Saturday, November 18, 2006

Bush, Islam, dan Barat

http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0611/17/opini/3100892.htm

Jumat, 17 November 2006

R u m a d i

Rencana kunjungan kenegaraan Presiden Amerika Serikat George W Bush awal pekan depan (20/11/2006) benar-benar menyita energi banyak pihak. Pemerintah Indonesia dan aparat keamanan sibuk luar biasa mempersiapkan tempat penyambutan dan jaminan keamanan. Istana Bogor dan Kebun Raya Bogor yang akan dijadikan tempat penyambutan Bush juga berbenah, termasuk pembuatan landasan helikopter.

Media massa begitu gencar melaporkan berbagai efek sosial yang diakibatkan kunjungan itu, seperti penutupan jalan di sekitar Kebun Raya Bogor, kantor-kantor yang harus tutup, sekolah yang harus diliburkan, dan sebagainya. Di luar itu, beberapa organ gerakan Islam menggelar berbagai demonstrasi menentang kedatangannya. Suara penolakan kehadiran Bush di Indonesia sudah menggema di mana-mana. Bahkan, sebuah bom yang diduga sebagai teror menjelang kedatangan Bush juga sudah diledakkan di sebuah restoran cepat saji di Kramat Jati, Jakarta Timur, Sabtu (11/11).

Menurut mereka, Bush bukanlah tamu yang layak dihormati. Mereka begitu marah dengan kebijakan-kebijakan luar negeri Bush yang selalu mencurigai umat Islam sebagai teroris. Tangan Bush dianggap berlumuran darah karena kebijakannya menyerang Afganistan, Irak, dan mendukung agresi Israel ke Lebanon beberapa waktu lalu, dan sebagainya.

Memang agenda kunjungan Bush ke Indonesia tidak mengagendakan masalah agama seperti kunjungannya pada 2003 lalu. Namun, sentimen keagamaan tampaknya begitu tinggi dalam "penyambutan" kunjungan Bush. Hal ini bisa dilihat dari antusiasme sebagian masyarakat yang bergerak mengerahkan energi keagamaannya untuk menolak kedatangan Bush. Gerakan ini tentu tidak akan memengaruhi kunjungan itu, tetapi secara politis jika Pemerintah Indonesia tidak mengontrol gerakan ini akan menimbulkan citra yang kurang baik bagi Indonesia.

AS dan Islam politik
Pemerintahan Bush di AS sendiri sekarang dalam posisi yang tidak menguntungkan, menyusul kekalahan Partai Republik dalam pemilu sela di AS, Selasa (7/11/). Kini Kongres AS dikendalikan sepenuhnya oleh Partai Demokrat, sehingga Bush tidak akan seleluasa ketika House of Representatives (DPR) dan Senat dikuasai kalangan Republik.

Terlepas dari kenyataan tersebut, pertanyaan yang muncul adalah mengapa gerakan Islam tertentu di Indonesia begitu tidak menyukai Bush dan pemerintahannya? Pertanyaan ini bisa dijawab pertama- tama dengan memosisikan masalah tersebut dalam konteks yang lebih luas menyangkut hubungan Islam dan Barat. Jadi masalahnya bukan sekadar kebijakan luar negeri pemerintahan Bush, terutama dalam melihat Islam, tetapi menyangkut konteks yang lebih luas.

Untuk mendiskusikan hal ini kita bisa melihat bagaimana kebijakan AS terhadap Islam. Dalam pandangan Fawas A Gerges (1999), setidaknya ada tiga hal yang mendasari posisi AS terhadap Islam politik. Pertama, AS tidak ingin terlihat tak bersahabat bagi negara-negara Islam, karena hal ini akan memperburuk sikap mereka terhadap AS. Para pejabat AS tidak mau mengulangi kesalahannya dalam menghadapi Revolusi Iran. Kedua, AS ragu-ragu untuk secara terbuka mendukung kelompok Islam mana pun, kecuali jika menguntungkan kepentingan-kepentingan regionalnya.

Ketiga, di dalam lingkaran pembuat kebijakan luar negeri AS terdapat ketidakyakinan tentang kemungkinan terjadinya hubungan baik antara Islam dan demokrasi. Mereka masih ragu-ragu apakah Islam secara doktrinal selaras dengan demokrasi dan secara kultural bisa menjadi ladang persemaian demokrasi.
Tiga proposisi tersebut kemudian membelah opini akademik AS dalam dua titik ekstrem: konfrontasionalis dan akomodasionis. Kubu konfrontasionalis melabeli aktivis Islam sebagai "fundamentalis Islam" dan menganggap Islam dan demokrasi dalam praktiknya berlawanan. Kaum fundamentalis Islam, dalam pandangan kelompok ini, sudah antidemokrasi dan anti-Barat sejak lahirnya. Intelektual AS yang berdiri di kelompok ini, antara lain Samuel P Huntington, Daniel Pipes, dan Bernard Lewis. Mereka meyakini bahwa persaingan Islam dan Barat bukan sekadar urusan materi dan kepentingan politik, tetapi juga pertarungan budaya dan peradaban. Cara pandang konfrontasionalis merekomendasikan kebijakan Pemerintah AS untuk mencegah masuknya fundamentalis Islam dan menganggap bahwa mereka yang telah berada di Barat berpotensi melakukan kekerasan.

Sedangkan kelompok akomodasionis menolak kubu konfrontasionalis yang menggambarkan Islam sebagai anti-Barat dan antidemokrasi. John L Esposito dan Leon T Hadar yang berada dalam kubu ini menjelaskan bahwa cara pandang konfrontasionalis terlalu didominasi oleh tindakan-tindakan keras kelompok kecil dan mengecilkan peran gerakan nonpolitis yang moderat. Cara pandang demikian juga terlalu monolitik dan mereduksi konflik-konflik yang ada di dunia sebagai konflik Islam-Kristen. Menurut kubu akomodasionis, Islam tidak anti-Barat dan demokrasi karena dalam Islam sendiri banyak interpretasi politis yang bisa saling berlawanan. Singkatnya, Islam tidak bisa dipandang secara monolitik.

Kelompok ini merekomendasikan kebijakan agar AS tidak menentang penerapan hukum Islam dan gerakan Islam sejauh tidak mengganggu kepentingan AS. Gelombang gerakan Islamis harus dilihat sebagai tantangan, bukan ancaman bagi AS. Akomodasionis juga meminta kepada Pemerintah AS lebih mengenali, menerima, dan menoleransi perbedaan-perbedaan ideologis antara Barat yang Kristen dan Islam. Kebijakan konfrontasi agaknya yang lebih dipilih George W Bush dalam politik luar negerinya, terutama pascaperistiwa 9/11. Dengan jargon perang melawan terorisme, AS di bawah kendali Bush seperti banteng ketaton yang melabrak siapa saja yang dianggap sebagai musuh.

Respons kemarahan sebagian penduduk dunia, terutama gerakan Islam politik, sebenarnya dapat dilihat dari perspektif ini. Perlawanan itu semakin kuat karena sejarah relasi Islam dan Barat memang lebih banyak berada dalam situasi ketegangan daripada kerja sama.

Lebih adil melihat Islam
Dari sini, apa yang bisa dimaknai dari kunjungan Bush ke Indonesia? Barat tetap memandang Indonesia sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia mempunyai posisi penting. Oleh karena itu, meski kunjungan Bush tidak mengagendakan pembicaraan tentang agama dan terorisme, tetapi untuk menjaga kepentingan AS di kawasan Asia Tenggara isu agama tetap sangat penting. Bahkan, di tengah kekalahan Partai Republik dalam pemilu lalu, Pemerintah Indonesia justru bisa memanfaatkan untuk lebih kuat menyuarakan sikap dan pendapat agar AS bisa lebih adil dalam melihat Islam.

Terakhir, betapapun kita tidak suka dengan kebijakan politik luar negeri Bush, bahkan (sebagian) kita menganggap dia sebagai musuh, tetapi adalah keliru kalau ketidaksukaan itu kemudian menjadikan kita gelap mata. Tamu tetaplah tamu yang harus dihormati betapapun kita tidak suka.

R u m a d i Peneliti The Wahid Institute dan Staf Pengajar Fak Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta


No comments: