Jumat, 22 Desember 2006
M Dawam Rahardjo
Ketika untuk pertama kali Nurcholish Madjid melontarkan gagasan penyegaran pemikiran Islam, yang oleh lawannya disebut faham pembaruan Islam, pandangan Nurcholish tersebut ternyata banyak disalahpahami.
Bahkan, teman-teman dekatnya sendiri, seperti Buya Ismail Hasan Metareum, Dr Sulastomo, Endang Saefuddin Ansori, dan M Amien Rais, sangat menentangnya.
Amien Rais yang waktu itu sudah menjadi pemimpin dan anggota Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah agaknya merasa tersinggung mendengar perkataan Nurcholish yang mengatakan bahwa organisasi pembaru Muhammadiyah sekarang sudah menjadi organisasi yang bukan pembaru.
Sebaliknya, Nahdlatul Ulama (NU) yang disebut tradisional justru mulai bangkit sebagai pembaru walaupun masih setengah hati. Yang lebih marah adalah kalangan Masyumi, karena merasa ”digunting dalam lipatan” ketika Nurcholish menyerukan penghentian wacana publik negara Islam. Sebaliknya, Nurcholish masih menganjurkan agar organisasi-organisasi Islam melakukan sosialisasi wacana mengenai keadilan sosial sebagai perwujudan dari Pancasila.
Sekularisme
Yang lebih marah lagi adalah Prof Dr Muhammad Rasyidi yang secara serius menulis dua buku yang berisi penolakan mentah-mentah gagasan Nurcholish. Penolakannya itu sangat mendasar karena pimpinan Muhammadiyah tersebut menilai bahwa sekularisme akan melenyapkan peranan agama sebagaimana yang telah terjadi di negara-negara lain.
Bagi Rasyidi, Nurcholish Madjid telah menjelaskan kembali bahwa yang dimaksud dengan sekularisme adalah sekularisasi sebagaimana yang dikemukakan oleh teolog Kristen, Harvey Cox. Namun dengan tegas Nurcholish menolak sekularisme dengan faham Ketuhanan Yang Maha Esa sebagaimana tercantum dalam Pancasila. Meskipun demikian, Prof Rasyidi masih juga menolak konsep sekularisasi, karena menurut pendapatnya pada ujung-ujungnya sekularisasi akan menghasilkan sekularisme.
Rupanya reaksi Prof Rasyidi ini sangat kuat disuarakan sehingga para pendukung pembaruan terpaksa melakukan tiarap. Kendati demikian, mereka tetap mengharapkan klarifikasi dari Nurcholish Madjid, terlebih karena pandangan Rasyidi itu telah mengacaukan persepsi masyarakat luas, khususnya gerakan Islam. Tokoh-tokohnya pun ikut-ikutan mengkritik Nurcholish Madjid, seperti Hartono Ahmad Zais, Adian Husaini, dan M Husein Umar. Mereka bahkan mewaspadai pengikut-pengikut Cak Nur.
Bahkan, tokoh-tokoh medioker ikut mentransformasi kritik menjadi fitnah yang mengacaukan masyarakat. Misalnya saja Hartono Ahmad Zais melaporkan bahwa Nurcholish Madjid telah mendefinisikan Tuhan secara baru, dengan mengatakan bahwa Nurcholish telah menyamakan Allah dengan Dewa Laut Bangsa Arab.
Setelah itu, setiap gagasan baru selalu ditolak dengan argumen yang tidak rasional. Itu sebabnya para pendukung faham pembaruan sangat mengharapkan jawaban Nurcholish Madjid terhadap semua kritik dan penolakan-penolakan itu, atau kesalahan yang timbul. Kelompok pembaru, terutama, sangat mengharapkan jawaban Nurcholish terhadap pandangan Rasyidi.
Kendati Nurcholish tetap menyiapkan jawaban itu, tetapi para pengikut Rasyidi dan Natsir, seperti Dr Anwar Haryono, berusaha mencegah niat Nurcholish tersebut. Bahkan, saran telah timbul dari Prof Naquib Al-Attas, guru besar Universitas Singapura dan Malaysia di bidang sosiologi dan kebudayaan Melayu, yang berpesan agar Nurcholish bersabar jangan sampai terjadi konflik.
Prof Al-Attas agaknya mendukung gagasan-gagasan Nurcholish Madjid, tetapi sangat bersimpati terhadap tokoh-tokoh Masyumi yang ia nilai sebagai pejuang-pejuang demokrasi di lingkungan Islam dan bangsa Melayu. Pesan ini penulis terima langsung dari Prof Al-Attas ketika bertemu dalam suatu seminar pembangunan di Colombo, Sri Lanka, tahun 1974.
Sekularisasi di Indonesia
Ketika Nurcholish ditunjuk sebagai Ketua Redaksi Majalah Mimbar Demokrasi yang dirintis dan dibangun oleh Adi Sasono, Sugeng Surjadi, dan Fahmi Idris, ia bertanggung jawab sebagai penulis kolom tetap.
Di situlah Nurcholish mulai mengembangkan gagasan-gagasannya sambil memberikan penjelasan terhadap kritik yang dilontarkan terhadapnya. Misalnya, ia menjelaskan bahwa sekularisasi di sini tidak sama dengan sekularisme—yang menurut pemahamnya adalah sebuah ideologi tertutup yang anti-Tuhan, sebagaimana yang dikelola oleh Prof Rasyidi dan Endang Saefuddin Ansori.
Menurut Nurcholish, sekularisasi itu berbeda. Sekularisasi bukan merupakan faham yang statis, tetapi suatu proses yang terus berlangsung. Dengan perkataan lain, sekularisasi adalah sekularisme yang terbatas. Esensinya adalah devaluasi sektor kehidupan dan demitologisasi.
Karena itu, sekularisasi menurut Nurcholish adalah diferensiasi dan nasionalisasi sehingga menimbulkan liberalisasi. Konsep ini disetujui oleh Dr Benyamin F Intan, seorang pendeta teolog yang mempelajari public religion di Boston College, Amerika Serikat.
Menurut hasil kajiannya, sekularisasi bisa mengambil tiga bentuk: pertama, privatisasi agama; kedua, decline of religion (kemerosotan agama); dan ketiga, diferensiasi. Ia dan kalangan Kristen pada umumnya menolak dua bentuk yang pertama dan mengartikan sekularisasi sekadar sebagai diferensiasi antara akal dan iman, antara yang private dan public, serta antara agama dan negara.
Tiga hal itu diperlukan sebagai syarat kebebasan sipil. Karena itu, jika kita ingin menegakkan hak asasi manusia dan kebebasan sipil sebagai landasan demokrasi, maka sekularisasi adalah suatu kebutuhan dan keharusan. Oleh sebab itu, masalah bagi generasi pasca-Nurcholish Madjid bukanlah sekularisme atau yang lain, melainkan memilih model sekularisasi yang cocok untuk masyarakat Indonesia dan sesuai dengan faham kebangsaan.
Dalam tulisan-tulisannya yang diterbitkan oleh majalah dan KKA (Klub Kajian Agama), Nurcholish terus berusaha melakukan reformulasi dan penyusunan faham keagamaan yang komprehensif, yang menyangkut empat bidang besar, yaitu keislaman, kemodernan, keindonesiaan, dan kerakyatan. Jadi, Nurcholish aktif dalam wacana publik yang sangat luas.
Ia tidak saja memakai pendekatan teologi yang memang merupakan ciri khasnya, tetapi juga sosiologi religi dan kebudayaan. Pada akhirnya, Nurcholish tidak sekadar menjadi tokoh pembaru pemikiran Islam, tetapi juga seorang guru bangsa. Hanya saja, pandangan-pandangannya itu tersebar dan tercecer dalam banyak logos. Hanya satu dua buku saja yang merupakan buku yang utuh.
Nurcholisisme
Melihat pemikiran Nurcholish yang tercecer di mana-mana, Budhy Munawar-Rachman, seorang intelektual muda generasi pasca-Nurcholish Madjid, memandang bahwa sikap masyarakat akan terfragmentasi secara tidak utuh yang menimbulkan kekaburan konsepsi pembaruan pemikiran Islam sehingga menimbulkan fitnah atau kekacauan.
Dalam peluang inilah, Budhy memberanikan diri mengambil prakarsa untuk melakukan suatu proyek, yang bagi banyak orang dianggap sangat ambisius, yaitu melakukan kodifikasi terhadap seluruh pemikiran Nurcholish Madjid. Akan tetapi, ini tidak hanya sekadar berfungsi sebagai kodifikasi, melainkan juga merupakan sistematisasi tentang Nurcholisisme.
Keempat, ensiklopedia ini tidak saja dari perspektif umum, tetapi juga kalangan umat Islam baik yang menentang maupun menyetujuinya. Kelima, dalam perspektif umat Islam, mungkin ini merupakan jawaban terhadap kesalahpahaman dan pemahaman yang salah mengenai Nurcholisisme.
Keenam, ensiklopedia ini bukan hanya mengutip kembali pandangan Nurcholish, tetapi lebih jauh merupakan interpretasi Budhy Munawar sebagai pemikir muda terhadap Nurcholisisme. Sudah tentu interpretasi ini mengandung subyektivitas, tetapi landasan ontologisnya adalah obyektivitas.
Tugas ini sama sekali tidak mungkin bagi para peneliti secara kolektif apalagi secara individual. Oleh karena itulah, dengan buku ini Budhy telah berhasil menyelesaikan suatu proyek yang monumental. Peranannya bagaikan filsuf Muslim Ibn Rusyd terhadap pemikiran Aristoteles.
M Dawam Rahardjo Pemerhati sosial keagamaan
No comments:
Post a Comment