Saturday, November 04, 2006

Teori Involusi dari Sosok Geertz

 http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0611/04/humaniora/3070003.htm

Sabtu, 04 November 2006

Memberi Inspirasi Ilmuwan Lintas Bidang

Jakarta, Kompas - Almarhum ilmuwan Clifford Geertz telah menerbitkan dua kategorisasi akademik. Pertama, teori involusinya yang dianggap provokatif dan menimbulkan rangsangan pemikiran baru. Kedua, penghargaan baginya sebagai "antropolog besar", karena karya dan teorinya cerminan lintas pengetahuan yang mendasari pemahaman masalah kemanusiaan.

Demikian pokok pemikiran yang dikemukakan sosiolog Dr Ignas Kleden di Jakarta dan antropolog Dr PM Laksono dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Jumat (3/11). Keduanya dimintai tanggapan menyangkut pemikiran Clifford Geertz (1926-2006), indonesianis asal Amerika Serikat yang meninggal dunia di kediamannya di Pennsylvania, setelah menjalani operasi jantung di Rumah Sakit Universitas Pennsylvania, Amerika Serikat, Selasa (31/10).

Hingga saat meninggalnya, Geertz masih bekerja pada Institute for Advanced Study, sejak 1970, membidangi masalah umum dalam diversitas etnik dan implikasinya pada dunia modern (Kompas, 2 November 2006).

Ignas menjelaskan, Geertz adalah antropolog yang berani masuk ke berbagai sektor dan berani mengemukakan pendapatnya secara elegan sekaligus provokatif. Studi dalam berbagai sektor itu dilakukan Geertz dengan pendekatan yang sama, teori involusi. Disertasi doktor Ignas Kleden (1995) sebagai sosiolog, menggugat studi-studi Geertz tentang Indonesia secara keseluruhan.

Geertz merupakan generasi pertama peneliti asal Amerika Serikat yang memulai studi tentang Indonesia. "Geertz yang mula-mula mengambil alih studi tentang Indonesia dari Belanda ke Amerika," kata Ignas.

Terobosan Geertz

Namun, menurut Ignas, Geertz berbeda dengan peneliti Amerika Serikat yang lain. Geertz melakukan penelitian terhadap banyak sektor di Indonesia, mulai dari pertanian, perdagangan, perkotaan, Islam, politik klasik, hingga politik aliran. "Studi dia dalam berbagai sektor itu selalu mengundang perdebatan yang hangat," ujar Ignas.

Geertz, dalam pandangan Ignas, sama dengan Benedict Anderson yang kiprahnya dapat dilihat dalam dua garis. Pertama, studi-studi yang mereka lakukan tentang Indonesia. Dan kedua, terobosan yang mereka lakukan dalam displin ilmunya.

Sebagai buktinya, kata Ignas, dalam buku Works and Lives: The Anthropologist as Author (1990), Geertz melakukan pembaruan besar dengan mengatakan, setiap studi antropologi yang berhasil harus berhasil pula sebagai sebuah karya literer.

Dalam buku yang lain, After the Fact: Two Countries, Four Decades, One Anthropologist (1995), Geertz menunjukkan bahwa orang bukan hanya menulis etnografi tentang laporan penelitian, melainkan juga tentang antropologi itu sendiri. "Jadi, semacam etnografi tentang etnografi," katanya.

Ignas menjelaskan, dalam dua buku itu, Geertz bukan lagi mempersoalkan Indonesia, tetapi mengenai teori dan metode antropologi. Itu menunjukkan Geertz sebagai seorang indonesianis sekaligus ilmuwan yang melakukan terobosan baru dalam disiplin ilmu antropologi.

Secara pribadi, Ignas hanya tiga kali bertemu dengan Geertz. Dalam tiga kali perjumpaan itu, Ignas menangkap kesan terhadap Geertz sebagai peneliti sejati. "Saat bertemu, ia mendengar dan memperlakukan kami sebagai responden," ujar Ignas.

Antropolog besar

Adapun antropolog Dr PM Laksono melihat pemikiran Clifford Geertz pada akhirnya lebih memberi peluang munculnya ide atau gagasan baru, baik yang pro maupun kontra. Hal itu memungkinkan karena karya-karya Geertz hampir tidak mungkin diletakkan dalam satu titik fakta keilmuan. Misalnya, menyebut Geertz hanyalah antropolog atau etnograf.

"Karya-karya Geertz lebih dari itu. Tidak statis dan sangat dinamis. Dalam arti, sulit dibidik atau diletakkan dalam satu titik fakta. Misalnya, karya-karyanya tentang Bali, Mojokerto, dan Maroko, saya kira itu lebih dari sekadar pemaparan antropologi, melainkan dasar utama ketika seseorang ingin memahami pemikiran Geertz," kata Laksono.

"Karya itu merupakan dasar utama kita untuk memahami masalah sosial dan kemanusiaan pada umumnya. Dia memang antropolog besar dalam arti sesungguhnya," lanjut Laksono yang juga aktif di Pusat Studi Asia-Pasifik Universitas Gadjah Mada.

Dengan dasar pemikiran itu, Laksono menggarisbawahi "merambahnya" pemikiran Geertz ke berbagai disiplin ilmu lain. Dalam arti, karya Geertz tidak hanya dibaca para antropolog, tetapi juga diperlukan dalam berbagai disiplin ilmu sosial lain, bahkan hingga filsafat dan agama. Dalam pandangannya, karya ini begitu banyak berpengaruh di bidang sosial, ekonomi, maupun filsafat.

Involusi

Begitu juga buku (1963). Dikatakan, buku ini dibaca oleh hampir semua orang yang ingin memahami tentang pertanian di Indonesia. "Ada yang bilang buku ini sangat jelek karena dasar argumentasinya sukar dipertahankan. Sebaliknya, ada yang mengatakan buku ini sangat baik karena justru membuka peluang bagi pemikiran baru, baik yang pro maupun kontra. Dengan kata lain, karyanya justru merangsang adanya pemikiran baru," lanjut Laksono.

Ia memberi contoh munculnya banyak kritik terhadap teori involusi pertanian Geertz tersebut. "Ada yang bilang konsep involusinya tidak terlalu original, tetapi kenyataannya bisa menjelaskan munculnya gejala pemerataan kemiskinan atau di Jawa akibat terjadinya kultur stelsel," jelasnya.

Bagi Indonesia, Geertz sebenarnya telah memperkenalkan seluk-beluk dan pemahaman tentang Indonesia kepada dunia jauh sebelum bangsa Indonesia sendiri sadar akan hal itu. "Kita memang terlambat menyadari. Karena karya baru diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia 1991," katanya.

Geertz, kata Laksono, telah menggunakan Indonesia untuk membuat masyarakat dunia paham tentang ilmu sosial dan kemanusiaan pada umumnya.(LAM/RIE)

No comments: