http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0611/04/humaniora/3069201.htm
Sabtu, 04 November 2006
Imam Cahyono
Time is money. Bagi manusia modern, waktu adalah uang. Tak sedetik pun rela dibiarkan tercecer sia-sia tanpa usaha untuk mendapatnya. Selama masih bernapas, manusia berlomba-lomba memburu uang dan menimbunnya sebanyak mungkin.
Uang pun menjadi segala-galanya. Di zaman kemenangan kapitalisme, hidup seolah hanya untuk uang. Roda kehidupan berkiblat pada uang. Manusia dengan takzim berkhidmat demi uang, dari usaha yang paling jujur sampai yang paling memalukan. Tanpa uang, eksistensi manusia seakan sirna. Kuasa uang menggantikan kebesaran Tuhan?
Opium modernitas
Apa mau dikata, uang memang terpatri dalam kalbu umat manusia. Di zaman ini, mustahil ada seseorang—dari suku, ras, agama, atau golongan mana pun—yang tidak tahu uang. Anak-anak sampai kakek nenek pasti mengenal uang. Orang yang buta huruf atau bisu sekalipun mengerti nilai uang. Pengemis sampai miliarder pasti sibuk mencari uang. Di mana ada aroma uang, manusia pasti dengan cepat mengendusnya.
Uang sejatinya adalah hal yang relatif baru. Dia adalah fenomena modern yang muncul sejak manusia memasuki periode sejarah, sejak manusia mulai mengenal tulisan. Pada zaman primitif, manusia tidak mengenal uang. Pada masa berburu dan meramu (food gathering), manusia survive dengan mengambil sesuatu dari alam. Ketika alam tak lagi mencukupi, manusia memulai aktivitas bertukar barang (barter).
Mula-mula, uang hanyalah sekadar alat tukar untuk mendapatkan barang kebutuhan. Biasanya, uang terbuat dari emas atau bahan yang nilainya sepadan dengan nilai nominalnya. Seiring dengan perkembangan zaman, uang pun mengalami evolusi. Tidak hanya uang kartal dan logam, teknologi yang canggih telah menghasilkan uang plastik seperti ATM dan kartu kredit. Nilai uang saat ini hanyalah "nilai kepercayaan" karena bahan pembuat uang, seperti surat-surat berharga, sangat jauh dari nilai tukar sesungguhnya.
Awalnya, uang adalah sekadar alat, sebuah instrumen yang diciptakan untuk membantu dan memudahkan aktivitas manusia. Belakangan, peran uang kian dominan dalam kehidupan, bahkan memainkan peran sentral dalam masyarakat modern. Alat tukar itu merupakan basis perkembangan dari pasar, ekonomi modern, dan masyarakat (kapitalis) modern. Goethe—penyair Jerman (1749-1832)—mengatakan, "Uang adalah dewa dunia." Dulu, dunia yang membuat uang beredar. Tapi sekarang, roda dunia—roda kehidupan manusia—nyaris tak berputar tanpa uang. Perputaran roda ekonomi dengan segala ragam aspek yang semula adalah sekadar alat (simply the purest form of the tool), kemudian menjadi tujuan (become an end in itself). Alih-alih menjadi solusi, uang justru menciptakan beraneka ragam masalah. Uang menjadi sumber permasalahan kehidupan mutakhir. Uang pun membuat manusia lupa diri: jadi opium peradaban modern.
Moralitas moneter
Sosiolog Jerman Georg Simmel dalam karya klasiknya, The Philosophy of Money (1907/1978), melihat uang sebagai sebuah komponen yang dapat membantu kita untuk memahami totalitas kehidupan.
Berbeda dengan Marx yang melihat problem ekonomi sebagai produk kapitalisme semata, Simmel menitikberatkan problem ekonomi sebagai manifestasi dari problem budaya secara umum.
Menurut Simmel, uang tidak sekadar alat tukar sebab ia memengaruhi dan berimplikasi pada kehidupan manusia yang secara luas, mulai dari individu (the inner world actor) hingga budaya secara keseluruhan. Uang merupakan fenomena yang terkait dengan berbagai komponen kehidupan termasuk kebebasan individu, gaya hidup, budaya, hingga kepribadian.
Tatkala uang menjadi tujuan, dampak negatifnya terhadap individu pun tak terelakkan. Seperti meningkatnya cynicism, yang menjadikan aspek kehidupan sosial seolah dapat dijual dan direduksi menjadi uang.
Ekonomi uang mereduksi semua nilai-nilai kemanusiaan menjadi sebatas persoalan moneter belaka (the tendency to reduce the value of man to a monetary expression). Dengan uang seseorang dapat membeli apa saja, dari kecantikan sampai kebenaran. Semuanya bergantung pada harga. Manusia pun tega melacur, menjual harga diri, demi ciptaan ajaib manusia itu.
Uang berdampak terhadap gaya hidup masyarakat, mereduksi hubungan sosial menjadi karakter yang dipadati kalkulasi bukan emosi, kuantitatif bukan kualitatif. Ekonomi uang membangun kerangka dan sistem berpikir yang matematis. Relasi sosial dalam masyarakat menjadi impersonal dan individual. Individu kian terisolasi dan terasing.
Di ranah politik, kekuatan uanglah yang menjadi panglima yang mengatur segalanya. Muncul semboyan, "Politik tanpa uang sama dengan sayur tanpa garam". Hambar dan cemplang! "Tak ada money politics, tak ada gizi"; "Suara rakyat tak lagi suara Tuhan, tetapi suara rakyat, suara uang". Yang berkuasa adalah demokrasi kapitalistik yang diwakili dengan uang dan jabatan. Politik tak lagi tunduk kepada etika dan moralitas demokrasi, tapi kepada uang. Politik menjadi jalan untuk meraih posisi atau kekuasaan demi mengejar kekayaan, reputasi, dan gengsi.
Di ranah sosial, kehidupan keluarga, pertemanan, dan bermasyarakat juga ditentukan uang. Uang menjadi sumber eksistensi dan legitimasi. Mereka yang tidak memiliki uang akan tergusur dari pergaulan sosial. Yang punya uang menjadi terhormat, yang tidak punya uang bakal dilaknat. Muncul anekdot, "UUD ’45, ujung-ujungnya duit semua. "No money, no honey. No money, no way"; "Ada uang abang disayang, tak ada uang abang ditendang"; "Cowok matre, cewek matre, gak punya duit ke laut aje!"
Somerset Maugham pernah berkata, "Uang adalah indra keenam yang membuat Anda mampu menikmati indra yang lima lagi." Tanpa itu, seseorang bisa berlaku seperti binatang.
Pada era kapitalisasi kehidupan dan moneterisasi moral, uang dianggap sebagai akar setiap problema, sekaligus solusinya. Karena uang, persoalan muncul. Dengan uang pula, semua masalah dapat diselesaikan dan dituntaskan.
Menariknya, uang, sebuah kreasi budaya yang diciptakan manusia, ternyata juga berpotensi merusak manusia sendiri. Dulu manusia menciptakan uang, tapi sekarang manusia justru diperbudak uang tanpa kuasa untuk memprotes atau melawannya.
Manusia dipenjara dalam sangkar besi lingkaran setan bernama uang, tanpa mampu melepas jeratnya. Sebuah tragik budaya, kata Simmel. Tapi tetap saja; Anda butuh kan?
Imam Cahyono
Peneliti Tinggal di Jakarta
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment