http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0611/04/opini/3066171.htm
Sabtu, 04 November 2006
Seto Mulyadi
Kegiatan mudik baru saja usai. Semua warga sudah mulai kembali ke tempat masing- masing, siap bekerja lagi. Anak-anak pun ada yang sudah masuk sekolah. Semua membawa pengalaman mudik yang beragam.
Bagaimana dengan mudik tahun depan?
Tampaknya tidak banyak yang berubah, polanya cenderung sama atau mungkin lebih banyak masalah. Penumpang berjejal di bus-bus dan kereta api seperti ikan sarden, kemacetan total berjam-jam di berbagai tempat, sampai konvoi ratusan ribu kendaraan bermotor roda dua membawa penumpang anak-anak yang sebetulnya amat tidak layak, mewarnai aktivitas mudik masyarakat yang terus berlangsung dari tahun ke tahun.
Banyak risiko
Bagi sebagian orang dewasa, perjalanan mudik seperti itu mungkin tidak terlalu menjadi masalah, meski cukup melelahkan dan kadang mengandung banyak risiko. Namun, untuk anak- anak, khususnya yang masih balita, pengalaman semacam ini bisa membawa dampak negatif yang panjang bagi perkembangan jiwanya.
Tengok saja, perjalanan mudik dengan sepeda motor yang tahun ini jumlahnya tercatat 650.000 lebih keluar dari Jakarta, di mana lebih dari separuhnya membawa penumpang anak-anak. Mereka harus menempuh perjalanan panjang ratusan kilometer dengan kecepatan tinggi menembus dinginnya angin malam. Menjelang siang, anak-anak harus rela menghirup debu dan asap polusi kendaraan yang berbahaya bagi kesehatan. Belum berbagai risiko kecelakaan yang mengintai keselamatan mereka setiap saat.
Apakah hal ini masih bisa kita toleransi bila dipandang dari kacamata hak anak? Bukankah sudah saatnya kita memberi perhatian lebih serius terhadap kasus itu dan menyadari bahwa kegiatan mudik semacam ini amat rawan terhadap berbagai bentuk pelanggaran hak anak?
Mudik lebih manusiawi
Sebagaimana diketahui, beberapa di antara hak dasar anak adalah hak untuk hidup layak dan hak memperoleh perlindungan.
Hak untuk hidup layak adalah hak untuk menikmati hidup yang aman dan nyaman agar mereka dapat tumbuh dan berkembang optimal. Lalu hak untuk memperoleh perlindungan adalah hak anak untuk dilindungi dari berbagai kemungkinan kecelakaan dan situasi penuh tekanan.
Namun, patutkah perjalanan mudik yang penuh risiko serta ketidaknyamanan semacam itu dialami ribuan anak-anak yang masih rentan dan seharusnya memperoleh perlindungan itu?
Demi kepentingan terbaik anak, sudah saatnya kita mulai memikirkan cara-cara terbaik agar tercipta kegiatan mudik yang lebih manusiawi bagi anak-anak.
Masih segar dalam ingatan, sejak PBB mencanangkan Konvensi Hak Anak 20 November 1989, Pemerintah Indonesia ikut meratifikasi konvensi itu tahun 1990 dan mencanangkan Gerakan Nasional Perlindungan Anak tahun 1987, disusul terbentuknya Komnas Perlindungan Anak tahun 1998 dan diundangkannya UU Perlindungan Anak Tahun 2002, maka sudah selayaknya jika upaya perlindungan anak senantiasa mengemuka dalam berbagai kegiatan masyarakat kita.
Hal ini didukung komitmen internasional dalam Sidang Umum PBB 2002, yaitu agar kita semua senantiasa menciptakan A world fit for children dalam berbagai kebijakan dan kegiatan.
Untuk mewujudkan suasana mudik yang sesuai amanat Konvensi Hak Anak dan UU Perlindungan itu, jauh-jauh hari sebaiknya pemerintah mulai menyiapkannya secara lebih serius dan profesional. Sarana dan prasarana serta penyelenggaraan kegiatan mudik tahun depan hendaknya lebih ditingkatkan. Dari penyiapan jalur transportasi hingga penyelenggaraan angkutan Lebaran yang lebih memadai, baik dalam kuantitas maupun kualitas pelayanan, khususnya sarana transportasi massal yang lebih nyaman, tetapi juga murah dan mudah terjangkau.
Keterlibatan dunia usaha dalam menunjang program ini patut mendapat apresiasi tinggi dari pemerintah.
Mengubah paradigma
Dan tak boleh dilupakan, perlu mulai dikampanyekan kepada masyarakat untuk berani mengubah paradigma yang keliru tentang mudik bahwa mudik pada saat Lebaran adalah mutlak dan segala-galanya.
Apabila keadaan memang tidak memungkinkan, tidak ada salahnya bila kita merencanakan mudik jauh-jauh hari sebelum atau setelah Lebaran.
Bahwa mudik amat dibutuhkan oleh sebagian anggota masyarakat, kita bisa memaklumi. Namun, banyak pula anggota masyarakat yang sudah mulai mudik tidak pada saat Lebaran, karena sudah mendapat kesempatan itu, yaitu mudik dan berjumpa sanak saudara di kampung halaman pada hari-hari biasa. Ini tentu berkat kebijakan yang diberikan kepada karyawan atau pembantu rumah tangga oleh atasan masing-masing. Sehingga pola demikian perlu dikampanyekan kepada masyarakat jauh-jauh hari sebelum Lebaran tiba.
Memang tidak semudah membalikkan telapak tangan, mengubah tradisi yang sudah berurat berakar. Namun, sudah saatnya kita memikirkannya dari sekarang, demi kepentingan terbaik anak, agar suasana Lebaran tahun depan tidak lagi sarat pelanggaran hak anak serta meninggalkan pengalaman pahit bagi anak- anak yang justru akan merusak makna Lebaran itu sendiri.
Mudik dapat dilakukan kapan saja dan tidak harus berjubel pada saat Lebaran, sehingga suasana mudik maupun suasana Lebaran masing-masing tetap dapat dirasakan indah dan ramah anak.
Seto Mulyadi
Ketua Komnas Perlindungan Anak
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment