Tuesday, December 12, 2006

Gerakan Perempuan Tolak Poligami

http://www.jurnalperempuan.com/yjp.jpo/?act=berita%7C-735%7CX

Senin, 11 Desember 2006

Jurnalis: Henny Irawati

Tuhan, Tuhan, Tuhan, haruskah keadaan ini terus berlangsung berabad-abad.
Haruskah berabad-abad perempuan dihina dan diinjak-injak. Tidak. Tidak. Keadaan ini harus berakhir. Permulaan dari akhir itu harus diadakan.

Jurnalperempuan.com-Jakarta.
Isi surat yang ditulis Kartini pada tanggal 17 Oktober 1900 tersebut dikutip Gadis Arivia dalam konferensi pers yang diselenggarakan Yayasan Jurnal Perempuan, Sabtu (9/11) kemarin, di kantornya. Gadis mengingatkan, sudah sebegitu lama gerakan perempuan menentang poligami. Kartini, lanjut Gadis, pada akhirnya memang kalah. “Ia termakan oleh poligami itu sendiri.” Sebagaimana tercatat dalam sejarah, Kartini dinikahkan dengan Raden Adipati Joyodiningrat, Bupati Rembang yang sudah mempunyai 3 istri dan 6
orang anak. Meskipun Kartini “kalah”, dalam suratnya dia mengatakan, “poligami adalah kejahatan raksasa, egoisme laki-laki.”

Pada 1912, seorang pejuang perempuan lain juga mengacungkan bendera perang terhadap poligami. Dialah Roehana Koeddoes, yang menerbitkan Soenting Melajoe. Dalam Soenting Melajoe Roehana Koeddoes mengatakan poligami harus dilarang. Poligami itu merugikan perempuan. Daftar penentang poligami semakin panjang dengan nama Raden Ayu Siti Sundari. Pada tahun 1914, Raden Ayu Siti Sundari mengatakan praktik-praktik poligami yang terjadi dalam masyarakat kita sangat merugikan perempuan, menimbulkan korban, termasuk korban anak-anak.

Terkait soal kerugian dalam poligami, Sekjen ICRP (Indonesian Conference on Religion and Peace) Prof. Dr. Siti Musdah Mulia menjelaskan beberapa dampaknya. Pertama, meningkatkan angka kekerasan domestik. “Tidak saja terjadi “pelukaan hati” tetapi juga kekerasan fisik,” ungkapnya. Kedua, kekerasan yang dialami
anak juga terjadi peningkatan dalam keluarga yang melakukan praktik poligami. Dampak ketiga, meningkatkan konflik keluarga. “Kalau antara kedua istri bisa akur, bagaimana dengan anaknya, keluarganya, masyarakatnya? Apakah mereka bisa harmonis?” Ketiga dampak ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan Lely Nurrohmah dari Rahima Pusat Pendidikan dan Informasi Islam & Hak-Hak Perempuan
yang siang itu hadir menjawab pertanyaan-pertanyaan wartawan.

Dampak terakhir, yang menurut Musdah paling jarang diangkat, bahwa suami yang berpoligami berpotensi empat atau lima kali lebih besar menularkan penyakit kanker mulut rahim. Oleh sebab itu, Musdah sendiri lebih mendukung pandangan yang mengharamkan poligami. “Perlu disosialisasikan ke masyarakat, interpretasi poligami itu tidak hanya seperti yang selama ini banyak disampaikan, bahwa ia boleh. Menurut kajian-kajian yang dilakukan oleh ulama-ulama kontemporer, poligami itu haram berdasarkan ekses-ekses yang ditimbulkan.”

Musdah mengakui, ada berbagai pendapat dalam memandang poligami. Ada yang membolehkan, bahkan mewajibkan. Ada pula yang membolehkan tapi dengan syarat-syarat yang sangat ketat. Sehingga sampai pada kesimpulan bahwa poligami hanya boleh terjadi dalam keadaan darurat. “Kalau bicara darurat, itu menjadi
pasal karet,” sesalnya. Yang patut diingat, pembatasan poligami yang sangat ketat dalam ajaran Islam seharusnya dibaca sebagai suatu cita-cita luhur dan ideal Islam untuk menghapuskan poligami secara gradual. Pandangan inilah, yang dipercayai Musdah sebagai pandangan Islam yang humanis, yang mengakomodir nilai-nilai kemanusiaan.

“Menurut para ulama, poligami diperbolehkan pada masa transisi. Ketika Islam sudah mengalami kemajuan, poligami ini sudah bertentangan dengan esensi ajaran Islam itu sendiri, yang mengabarkan keadilan, yang mengajarkan kedamaian dalam tingkat keluarga sekalipun.” Musdah menghimbau kepada masyarakat untuk cerdas beragama. Agama itu harus sesuai dengan akal sehat manusia. Agama sejatinya membuat hidup manusia lebih bermakna: bermakna bagi dirinya sendiri, bagi pasangannya, bagi sesama manusia, dan bagi alam semesta. Musdah menegaskan, Islam adalah agama yang ramah terhadap perempuan, sekaligus rahmatan lil 'alamin (rahmat bagi alam semesta).

Gerakan perempuan menentang poligami masih terus dilanjutkan. Pada Kongres Perempuan pertama (1928) diteguhkan bahwa poligami harus dihentikan. Gerakan ini disusul Gerakan Wanita Indonesia dan Perwari, dengan didukung fraksi Wanita Parlemen terutama fraksi dari Partai Nasionalis Indonesia (PNI), yang pada tahun 1950an mendesak negara untuk melarang poligami. Sayangnya, langkah ini dihadang oleh dua organisasi Islam yang cukup besar, yakni Masyumi dan Gerakan Pemuda Islam Indonesia, yang menentang, meneror, bahkan melecehkan gerakan perempuan, serta cukup membuat gentar gerakan perempuan ini. “Baru pada 1954, ketika Soekarno menikah lagi dengan Hartini, gaung anti poligami ini muncul lagi. Dan
PNI secara radikal menyatakan Indonesia harusnya hanya diperbolehkan monogami. Selebihnya harus dilarang,” kisah Gadis.

Tahun 1974, lanjut Gadis, terjadi kompromi. Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 mengatakan, diperbolehkan melakukan poligami tetapi tetap dengan syarat-syarat yang sangat ketat. “Masalahnya, pada Abad 21 ini poligami sudah tidak compatible lagi dengan HAM dan gerakan perempuan sekarang.” Sebagaimana dapat ditemui dalam sejumlah penelitian yang dilakukan LBH APIK, IAIN, dan YJP sendiri yang menyebutkan 90 persen responden menyatakan menolak poligami.

Gadis menyatakan kegembiraannya atas langkah Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Meutia Hatta yang akan merevisi UU Perkawinan 1974. Begitu juga dengan pembicara-pembicara yang hadir, antara lain Hilaly Basya (JIMM, Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah), Masruchah (KPI, Koalisi Perempuan Indonesia), dan Mujib Hermani (seorang anak laki-laki yang dibesarkan dalam keluarga poligami). Dukungan juga diberikan oleh sejumlah LSM yang turut menyetujui pernyataan yang dibacakan Mariana Amiruddin di awal acara. Mereka adalah KPI (Koalisi Perempuan Indonesia), LBH APIK (Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi
Perempuan Indonesia untuk Keadilan), SP (Solidaritas Perempuan), IP (Institut Perempuan), Jaringan Nasional Perempuan Mahardhika, PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), Kapal Perempuan (Lingkaran Pendidikan Alternatif untuk Perempuan), Pusat Kajian Wanita dan Gender Universitas Indonesia, Rahima; Pusat Pendidikan dan Informasi Islam dan Hak-Hak Perempuan, dan ICRP (Indonesian
Conference on Religion and Peace).

Apakah ini “permulaan dari akhir” itu? Itulah yang akan terus kita perjuangkan.*

No comments: