kondusif.
Berbagai upaya reformasi birokrasi yang gencar dilaksanakan pemerintah selama ini pun belum banyak berkontribusi pada iklim investasi. Penyebabnya, laju reformasi yang dijalankan pemerintah tetap belum mampu mengejar kecepatan proses reformasi yang sudah berjalan di negara lain.
Anthon mencontohkan pertumbuhan bisnis di Vietnam, yang tahun 2003 relatif masih di belakang Indonesia, kini sudah mulai menyusul. Bahkan, pada beberapa sektor industri, seperti sepatu dan tekstil, Vietnam sudah menjadi salah satu negara tujuan investasi dunia di Asia Tenggara.
"Jadi, jangan lagi membandingkan Indonesia dengan China karena dengan Vietnam saja kita sudah mulai kehabisan napas. Harus ada gebrakan dari pemerintah agar berbagai persoalan penghambat produktivitas nasional dapat segera diatasi," katanya.
Berbagai reformasi aturan hukum yang dijalankan, misalnya amandemen undang-undang tentang investasi, perpajakan, serta bea dan cukai, juga tertahan akibat tarik-menarik kepentingan dan mengendap di parlemen. (Tav/HAM)
No comments:
Post a Comment