Saturday, December 02, 2006

Memaknai Kembali Jihad

http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0612/02/Bentara/3134848.htm

Sabtu, 02 Desember 2006

MOHAMAD GUNTUR ROMLI

Jihad adalah perjuangan, bukan peperangan. Ia bisa berevolusi sesuai dengan konteksnya. Qitâl hanyalah salah satu corak dari model jihad yang beragam itu.

Pidato Paus Benediktus XVI beberapa waktu lalu yang mengatakan bahwa konsep jihad dalam Islam identik dengan pedang dan kekerasan ditanggapi dengan kemarahan yang tak wajar oleh umat Islam. Saya katakan tak wajar karena seolah-olah umat Islam memandang bahwa menyamakan jihad dengan peperangan merupakan sebuah kesalahan fatal dan tak dikenal dalam Islam. Padahal, kalau mau sedikit jujur, pemahaman tersebut berasal dari pandangan mayoritas umat Islam dari dulu hingga sekarang. Bahkan, bagi kalangan Islam radikal, makna jihad yang sebenar-benarnya hanyalah satu: peperangan. Demikianlah Osama bin Laden bersama kelompoknya Tandzim al Qaeda membumikan doktrin jihad. Pun bagi mereka yang menebarkan aksi-aksi teror di Indonesia, termasuk peristiwa terbaru: Muhammad Nuh "berjihad" di Restoran A&W Kramat Jati bulan kemarin.

Hizbut Tahrir Indonesia dalam buletin al-Islam edisi 280 (25/11/2005) mengutip pendapat tokoh pendirinya, Taqiyudin al-Nabhani, bahwa jihad adalah upaya mengerahkan segenap kekuatan dalam perang fi sabilillah (di jalan Allah). Demikian juga menurut kelompok Salafi-jihadi, jihad bermakna peperangan (al-qitâl) dan pembunuhan (al-ightiyâl). Kita bisa menyidik ideologi kelompok ini dalam karya-karya yang ditulis oleh para ideolog mereka di beberapa situs: abu-qatada.com, tawhed.ws, dan almaqdese.net.

Membaca buku-buku mereka membuat bulu kuduk saya berdiri. Misalnya, Tahrîdlu-l Mujâhidîn-al Abthâl ‘Alâ Ihyâ’i Sunnati-l Ightiyâl (Mengobarkan Semangat Para Pahlawan-Pejuang untuk Menghidupkan Tradisi Pembunuhan), karya seorang ideolog kelompok Tandzim al Qaeda bernama Abu Jandal al Azdi. Menurut pengakuannya sendiri, judul buku ini terinspirasi dari sepotong Ayat 65 Surat al-Anfâl yang berbunyi, "Ya ayyuha al-nabî harridli-l mu’minîn ’ala-l qitâl" (Hai Nabi, kobarkan semangat orang-orang mukmin untuk berperang).

Abu Jandal adalah nama samaran. Nama aslinya Ali Faris al Syuwail al Zahrani. Ia alumnus Fakultas Syariah Islamiyah, Universitas Islam Saudi Arabia. Dalam buku ini Abu Jandal membenarkan praktik-praktik pembunuhan terhadap musuh Islam: orang kafir, musyrik, dan murtad. Ia mengutip sepotong Ayat 5 dari Surat al-Tawbah, "waq’udû lahum kulla marshad" (dan tunggulah mereka pada tiap tempat pengintaian). Baginya ayat ini adalah dalil yang menghalalkan pembunuhan terhadap musuh Islam meskipun mereka belum disuguhkan dakwah dan peringatan. Untuk memperkuat pendapatnya, ia mengutip sejumlah pendapat para ahli tafsir klasik, seperti Al Qurthubi, Ibn Katsir, Ibn al ’Arabi, dan seorang tokoh panutan mujahidin Afganistan Abdullah Azzam.

Khazanah klasik Islam

Ketika membaca beberapa literatur Islam klasik dalam masalah jihad, kita menjumpai peperangan sebagai makna yang baku bagi jihad. Ulama tafsir, hadis, hingga fikih begitu kuat mengunci jihad dalam makna peperangan saja. Ahli tafsir menyamakan ayat-ayat jihad dengan ayat-ayat pedang dan perang. Para ulama hadis meriwayatkan hadis-hadis Nabi yang dominan memantulkan konteks peperangan. Selanjutnya ulama fikih menyudahi bahwa jihad dalam makna syariat Islam adalah peperangan melawan musuh Islam.

Seorang ulama hadis ternama, Ibnu Hajar Al-Asqalani (2000: 77) yang juga komentator (al-syârih) terhadap hadis-hadis yang dikumpulkan oleh al-Bukhari, memberikan definisi jihad sebagai badzl al-juhd fi qitâl al-kuffâr (mengerahkan kemampuan untuk memerangi orang-orang kafir). Demikian juga Muhammad bin Ismail al Kahlani, pengarang kitab Subul al-Salâm komentar atas kitab Bulûgh al-Marâm karya Ibnu Hajar al Asqalani (dua kitab ini sangat terkenal di dunia pesantren di Indonesia), memaknai jihad sebagai badzl al-juhd fi qitâl al-kuffâr aw al-bughât (mengerahkan kemampuan untuk memerangi orang kafir dan pemberontak).

Mayoritas ulama fikih juga sepakat dengan definisi itu. Fikih mazhab Hanafî memaknai jihad sebagai ajakan pada agama yang benar. Jika orang yang diajak enggan, mereka pun diperangi dengan harta dan jiwa. Definisi mazhab-mazhab lain kurang lebih seirama dengan definisi mazhab Syâfi’î: memerangi orang-orang kafir untuk memenangkan Islam.

Tidak hanya mayoritas ulama fikih klasik yang membakukan makna jihad pada peperangan, ulama fikih kontemporer juga berpendapat sama. Prof Wahbah al Zuhaylî dalam bukunya, al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu (1989: 413-414), mendefinisikan jihad sebagai mengerahkan kemampuan dan kekuatan untuk memerangi dan melawan orang-orang kafir dengan jiwa, harta, dan lisan.

Ayat-ayat jihad dan "qitâl"

Pertanyaannya kemudian, benarkah jihad identik dengan peperangan sebagaimana pendapat ulama-ulama di atas? Jika kita merujuk kembali pada ayat-ayat Al Quran, jawabannya jelas: tidak. Al Quran menggunakan dua istilah yang berbeda, tetapi maksudnya sering disamakan: jihâd dan qitâl. Jihâd berarti perjuangan dalam arti yang umum, sementara qitâl berarti peperangan. Jadi, bila Al Quran menggunakan âyât al-jihâd (ayat-ayat jihad), artinya adalah perjuangan dalam makna yang umum; sementara bila menggunakan âyât al-qitâl wa al-sayf (ayat-ayat perang dan pedang), artinya sudah khusus peperangan.

Perbedaan dua istilah yang digunakan oleh Al Quran berpulang pada dua sebab. Pertama, ayat-ayat jihad telah turun sejak periode Islam Mekkah ketika tidak pernah terjadi satu pun peperangan. Jihad dalam periode Islam Mekkah adalah jihad non-perang. Sangat mustahil bila jihad pada periode itu dimaknai sebagai peperangan. Jihad yang bukan qitâl ini bisa kita temukan di Surat al Furqan Ayat 52, al Nahl Ayat 110, Luqman Ayat 15, dan al Ankabut Ayat 69. Sementara ayat-ayat qitâl hanya turun pada periode Madinah yang penuh dengan gemuruh peperangan.

Kedua, lisensi peperangan menggunakan ayat-ayat qitâl secara jelas, bukan dengan ayat jihad. Surat al-Hajj Ayat 39 menyebutkan telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi. Demikian juga Surat al-Baqarah Ayat 190 yang berbunyi dan perangilah (qâtilû) orang-orang yang memerangimu (al-ladzîna yuqâtalûnakum). Nah, ketika ayat-ayat jihad kembali turun pada periode Madinah, tidak terelakkan muncul makna kontekstual jihad waktu itu, "peperangan". Dari sinilah sumber masalah muncul: menyamakan atau menafsirkan ayat jihad dengan ayat qitâl.

Bisa saja kita memaklumi apabila ada yang menafsirkan ayat-ayat jihad sebagai ayat peperangan karena penafsiran tentu saja didasarkan pada konteks. Lazimnya sebuah penafsiran tidak akan bisa bebas dari subyektivitas penafsir. Yang sama sekali tidak bisa dibenarkan adalah "mengunci" jihad dalam makna peperangan saja.

Oleh sebab itu, menurut Gamal al-Banna—adik bungsu pendiri Ikhwanul Muslimin: Hasan al-Banna—dalam bukunya al-Jihâd, jihad dan qitâl harus dibedakan secara jelas dan tegas. Jihad tidak identik dengan qitâl, meskipun qitâl pada zaman Nabi merupakan salah satu bentuk dari jihad. Baginya jihad adalah mabda’ (prinsip) yang abadi dalam arti dan bentuk yang umum dan seluas-luasnya, sedangkan perang hanyalah wasilah, yang tidak prinsipiil dan sangat situasional.

Hadis-hadis Nabi yang sejumlah besar mengisahkan jihad dalam bentuk peperangan saja tentu disebabkan problem konteks juga. Hadis-hadis Nabi yang sampai pada kita adalah kumpulan riwayat pada periode Madinah. Maka, dapat dipastikan, makna jihad identik dengan konteks itu, sebuah babak yang dipenuhi dengan kecamuk peperangan. Dalam beberapa literatur hadis Nabi, kita tidak akan pernah menemukan hadis-hadis jihad yang bersumber dari periode Mekkah. Hilangnya satu dari dua periode tersebut menyebabkan pemahaman terhadap doktrin jihad ini timpang. Tidak ada jihad nonperang sebagai karakter Islam Mekkah seperti yang ditujukkan oleh ayat-ayat Al Quran di atas.

Memang kita akan menjumpai hadis-hadis Nabi yang bisa merangsang dan memerintahkan peperangan. Seperti sebuah hadis riwayat Al-Bukhari nomor 2818, "Ketahuilah sesungguhnya surga (terletak) di bawah kilatan pedang." Demikian juga hadis-hadis lain yang acap kali dijadikan sebagai kekuatan ideologi kelompok Islam garis keras, seperti sebuah kitab yang ditulis oleh Ibn Baththah al-Hanbali, Sab’ûn Hadîtsan fi al-Jihâd (Tujuh Puluh Hadis tentang Jihad). Buku ini memuat keutamaan, tata cara, dan sejarah jihad dalam arti peperangan.

Di samping hadis-hadis jihad yang bernapaskan kekerasan seperti di atas, memang ada beberapa hadis Nabi yang berusaha memberikan bentuk jihad nonperang. Namun, jumlah hadis jenis ini bisa dihitung dengan jari. Hadis riwayat Ibn Majah: haji dan umrah adalah jihad yang tidak ada peperangan. Hadis lain riwayat al-Bukhari dan Muslim: berbakti kepada orangtua merupakan jihad. Hadis riwayat Abu Dawud, al-Tirmidzi, dan Ibn Majah: kritik yang benar terhadap pemimpin yang zalim termasuk jihad. Hadis riwayat al-Daylami dari Abu Dzar Al-Ghifari: sebaik-baiknya jihad adalah berjuang melawan hawa nafsu karena Allah. Namun, kumpulan hadis jenis ini seolah-olah tenggelam dalam timbunan hadis-hadis perang.

Kekurangan ulama klasik Islam, pada hemat saya, tidak meneliti secara saksama dan menyeluruh sejarah dan makna jihad. Mereka lebih menekankan konteks jihad di Madinah.

"Penguncian" Al Quran

Dari paparan di atas saya mau menegaskan bahwa arti jihad adalah perjuangan, bukan peperangan. Ia bisa mengalami evolusi sesuai dengan konteksnya. Qitâl hanyalah salah satu corak dari model jihad yang beragam. Maka, penguncian jihad pada makna peperangan merupakan modus penggerusan terhadap keragaman model jihad yang mesti dilawan.

Ayat-ayat qitâl, sebagaimana menurut Gamal Al-Banna, merupakan ayat-ayat situasional. Perang adalah keterpaksaan untuk mempertahankan diri, bukan keberingasan melakukan penyerangan. Perang pada era Rasulullah dilegalkan untuk mempertahankan prinsip kebebasan beragama yang dirongrong oleh kekuatan bersenjata. Bukan seperti dalih para kawanan teroris saat ini yang menggunakan jihad untuk memberangus prinsip kebebasan beragama ataupun usaha untuk menebarkan bibit-bibit kebencian.

Sudah seharusnya kita melakukan pembebasan melawan modus penguncian yang terjadi pada sebagian besar doktrin agama Islam, khususnya doktrin jihad ini. Lebih-lebih lagi, doktrin ini sering dijadikan sebagai kekuatan dan penghalalan ideologi terorisme. Mengunci jihad hanya pada makna peperangan atau melayangkan sederet cap kafir, musyrik, murtad, dan sesat secara membabi-buta pada golongan non-Muslim atau pada musuh politik merupakan penafsiran yang sewenang-wenang atas nama Tuhan dan Al Quran.

MOHAMAD GUNTUR ROMLI Aktivis Jaringan Islam Liberal


No comments: