Friday, December 08, 2006

Revitalisasi Islam Piano




Sebelum dan sesudah Yayasan Wakaf Paramadina, tidak ada organisasi Islam yang mengikuti jejak apa yang dilakukannya: meresmikan pembentukannya di hotel bintang lima (28 Oktober 1986) dan membuka pengajian pertamanya --di sebuah mal mewah-- dengan resital piano. Nurcholish Madjid sendiri lalu berkantor di kompleks pertokoan mahal Pondok Indah Plaza. Pengajian-pengajian Paramadina sejak itu, terutama trademark-nya, Klub Kajian Agama (KKA), sering digelar di hotel-hotel bertaraf internasional.

Semua itu adalah pesan yang jelas tentang pengajian seperti apa dan jamaah kelas mana yang dibidik Paramadina. Tapi, dengan segala aura elitisnya, Paramadina tidak eksklusif. Pengajian-pengajiannya terbuka dan massal. Segmen yang dibidik pun segera mafhum dan berduyun menghadiri aneka kegiatannya. Mereka adalah golongan pengusaha, kaum profesional, pejabat pemerintah, cendekiawan, dan nyonya-nyonya yang datang dengan sedan mengilat. Mereka dihimpun oleh sistem keanggotaan yang rapi dengan membayar iuran tahunan jutaan rupiah --sesuatu yang tak berpreseden dalam "sejarah pengajian" di Indonesia.

Kaum kelas-menengah-atas-kota itu menemukan apa yang sudah lama mereka idamkan: sebuah percakapan cerdas tentang agama, yang dialogis dan sesuai tingkat intelektualitas mereka, tanpa kehilangan kesejukan khas sebuah pengajian. Dengan takzim tapi rileks, mereka menyimak tafsir-tafsir yang sama sekali baru, yang kerap segar dan mencerahkan, selain pemaparan asal-usul historis dan filosofis suatu doktrin baku yang selama ini tak terusik.

Dengan pengetahuannya yang luas, dalam, dan artikulasinya yang memukau, Nurcholish dan para pembicara lainnya tampil tanpa mengenakan busana dan simbol-simbol religius yang lazim. Rasa percaya diri pembicara pun membuat mereka merasa tak perlu sering-sering berlindung di balik bunyi tekstual ajaran atau memamerkan kefasihan dalam mengutip sumber-sumber ajaran dalam bahasa yang tak dimengerti jamaah.

Semuanya perlahan-lahan memunculkan keyakinan di kalangan jamaah, yang dikenal dan mengenal diri sebagai orang-orang yang kurang religius, bahwa mereka bahkan bisa menjadi muslim yang lebih baik dibandingkan dengan rekan-rekan yang selama ini dikenal "alim". Efek ini bahkan sudah disasar oleh Nurcholish, yang tak henti memperjuangkan agama sebagai etika sosial sejak awal. Dari 19 orang dewan pendiri yayasan, tak satu pun dikenal sebagai ulama; bahkan hanya satu-dua lulusan IAIN. Selebihnya adalah pengusaha, dokter, ekonom, dan tokoh LSM. Toh, keabsahan mereka dalam membahas ihwal agama sama dengan ulama mana pun. Selain Nurcholish, yang kemudian menjadi pembicara tetap, KKA pertama menampilkan Emil Salim, ekonom yang tak pernah terdengar mengutip ayat Al-Quran.

Dalam pengajian Paramadina, Nurcholish tak jarang melontarkan tafsirnya yang tak lazim dan, karenanya, kerap memunculkan kontroversi di tengah khalayak yang terbiasa menerima ajaran agama sebagai harga mati. Sudah tentu kontroversi bukanlah tujuan Nurcholish, meski ia mengobarkannya sejak mengumandangkan sekularisasi Islam pada awal 1970-an; namun jika kontroversi harus timbul, ia harus dihadapi sewajarnya. Kemungkinan munculnya kontroversi tak perlu sampai menyumbat penyajian ide-ide segar yang vital bagi pencerdasan dan pendewasaan publik. Masyarakat yang tidak disuguhi ide-ide baru, betapapun dekonstruktifnya mereka terhadap paham-paham lama, hanya akan menuju liang lahat budaya.
Dalam hal ini, Nurcholish kerap mengutip gurunya, Fazlur Rahman: jika orang hanya ingin aman, jangan berkata apa-apa, jangan berbuat apa-apa, jangan jadi apa-apa (say nothing, do nothing, be nothing).
Tapi segala sesuatu seperti ditakdirkan untuk tergantung musim. "Musim Paramadina" pun berlalu, sedemikian perlahan sampai tak disadari oleh pengelolanya. Produk unggulannya makin kurang diminati. Potongan harga tiket masuk tak bisa membendung keengganan customer. KKA memang masih diadakan di hotel mewah, tapi ruang diskusinya yang makin kecil tak dipenuhi oleh sasaran Paramadina. Apa yang salah? Apakah tak ada lagi menu baru KKA, selain mengulang-ulang sajian lama disertai aneka ilustrasi yang kaya tapi tak selalu relevan?Apakah jamaah tak lagi merasa perlu menghadiri KKA dan cukup membaca belasan kumpulan karya Nurcholish yang dicetak berkali-kali? Mungkinkah Paramadina makin canggung dalam berperan sebagai religious knowledge-based industry, meski sejak awal ia bergerak ke sana dengan menjual brand Cak Nur? Adakah ia tumpul membaca denyut pasar, tak peka terhadap tumbuhnya para saingan yang makin beragam, yang kian populer berkat proyeksi televisi?

Mungkin ini yang terpenting: mereka menyajikan sebuah manual religius yang sederhana dan mudah dicerna, yang memastikan bukan hanya kesejahteraan hidup di dunia ini, melainkan juga kebahagiaan kekal di akhirat nanti. Dunia di luar sana, sebuah dunia yang dianalisis dengan mahir dan hendak dijawab Paramadina dengan cara menghadapinya tatap-muka, semakin ruwet, membingungkan, mencemaskan, dan serba tak pasti.
Jamaah tak berminat menambah keruwetan dan kebingungan. Mereka ingin kepastian dan kegamblangan seperti yang ditawarkan Ustad A dan Aa' B.Ketika Paramadina diidentifikasikan oleh semakin banyak orang, kelas utama yang dibidiknya, yang terbiasa memuja sebentuk eksklusivitas dalam banyak hal lain (barang-barang konsumsi, kendaraan, dan club membership) merasa eksklusivitas itu harus dipulihkan. Cara yang mereka pilih adalah membentuk kelompok-kelompok lebih kecil, yang para anggotanya saling mengenal dan setara dalam semua segi, lalu meminta seorang guru yang khusus melayani mereka; banyak di antara guru tersebut yang merupakan perluasan dari "guru ngaji keluarga" salah satu anggota.

Didampingi seorang ustad yang lebih personal, selalu terjangkau, fleksibel, konformis, dan senantiasa sabar melayani pertanyaan-pertanyaan seelementer apa pun --yang tak mungkin diungkapkan di sebuah forum besar penuh orang pintar-- mereka mendapatkan segalanya: kehangatan persaudaraan kelompok, jawaban gamblang dan menenteramkan. Juga keleluasaan untuk membahas banyak soal penting lain setelah "ustad kita" pulang: restoran baru yang menyajikan makanan khas sebuah negeri, kehalusan bahan tas Hermes model mutakhir, persiapan pesta jarig anak seorang anggota, rincian rencana umrah bareng berikutnya.
Sementara itu, upaya lama Paramadina berupa diversifikasi produk (di luar ekspansi dengan mendirikan universitas) makin ditingkatkan berupa pengajian-pengajian lebih kecil dengan tema-tema yang lebih spesifik. Pembacaan pasar, dan aspirasi sisa-sisa jamaah yang merindukan "kejayaan Paramadina", meminta pembentukan pengajian dengan menitikberatkan bahasan pada aspek-aspek esoteris agama. Tasawuf hanya salah satu saja. Bersama unsur-unsur New Age yang trendy, sufisme disajikan dalam bingkai perenialisme. Ajaran-ajaran fundamental semua agama yang diyakini saling serasi, dengan Islam tetap sebagai periskop, ditawarkan dalam paket-paket kecil berupa pertemuan kelas sekian kali.

Paramadina bahkan melayani semacam in house training atau "jemput bola" dengan menghadirkan penceramah ke kantor swasta ataupun klub-klub eksklusif. Tapi, seiring munculnya kritik tentang terlalu beratnya titik-tekan kegiatan mutakhir Paramadina pada aspek esoteris ini, kelangkaan minat peserta mengakhiri diversifikasi.

Di belakang semua kegagalan itu, mungkin ada faktor penting yang tak disadari: kemodernan pendekatan akademis dan tatanan organisatoris Paramadina tak terimbangi oleh kesiapan manajerial dan mentalitas servis sebuah bisnis pelayanan dari para pelaksana lapangan, kalau bukan para petinggi yayasannya pula. Kesenjangan latar belakang sosial dan idiom budaya antara konsumen dan produsen terlalu besar, yang tampaknya bersumber pada ironisme berupa pola rekrutmen pegawai yang kian jauh dari semangat profesionalisme dan prinsip meritokrasi.Apakah Paramadina akan mengalami nasib serupa lembaga-lembaga swasta di Indonesia --kepergian pendiri dan sang simbol memudarkan institusi warisannya untuk akhirnya hanya dicatat oleh segelintir sejarawan spesialis? Apakah universitasnya, satu-satunya warisan yang tersisa, memahami ide dasar pembentukannya dan bertekad memperkaya landasan yang diletakkan Nurcholish Madjid itu dengan mengelaborasinya ke arah yang logis, bukan justru menjauhinya?

Isyarat lupa jelas terlihat. Tanggal 28 Oktober berlalu tanpa peringatan apa pun. Para pengikut, pengagum, bekas jamaah, mereka yang diharap menjadi penerus, bahkan para pendiri pun rupanya lupa pada malam resital piano yang memerangahkan banyak orang itu. Tapi, alhamdulillah, akhirnya ada saja yang ingat dan mengajak mereka yang lupa untuk merayakan milad bulan ini atau bulan depan.

Kepergian Nurcholish Madjid adalah kehilangan besar yang tak perlu diratapi, karena itu bukan berarti tamatnya Paramadina. Barisan Nurcholish muda tersedia cukup panjang. Lahan luas Indonesia menanti mereka --para pemain baru yang mengusung ciri utama Paramadina sebagai proyek pencerahan Islam. Yayasannya masih berdiri dan mengelola sebuah universitas yang kini dikerumuni beribu-ribu mahasiswa.Tergantung merekalah mau memaknai sebagai apa tonggak usia 20 tahun Paramadina: sebagai tiang bendera baru atau sebagai nisan.

Hamid Basyaib Direktur Program Freedom Institute dan Koordinator Jaringan Islam Liberal[Kolom, Gatra Nomor 3 Beredar Kamis, 30 November 2006]

No comments: