Monday, November 06, 2006

Jangan Mewariskan Kekerasan

http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0611/05/keluarga/3069173.htm

Minggu, 05 November 2006


Susi Ivvaty

Agus Wijaya (34) masih ingat kenangan masa kecilnya ketika ayah memukulinya dengan raket tenis hingga patah. Waktu itu, ia luar biasa bandel. Kini, ia mempunyai seorang anak berusia empat tahun dan tidak ingin melakukan hal sama seperti yang pernah dialaminya.

Agus, teknisi di sebuah perusahaan pembuat peranti keamanan di kawasan Jababeka Bekasi ini, selalu teringat bagaimana rasanya dipukuli ketika muncul keinginan untuk memukul anaknya, Salman (4). "Akhirnya, saya tidak jadi memukul," katanya.

Pengalaman yang sama dialami Irawan Prasetyadi (39), warga Tangerang, yang mempunyai dua anak, Anisa Galuh (11) dan Naufal Galih (7). Manajer Teknologi Informasi PT Indonesia Toray Synthetics itu mengaku sangat bandel sewaktu kecil. Nasihat orangtua tidak pernah didengar dan ia pun memilih bermain seharian bersama teman-teman untuk menghindari berbagai nasihat yang harus didengar.

Agus dan Irawan berpendapat, hukuman dengan cara memukul dianggap lazim pada waktu mereka kecil. Setidaknya, hal itu biasa dilakukan para orangtua di kampung mereka di Jawa Tengah. Banyak yang tidak paham mengenai teori psikologi dan hanya berpikir untuk memberi efek jera kepada anak-anak yang bandel.

"Saya dulu memang nakal sekali. Main terus hingga membuat orangtua jengkel. Berkelahi dengan kawan sudah menjadi hal biasa. Di sekolah, terutama sewaktu SD dan SMP, saya terkenal nakal sehingga sering kena marah guru. Saya rasanya tak kenal rasa takut," kata Agus.

Berkelahi dengan kawan juga menjadi hal yang biasa dilakukan Irawan sewaktu kecil. Pernah suatu saat ayahnya sangat marah karena Irawan mencuri buah-buahan di pohon tetangga setelah sebelumnya berkelahi dengan teman. Ayah pun memukulinya dengan penjalin rotan. "Wah, paha saya sampai biru-biru semua. Sakit sekali kan dipukul rotan, ha-ha-ha," papar Irawan.

Karena seringnya dipukuli, Agus pernah merasa kebal. Ia tidak takut lagi dipukul, dan ia pun kembali melakukan hal-hal yang membuat jengkel orangtua. "Dipukul itu hal yang biasa," katanya sambil terkekeh. Biasanya, Agus menyalurkan kegeramannya dengan bermusik. Ia memang piawai bermain organ sejak SD, yang dipelajarinya secara otodidak.

Kenangan dipukuli orangtua itu bagi Agus dan Irawan terus membekas dan tidak pernah dilupakan. Namun, kenangan itu dibarengi juga dengan kesadaran bahwa mereka memang pantas dipukul. "Saat dewasa, saya bisa mengerti mengapa bapak memukuli sedemikian rupa. Saya memang nuaaakaaal sekali. Pokoknya, dari empat bersaudara saya yang paling nakal," kata Agus.

Bagi Irawan, meski waktu itu ia sangat marah karena dipukuli ayahnya dan menjadi lebih memberontak, tidak ada rasa dendam sedikit pun. "Setelah dewasa, ya berusaha jadi anak baiklah," katanya.

Kekerasan diperlukan

Menurut Agus, kekerasan sebenarnya dibutuhkan juga sesekali jika anak nakal. Itu sebagai bentuk hukuman. Ia menyitir anjuran dalam agamanya, Islam, bahwa anak setelah usia tujuh tahun tetapi tidak mau shalat boleh dipukul. Bagian tubuh yang dipukul tertentu saja, misalnya pantat atau kaki.

"Tetapi, karena anak saya masih empat tahun, ya saya tidak lakukan," katanya.

Irawan juga berpendapat, kekerasan diperlukan juga sesekali, tetapi ada batasannya. Memukul adalah jalan terakhir. Ia memberi perlakuan yang berbeda kepada dua anaknya. Galuh lebih mudah dinasihati, lain dengan Galih yang cenderung semau gue.

"Paling sulit kalau melarang anak agar jangan menghabiskan waktu di depan televisi," tutur Irawan. Ia lalu biasanya memberi mereka ancaman. "Misalnya, diancam tidak akan dibelikan sesuatu yang mereka minta jika tidak mematikan televisi," katanya.

Ancaman ini cukup ampuh karena pada Galuh dan Galih sudah bisa diberi pengertian. "Sewaktu masih balita ya sulit sekali memberi pengertian," kata Irawan.

Namun, Irawan tetap bertekad tidak akan pernah memberi hukuman fisik kepada anak-anaknya. Saat ditanya, hukuman paling berat apa yang pernah diterapkan kepada Galuh dan Galih, ia berpikir lama.

"Saya paling-paling memberlakukan hukuman klasik, mengunci di dalam kamar mandi. Saya suruh untuk tidak berbuat nakal lagi, dan kalau ia sudah mengatakannya ya saya buka lagi pintunya," paparnya.

Beruntung, Galuh dan Galih langsung kapok dengan hukuman itu sehingga tidak melakukan kesalahan yang sama. Waktu menonton televisi sudah mulai bisa dikurangi.

Agus mengatakan, memang kadang ia mempunyai keinginan untuk memukul anaknya jika sedang rewel atau mengungkapkan keinginan yang tidak jelas tetapi terus bersikeras. Kalau sudah demikian, istrinya, Diana, yang akan mengambil jalan tengah. "Kalau saya sedang marah, istri saya yang menenangkan dan akhirnya tidak jadi marah," katanya.

Agus dan Diana sepakat, kekerasan yang pernah dialami orangtua di masa lalu sebaiknya tidak diturunkan kepada anak-anak. "Mungkin saat ini saya masih sabar karena baru punya satu anak. Enggak tahu nanti kalau dua atau tiga dan rewel semua. Semoga masih bisa mengendalikan diri," ujar Agus.

Sejauh ini, Agus pernah menepuk pantat Salman dengan agak keras serta menjewer telinganya. "Biasanya setelah itu, saya langsung menyesal," katanya.

Agus dan Diana merasa bersyukur mempunyai anak yang tidak mempunyai banyak keinginan. "Kalau minta mainan dan saya bilang kalau harganya mahal, tidak punya uang, Salman langsung diam. Ia seperti mengerti," kata Diana.

Baik Agus maupun Irawan mengakui, pengalaman masa lalu justru bisa menjadi pelajaran. "Belum tentu kalau dulu sering dipukuli, dikerasi, lalu ia akan memperlakukan anaknya begitu juga. Justru karena saya ingat sakitnya, saya tidak tega untuk memukul anak," ujar Irawan.

No comments: