Saturday, December 23, 2006

Natal, Damai, dan Kelaparan

http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0612/23/utama/3191798.htm
Sabtu, 23 Desember 2006

Mgr Sutrisnaatmaka MSF

Ketika Yusuf bersama Maria mengetuk pintu penginapan, pemilik menjawab, "Tidak ada tempat". Yang diharapkan dari penginapan, tentu bukan hanya tempat, tetapi juga makanan.

Penolakan itu membuat Maria yang sudah saatnya melahirkan harus mencari tempat lain seadanya. Maka, bayi Yesus dilahirkan di palungan dan dibungkus kain lampin. Itulah kisah Natal yang setiap kali mengingatkan kita pada penderitaan manusia. Tak ada penginapan berarti tak tersedia papan, pangan, dan kebutuhan hidup lainnya.

Kelaparan kronis

Situasi di Indonesia kini mencerminkan keprihatinan sekitar Natal dan menyisakan pertanyaan, adakah tempat untuk yang lapar? Kita bisa menyimak kisah "Petani yang Menyerah pada Harga Beras" (Kompas, 19/12). Petani di Ogan Ilir tak lagi bisa memenuhi keperluan makan sampai panen berikut. Kekeringan di daerah itu menyebabkan hasil panen tak lagi cukup.

Situasi petani sungguh memprihatinkan karena belum sejahtera. Kekeringan maupun banjir bisa menjadi penyebabnya. Banyak petani kurang mampu membeli beras karena harganya melonjak. Rupanya masalah kelaparan, kekurangan pangan, dan gizi buruk merupakan ulangan situasi kronis dari tahun ke tahun. Kelaparan itu muncul di Yahukimo, Papua, tahun silam, di Nusa Tenggara Timur (NTT), dan sedang mengancam tiga kecamatan di Flores bila sampai akhir Desember belum hujan. Tentu masih banyak tempat lain yang juga mengalami kelaparan karena berada di pengungsian. Korban lumpur Sidoarjo, pengungsi gempa di Mandailing Natal, dan korban bencana sebelumnya merupakan penderita kelaparan yang belum terselesaikan.

Tak mengherankan jika hal seperti itu merupakan berita berkesinambungan dari hari ke hari. Meski banyak usaha telah dilakukan guna mengatasi kurang pangan dan gizi buruk, hasilnya masih jauh dari harapan.

Kerinduan akan kedamaian

Kesyahduan lagu-lagu Natal yang merindukan kedamaian menggema sepanjang bulan Desember. Pesan Natal Bersama Persatuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) dan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) menyentuh tema: "Membangun Budaya Damai". Cukupkah kedamaian saja? Memang kedamaian dan keamanan merupakan situasi yang memungkinkan orang dengan tenang bekerja dan mencukupi kebutuhan sehari-hari. Kata Ibrani, syalom, merangkum dua dimensi kehidupan, yaitu menciptakan damai yang dilanjutkan mengusahakan kesejahteraan dalam kasih karunia Tuhan.

Apa artinya damai, tanpa konflik dan perang, jika perut lapar, keperluan hidup tak tercukupi, dan manusia hidup di bawah garis kemiskinan absolut? Martabat dan masa depan manusia dipertaruhkan. Peristiwa Natal mengamanatkan "damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepada-Nya" (Lukas 2:14). Damai sejahtera inilah yang memunculkan kesukaan besar bagi seluruh bangsa.

Damai sejahtera tentu perlu diperjuangkan bersama agar serentak keduanya bisa dinikmati. Keduanya merupakan prasyarat untuk hidup layak dan mengembangkan kemanusiaan menurut martabatnya.

Berbagi secara adil

Sementara banyak rakyat menderita kelaparan, gizi buruk, dan berbagai penderitaan karena kemiskinan, ada segelintir orang yang mendapat keuntungan dari tunjangan uang rakyat. Para wakil rakyat (DPR/DPRD) mendapat tambahan tunjangan Rp 90,8 juta (Banten), Rp 152,1 juta (Semarang), bahkan untuk Ketua DPRD mencapai Rp 453,6 juta. Itu belum termasuk gaji pokok dan tunjangan lain. Meski belum diputuskan apakah akan diterima semua (Kompas, 19/12), tambahan tunjangan itu sungguh menggerogoti uang rakyat. Semoga asas kepatutan masih diingat demi kemiskinan dan kelaparan rakyat.

Ada juga titik terang: pemerintah telah mengalokasikan anggaran kemiskinan Rp 51 triliun. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Hari Nusantara Ke-7 di Padang, mengingatkan perlunya keseriusan aparat pemerintah mengurangi kemiskinan dan pengangguran. Tujuan akhirnya tentu kesejahteraan. Selain itu, juga terus diusahakan adanya operasi pasar agar harga beras bisa dibeli rakyat miskin. Usaha ini sudah sekian kali dicoba dan rupanya kemiskinan serta kelaparan belum juga menjauh dari rakyat kecil.

Selain pemerintah, kiranya masyarakat, utamanya yang berkecukupan, perlu kian peduli pada kesejahteraan sesama.

Usaha yang lebih komprehensif, strategis, dan berkesinambungan perlu dipikirkan secara mendalam guna membantu mereka. Dalam Nota Pastoral (Bahan Pembelajaran) KWI 2006 dicetuskan tema: "Habitus Baru: Ekonomi yang berkeadilan, Keadilan bagi semua: Pendekatan Sosio-ekonomi". Di dalamnya dikupas perlunya melihat situasi kemiskinan yang menyebabkan kelaparan dan menanggulanginya dalam terang iman.

Natal sebagai perwujudan nyata kasih dan solidaritas Allah kepada manusia guna mengatasi kelemahannya, selayaknya mendorong kita untuk membarui komitmen menegakkan prinsip perekonomian yang adil, menyejahterakan semua orang.

Pemberdayaan ekonomi kaum miskin perlu mendapat perhatian lebih besar. Usaha itu juga harus didukung tatakelola ekonomi yang memihak kaum miskin. Berbagi untuk mengatasi kelaparan dan kemiskinan merupakan wujud nyata pelaksanaan warta Natal kita.

Mgr AM Sutrisnaatmaka Uskup Palangkaraya

No comments: