Saturday, November 04, 2006

Suriname dan Indonesia Satu Penjajah, Beda Sikap

 http://www.ranesi.nl/tema/belanda/surinam_indonesia060405

Jean van de Kok

05-04-2006


Di kedua bekas negara jajahannya, Indonesia dan Suriname, Bahasa Belanda disikapi dengan cara yang berbeda. Di Suriname, diterima sebagai bahasa resmi negara, sementara di Indonesia harus merangkak bertahun-tahun untuk menjadi bagian dari dunia akademis Universitas Indonesia.

Bahasa yang dipaksakan
Lebih dari 3 abad, Bahasa Belanda dijadikan bahasa pergaulan resmi di Suriname dan tidak pernah berubah sampai sekarang. Sejak itu pula Bahasa Belanda berkembang dengan sangat baik di tempat ini. Suriname adalah sebuah negara di kawasan Amerika Latin yang pernah dijajah oleh Belanda.

“Awalnya, memang, Bahasa Belanda adalah bahasa yang dipaksakan. Dan hanya dipakai oleh para penguasa kulit puitih (Belanda,red.). Tapi setelah perbudakan dihapus, Bahasa Belanda menjadi bahasa rakyat Suriname sendiri. Dan makin berkembang setelah tahun 1867, ketika wajib belajar diberlakukan,” jelas Leida Rambokus, pakar Bahasa Belanda di Suriname.

Menurut penuturannya, perasaan antipati terhadap Bahasa Belanda sebagai bahasa penjajah, pernah terjadi juga. Namun, perasaan tersebut semakin lama semakin berkurang. Terutama sejak 50 tahun yang lalu, kala Suriname menjadi mandiri dan memiliki pemerintahan sendiri.

“Bahasa Belanda memang dipaksakan dari atas, tetapi orang Suriname memamg memilih secara sadar Bahasa Belanda sebagai bahasa resmi dan bahasa pengantar dalam pendidikan ketika Suriname lepas dari Kerajaan Belanda tahun 1950,” tambahnya.

Sementara untuk bahasa nasional, Suriname mempunyai dua bahasa lain yakni Sranang, bahasa orang kulit hitam Suriname, dan srani, bahasa Jawa Suriname.

Diterima jadi bahasa resmi
Leida Rambokus mengakui, bahwa ada perbedaan mendasar antara Bahasa Belanda yang dipakai di negeri Kincir Angin, dengan bahasa Belanda yang dipakai di Suriname. Bahasa Belanda Suriname memiliki nada dan warna tersendiri. “Dengan ungkapan dan kosa kata yang berbeda, dan latarbelakang budaya yang jauh berbeda. Namun tetap bisa dimengerti oleh mereka yang berbahasa Belanda,” tambahnya. Dengan kata lain Bahasa Belanda Suriname, adalah varian atau dialek dari Bahasa Belanda.

Menurut Leida Rambokus, paling tidak selama 50 sampai dengan 100 tahun mendatang, posisi Bahasa Belanda di Suriname akan tetap cerah dan akan tetap menjadi bahasa resmi. Terlebih Suriname sendiri adalah anggota de Nederlandse Taalunie, sebuah lembaga yang berkutat dalam perkembangan Bahasa Belanda. “Suriname sudah menandatangani kerjasama dengan lembaga ini. Jadi ini adalah politik bahasa yang sudah dipikirkan secara matang”

Bahasa Penjajah
Situasi yang digambarkan Leida Rambokus, sangat bertolak belakang dengan kondisi yang dihadapi oleh Prof Jan de Vries, dosen pertama Jurusan Bahasa dan Sastra Belanda, Universitas Indonesia di Jakarta. Ia, selain menghadapi kendala-kendala prosedural juga harus menghambati sekat-sekat emosional dari berbagai pihak di Indonesia yang menganggap Bahasa Belanda sebagai bahasa penjajah.

Ia pun mengenang ‘jatuh-bangun-babak-belur’ yang dihadapinya 35 tahun yang lalu, kala program Sastra dan Bahasa Belanda dibuka di UI.

“Jakarta Pusat, adalah kota lama yang masih memiliki cirri khas kolonial. Saat itu Menteng, adalah kawasan diplomatic tempat orang-orang asing tinggal dengan rumah besar berkebun luas,” demikian de Vries saat mengucapkan pidato dalam merayakan ulang tahun ke-35 Program Bahasa dan Sastra Belanda UI.

Sambutan tersebut dibacakan oleh salah seorang koleganya, karena de Vries sendiri tengah menderita sakit keras. Nilai tukar rupiah terhadap gulden saat itu, demikian katanya, adalah Rp.1,- sama dengan 0,01 sen Gulden. “Harga bahan bakar 1 liter Rp.30,- Dan satu-satunya hotel bertaraf internasional adalah Hotel Indonesia, dengan tariff kamar Rp 267/malam, yang artinya sekitar 72 gulden atau $20. Harga makan Rp 400,- dan makan malam Rp 800,- Tapi kalau makan malam di hotel hanya Rp 300,- saja,” jelasnya dengan rinci.

Hasilnya nol
“Manakala program Sastra dan Bahasa Belanda dibuka UI, hasilnya benar-benar mengecewakan kami yang telah bekerja keras selama setengah tahun supaya semua bisa terlaksana. Hasilnya nol. Tidak ada satu mahasiswa pun yang mendaftar,” tandas de Vries.

Ternyata ‘kejutan’ ini bukanlah satu-satunya. Hambatan pertama muncul dengan penolakan terhadap Mooiman salah seorang dosen, yang sedianya akan menjadi salah satu dosen pertama di jurusan tersebut, ia ditolak visanya. “Karena masa lalunya sebagai anggota dinas rahasia Belanda di jaman perang kemerdekaan Indonesia,” lanjutnya.

Tidak didukung kondusif
Pendirian jurusan Sastra dan Bahasa Belanda saat itu, boleh dikata tidak didukung secara kondusif oleh banyak pihak. Termasuk oleh Prof.Dr. Harsja Bachtiar, Dekan Fakultas Sastra UI, saat itu. “Ia tidak menghalangi pendirian jurusan ini, tetapi juga tidak membantu. Untuk studi Bahasa Belanda, tidak ada kampanye dan mereka yang mendaftar tidak ada yang diterima,” jelas de Vries dengan pahit.

Alasan resmi yang muncul, adalah bahwa para pendaftar tidak lulus ujian saringan masuk. Namun de Vries menduga ada alasan lain di belakangnya. Ada kekuatiran bahwa para mahasiswa ini hanya menggunakan Bahasa Belanda untuk hijrah ke Belanda, kemudian mengambil jurusan lain di sana.

Baru pada 1 Januari 1970, dua dosen Bahasa Belanda di UI, yakni Jan de Vries dan salah seorang koleganya yang lain, diangkat sebagai dosen tetap dengan gaji Rp. 1.500,- perbulan. “Tapi baru pada tanggal 1 Juli tahun yang sama, gaji kami dibayar,” sela de Vries.

Berbuah
Namun segala jerih payah de Vries dkk, itu akhirnya berbuah juga. Tahun 1971, adalah tahun pertama program Sastra dan Bahasa Belanda dibuka. “Pada minggu-minggu pertama, saya memakai kemeja putih dan dasi menuju ke ruang kuliah,” kenang de Vries kali ini dengan senyum simpul. “Walaupun udara panas, dan hanya menyisakan sedikit angin sepoi. Tapi bukan saya saja yang berpakaian necis, para mahasiswa baru itu pun demikian. Sementara para mahasiswi memakai rok mini, mode yang tengah disukai saat itu. Jilbab masih jarang”

Inilah sebuah era baru yang penuh harapan bagi de Vries dan Program Bahasa dan Sastra Belanda di UI. “Dan ciri khas kami adalah selalu ada kopi dan teh manis disediakan di ruang kuliah. Suasana kuliah dilakukan dengan penuh kehangatan,” tambahnya.


No comments: