Saturday, November 04, 2006

"mBeguguk Nguthawaton"

 http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0611/04/opini/3054452.htm

Sabtu, 04 November 2006

L Wilardjo

Nugroho Wisnumurti yang pernah menjadi Dubes RI untuk PBB di New York dan Geneva menilai, tekanan sejumlah negara yang bersikap bermusuhan terhadap Korea menumbuhkan "mentalitas terkepung" (the sieged mentality) pada negara itu (Kompas, 18/10/2006).

Penilaian ini tepat. Bukan hanya Amerika Serikat yang menekan—bahkan mengancam akan menjatuhkan sanksi—kepada Korea Utara, tetapi juga Korea Selatan dan Jepang. Bahkan China pun, kendati dengan nada lebih lunak, ikut menekan Korea Utara. Padahal pada masa Perang Korea, lebih dari 50 tahun lalu, China membela Korea Utara melawan Korea Selatan yang didukung Amerika dan sejumlah negara anggota PBB.

Maka wajar, negara yang selama beberapa tahun terakhir ini mengalami kesulitan karena berulang kali gagal panen merasa terpojok dan menjadi makin nekat. Istilah wayang dan ketopraknya mbeguguk nguthawaton dan mirang kampuh jingga, artinya nekat bersikap melawan (desperately belligerent).

Amerika dan Korea Selatan sejak Perang Korea dulu masih tetap musuh Korea Utara. Resminya, perang itu belum berakhir. Selama lebih dari setengah abad, Perang Korea cuma "berhibernasi", sebab perjanjian Panmunjom hanya kesepakatan gencatan senjata.

Okinawa, pulau terbesar di Kepulauan Ryukyu, Jepang, tempat 47.000 tentara Amerika berada, tidak jauh letaknya dari Korea Utara. Korea Utara juga belum bisa melupakan kekejaman militer Jepang yang menginjak-injak Korea (Utara dan Selatan) sebelum dan selama PD II, luka juga masih dirasakan China. China selalu berang setiap kali PM Koizumi (saat belum digantikan Shinzo Abe) berziarah ke kuil Yasukuni untuk menghormati para pahlawan Jepang yang gugur dalam PD II.

Bukan mustahil Korea Utara juga kecewa terhadap China karena dengan kebijakan penanaman asing secara langsung (direct foreign investment) China telah berubah menjadi negara kapitalis.

Belajar dari Afganistan, Irak, dan Iran


Kim Jong Il tentu juga belajar dari keberanian Afganistan, dan Irak melawan Amerika plus sekutunya. Meski rezim Taliban telah tersingkir dari tampuk kekuasaan di Afganistan, belum dapat dikatakan, riwayat mereka sudah tamat. Apalagi Irak. Kelompok-kelompok gerilya seperti Al Sadr, masih terus melawan Amerika dan sekutunya, antara lain dengan bom bunuh diri. Perlawanan Mahmoud Atmadinejad terhadap tekanan Amerika dan Perancis juga ikut mengokohkan semangat Kim Jong Il.

Seperti Korea Utara, Iran juga ditekan Amerika karena (dianggap) mengembangkan senjata nuklir. Korea Utara secara terus terang mengakui kebenaran tuduhan itu, dan menyatakan, pengembangan senjata nuklir itu haknya.

Secara moral memang tak bisa dibenarkan pelarangan proliferasi nuklir itu, sebab negara-negara yang melarangnya memiliki arsenal senjata pemusnah massal itu. TBT, NPT, dan CTBT (Test Ban Treaty, Non-Proliferation Treaty, dan Comprehensive Test Ban Treaty) bisa dianggap tidak adil, sebab perjanjian itu merupakan traktat dua tingkat (two-tier treaty); tingkat atas untuk anggota Kelab Nuklir, sedangkan tingkat bawah untuk negara-negara lain.

Dengan kata lain, NPT itu diskriminatif. Perancis yang kini ikut mengutuk Iran dan Korea Utara, beberapa tahun lalu seenaknya sendiri melakukan serangkaian uji coba senjata nuklir di Atol Mururua. Kapal Raibow Warrior I milik Green Peace dan seorang awaknya jadi korban. Jepang, meski tidak (atau belum?) mengembangkan senjata nuklir, memiliki kemampuan itu dan telah mengimpor plutonium dalam jumlah amat besar dan mengangkutnya dari Perancis dan Jerman dengan kapal Showa Maru.

Uranium dan plutonium


Dua negara yang kini diawasi ketat karena isu nuklir ialah Iran dan Korea. Iran mengaku mengembangkan teknologi nuklir, tetapi hanya untuk maksud damai (pour la paix). Jika ternyata Iran diam-diam juga mengembangkan senjata nuklir (atom pour la guerre), kelihatannya negara ini memilih jalur uranium. Entah sudah, atau nyaris, Iran menguasai teknologi pemerkayaan uranium. Uranium alam yang kandungan isotop U-235-nya hanya 0,7 persen dapat diperkaya atas perintah Atmadinejad, mungkin dengan teknologi emparan (centrifuge), tetapi bisa juga dengan teknologi bauran (difusi), sehingga berkadar lebih dari 80 persen U-235. Dengan kadar bahan terbelahkan (fissile material) setinggi itu, uranium menjadi bermutu senjata (weapon grade).

Kelihatannya Korea Utara memilih jalur plutonium. Peranti nuklir (nuclear device) yang uji coba peledakannya dilakukan 9 Oktober 2006 berbahan ledak plutonium. Pu-239 itu dibiakkan di reaktor termal Yongbyon. Ini berarti Korea Utara telah maju di bidang robotika, sebab pemisahan isotop Pu-239 itu secara kimia dari sekian banyak isotop (yang kebanyakan radioaktif) dalam bahan bakar bekas harus dilakukan dengan pengendalian dari jauh (remote control) guna menghindari lingkungan yang amat radioaktif.

Makin terpojok, makin nekat


Tekanan Amerika dan kronimya terhadap Korea Utara sejauh ini tidak mempan. Kim Jong Il kian kepala batu. Kalau tak salah ingat, Agustus lalu Pyongyang melakukan uji coba rudal, menuai protes keras Tokyo dan Washington, DC. Uji coba rudal jarak dekatnya berhasil, sedangkan rudal jarak jauhnya gagal. George W Bush membalas Kim Jong Il dengan menguji coba rudal antibalistik. Itulah "tanggapan mengancam setimpal" (threatening response in kind) Bush terhadap Kim.

Uji coba ini sukses, tetapi tidak menciutkan nyali Kim Jong Il. Tanggal 9 Oktober 2006 Korea Utara meledakkan peranti plutoniumnya dengan berhasil. Lima hari kemudian DK PBB melontarkan resolusi yang mengecam Korea Utara. Resolusi Nomor 1718 itu tidak menyurutkan langkah Korea Utara. Resolusi itu justru diterimanya sebagai pernyataan perang.

Bagaimana sikap dan tindakan SBY dan Indonesia, jika masih menginginkan hadiah Nobel dari Oslo tahun depan? Apakah akan memakai aji sluman-slumun-slamet dan mengikuti arah angin di DK PBB, yang kini Indonesia telah menjadi anggota tidak tetapnya?

L Wilardjo
Dosen Etika Pembangunan, UKSW Salatiga

No comments: