Senin, 06 November 2006
Tata Mustasya
Seandainya Karl Rove—ahli strategi kampanye dari Partai Republik di Amerika Serikat—bekerja untuk partai politik oposisi di Indonesia, pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla pasti bakal menjadi bulan-bulanan.
Rove terkenal dengan strategi kampanyenya yang tidak lazim. Alih-alih menyerang kelemahan lawan politik, dia justru "menghantam" kelebihan mereka. Salah satu contoh saat John Kerry dari Partai Demokrat menjadi pesaing George W Bush dalam pemilihan Presiden AS tahun 2004.
Partai Demokrat mencalonkan Kerry karena citranya sebagai patriot Perang Vietnam dengan banyak tanda jasa. Rove, dengan brilian, menyerang kekuatan Kerry dengan tiga antitesis. Di antaranya, Kerry telah melebih-lebihkan pengalaman tempurnya yang hanya empat bulan. Lalu, setelah kembali ke AS, Kerry bersama beberapa veteran memfitnah keberadaan tentara AS di Vietnam sebagai kriminal. Hasilnya, Kerry kalah dari Bush.
Di balik popularitas
Pemerintahan SBY-JK memiliki kelebihan dengan besarnya kepercayaan masyarakat terhadap mereka. Lembaga Survei Indonesia (LSI) dalam publikasi baru-baru ini menyatakan 67 persen masyarakat puas terhadap kinerja SBY-JK.
Ini mengejutkan terkait kegagalan pemerintah dalam banyak hal, misalnya dalam mengatasi kemiskinan. Untuk pertama kali sejak 1999, kemiskinan meningkat dari 15,75 persen (2005) menjadi 17,95 persen (2006). SBY-JK merupakan pemerintahan pertama pascareformasi politik yang gagal mengurangi tingkat kemiskinan antartahun.
Seandainya para politisi kita mengadopsi Karl Rove, kelebihan pemerintahan SBY-JK dalam popularitas menunjukkan kelemahan terbesar mereka. Pertama, dengan dukungan publik yang kuat dan konsisten, SBY-JK tetap gagal memenuhi target dan janji kampanyenya. Orang secerdik Karl Rove akan berkata: buat apa memilih lagi pemimpin seperti itu?
Kedua dan terpenting, popularitas SBY-JK terjaga di tengah kinerja yang buruk. Ini merupakan upah "kerelaan" mereka disandera berbagai kelompok kepentingan. Syaratnya, SBY-JK memberi insentif ekonomi-politik buat mereka.
Kelompok kepentingan pertama adalah parpol. Berbagai parpol rela menjaga popularitas SBY-JK asal diberi jatah menteri dalam kabinet dan dibagi kue ekonomi. Kerancuan sistem pemerintahan presidensial di Indonesia, seperti disampaikan J Kristiadi (Kompas, 17/10/2006), merupakan penyebab terjadinya hal ini.
Kelompok kepentingan kedua, yang kian dominan, adalah pebisnis besar. Banyak pebisnis besar telah menanamkan budi pada masa kampanye untuk menyandera SBY-JK. Selain itu, terjadi kecenderungan masuknya para pebisnis nonjurnalis ke dalam industri media, baik cetak maupun elektronik. Dalam praktik demokrasi, media massa merupakan salah satu alat ampuh untuk menyandera pemerintah. Sejauh ini, SBY-JK "dijaga" popularitasnya oleh media massa.
Kelompok ketiga adalah kepentingan negara lain di Indonesia, terutama terkait hak pengelolaan sumber daya alam. Dalam kondisi perekonomian Indonesia yang rentan terhadap pengaruh eksternal, terutama karena adanya pasar finansial global, kepentingan asing bisa menyandera pemerintah dengan jauh lebih efektif dibanding pada masa lalu. Sedikit gangguan terhadap pasar keuangan dapat menyebabkan kekacauan perekonomian. Haggard dan Kaufman (1995) menjelaskan pengaruh signifikan pertumbuhan ekonomi yang rendah dan inflasi yang tinggi terhadap kejatuhan dan delegitimasi pemerintah di negara-negara transisi demokrasi.
Pemerintah yang efektif
Akibat tersanderanya pemerintah, publik tidak menjadi prioritas, bahkan sering dirugikan dalam pengambilan kebijakan. Karakteristik kondisi politik dan ekonomi pun khas: stabil tetapi tak kunjung membaik secara signifikan, bergerak tak tentu arah.
Apa pun akibatnya, SBY-JK harus segera mengubah keadaan dengan menciptakan pemerintah yang efektif. Langkah pertama, buatlah koalisi yang solid dengan berani tidak melibatkan terlalu banyak parpol.
Kedua, menjaga jarak dengan pengusaha yang hanya brokers dan pelaku rent-seeking activities. Sebaliknya, pemerintah harus membangun koalisi dengan apa yang disebut peraih Nobel Perdamaian 2006, Muhammad Yunus, sebagai social business entrepreneurs. Orientasi pengusaha kategori itu tidak hanya mencari untung, tetapi menyadari adanya dimensi budaya, sosial, dan agama dalam berbisnis.
Ketiga, dalam berinteraksi dengan kepentingan asing, SBY-JK harus berani mengedepankan kepentingan rakyat dibanding popularitas dan kelanggengan pemerintahan mereka.
Langkah-langkah itu mengandung risiko dibanding jika SBY-JK terus mencari aman. Namun, bukankah mereka sendiri yang telah menjanjikan perubahan dua tahun lampau?
Tata Mustasya Peneliti Ekonomi-Politik The Indonesian Institute
No comments:
Post a Comment