http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0611/11/opini/3080924.htm
Sabtu, 11 November 2006
Kartono Mohamad
"We don’t have a health system, what we have is an illness system. We administrators have said for years, "If you get sick and drag yourself down to the hospital, we will try to take care of you." ….It’s no health insurance, it’s sick insurance; it pays when you get sick. I believe the only way we are ever going to do anything about cost is to change the system and develop a system of health designed to keep people from getting sick…If truly we have a health system, most people won’t need to be hospitalized". (Stephen M Morris Ketua Asosiasi Rumah Sakit Amerika Serikat)
Meski sudah berusia 35 tahun, tetapi kutipan itu rasanya masih valid hingga kini. Sebenarnya AS tidak mempunyai Sistem Kesehatan Nasional atau SKN yang tersusun dalam satu dokumen seperti halnya Indonesia. Yang dimaksud Morris dengan "sistem" sebenarnya lebih pada rangkaian undang-undang dan kebijakan pemerintah dalam hal layanan dan pemeliharaan kesehatan rakyat.
Jaminan kesehatan
Negara yang pertama kali mempunyai "SKN" modern adalah Prusia di bawah Bismarck yang mengeluarkan Reichsversicherungsordnung (Ordonansi Jaminan Kesehatan) di tahun 1881. Prinsip aturan ini memperlakukan sumber daya manusia sebagai bagian alat produksi yang harus dijaga kemampuannya berproduksi. Kaum pengusaha harus memelihara kesehatan karyawannya seperti mereka menjaga mesin-mesin pabriknya. Untuk rakyat miskin yang bekerja di luar pabrik (petani, dan lainnya) diminta beriuran guna pemeliharaan kesehatannya. Iuran itu, dan juga iuran dari pengusaha, dikelola lembaga jaminan (asuransi) sosial pemerintah. Yang benar- benar miskin ditanggung negara. Sejak itu berbagai negara Eropa Barat menciptakan sistem serupa. Umumnya, semua sistem di Eropa Barat didasarkan semangat "solidaritas sosial", yang kaya membantu yang miskin. Dalam sistem Eropa Barat, layanan kesehatan diserahkan kepada masyarakat (swasta) dan mereka dibayar asuransi jaminan sosial nasional. Setiap penduduk harus ikut dalam sistem asuransi kesehatan. Tidak semua asuransi jaminan sosial adalah milik pemerintah, tetapi mereka diikat melalui peraturan pemerintah sehingga mempunyai sistem dan tarif penjaminan yang sama. Pemerintah (daerah) mendanai program-program preventif agar rakyat tidak sampai jatuh sakit.
SKN lain adalah yang disebut sebagai model Semashko, yaitu sistem yang dianut Uni Soviet dan negara-negara komunis (saat itu). Dalam sistem ini, masalah kesehatan, dari penyediaan layanan hingga pendanaan, ditanggung sepenuhnya oleh negara. Prinsipnya serupa yang dianut Bismarck, rakyat dianggap sebagai bagian mesin produksi yang harus dijaga kelancaran kerjanya. Hanya saja dalam sistem Komunis, seluruh mesin produksi dikuasai negara. Karena itu pemeliharaannya pun menjadi beban negara, termasuk penyediaan layanan kesehatan kuratifnya.
Hampir semua SKN di berbagai negara di dunia lebih menekankan pada masalah penyelenggaraan layanan kesehatan dan pembiayaannya, terutama untuk masyarakat yang miskin.
AS menganut sistem liberal, yaitu rakyat disilakan memilih sendiri asuransi kesehatan masing-masing melalui perusahaan asuransi kesehatan swasta, perusahaan asuransi disilakan memilih layanan kesehatan masing- masing untuk para tertanggungnya. Untuk yang miskin, yang menganggur, dan usia lanjut, pemerintah federal menyediakan dana melalui Medicaid dan Medicare. Dalam hal pencegahan, pemerintah memberlakukan berbagai peraturan dan pengawasan. Untuk menghindarkan persaingan tidak sehat antara berbagai layanan kesehatan juga dikeluarkan peraturan serta pengawasan.
SKN Belanda semula lebih terpaku layanan kuratif melalui penyediaan banyak rumah sakit atau RS (hampir seluruh RS di Belanda adalah swasta). Namun kemudian karena dirasakan kian berat biayanya, sejak tahun 1950-an berbalik arah. Mereka membatasi pertumbuhan RS dan ketat mengawasi mutu layanan, serta memperbesar program pencegahan. Sejak itu tingkat kesehatan rakyat Belanda meningkat pesat dan termasuk yang paling tinggi di Eropa Barat didasarkan berbagai indikator. Sejak tahun 1991 dikeluarkan Undang-Undang Kesehatan Masyarakat dan Pencegahan Penyakit yang mengharuskan pemerintah daerah (pemda) bertanggung jawab terhadap pengendalian penyakit menular, higiene umum, kesehatan sekolah, pendidikan kesehatan pada rakyat, dan pengasuhan anak-anak (child rearing). Ada tiga sasaran yang ingin dicapai melalui kebijakan itu, yakni perpanjangan jangka harapan hidup, 2) mencegah kematian yang "dapat dihindari" (avoidable), dan 3) meningkatkan kualitas hidup rakyat. Pihak asuransi kesehatan juga dilibatkan dalam program ini sehingga tidak hanya sebagai sickness insurance, tetapi juga menjadi health insurance.
Indonesia
Indonesia mempunyai dokumen bernama Sistem Kesehatan Nasional yang memuat banyak cita-cita dan keinginan, disusun berdasarkan struktur organisasi Depkes. Ini tercermin dari SKN 2004 yang memuat bab "sistem logistik obat dan alat kesehatan" karena dalam struktur Depkes yang baru (sejak BPOM berdiri sendiri) ada Dirjen "Logistik Obat dan Alat Kesehatan".
Dalam kebijakan dan program, Pemerintah Indonesia terpaku pada upaya kuratif seperti penyediaan puskesmas, dokter (yang tidak dibekali program yang jelas), dan RS. Puskesmas yang semula diciptakan untuk meningkatkan kesehatan rakyat berubah menjadi balai pengobatan untuk yang sakit karena anggaran untuk pencegahan nyaris tidak tersedia.
Pemda pun demikian, seperti DKI Jakarta dan daerah lain yang menyediakan dana besar untuk perawatan penderita demam berdarah (DBD), tetapi minim anggaran pencegahan yang efektif. Pemerintah akan menyediakan dana kuratif besar saat terjadi muntaber, kurang gizi, dan penyakit lain, tetapi tidak terdengar program pencegahannya.
Dalam layanan kuratif, RS dibiarkan tumbuh tanpa aturan jelas, tanpa pengawasan mutu dan pengendalian biaya yang efektif. Yang membuat layanan RS mahal bukan mutu layanan medis, tetapi kepada kehebatan fasilitas fisik yang memerlukan biaya pemeliharaan tinggi. Kurang disadari, layanan medis yang tidak bermutu (meski murah) membuat biaya pemeliharaan kesehatan secara keseluruhan menjadi mahal. Juga tidak ada pengawasan apakah peralatan canggih dan mahal digunakan secara efisien dan benar-benar memberi dampak efektif dalam penyembuhan penyakit pasien.
Asuransi kesehatan lebih menekankan asuransi sakit, termasuk perusahaan asuransi yang dimiliki negara. Sistem pajak dan peraturan perindustrian belum mendorong agar pengusaha mau menyisihkan dana untuk memelihara kesehatan karyawannya sebagaimana mereka memelihara mesin-mesin industri. Maka layak pertanyaan Morris untuk diarahkan ke Indonesia. Apakah kita punya Sistem Kesehatan Nasional?
Kartono Mohamad Mantan Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment