Jumat, 03 November 2006
BENNY H HOED
Guru Besar Emeritus Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI
Apa itu eufemisme? Definisi Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005): "ungkapan yang lebih halus sebagai pengganti ungkapan yang dirasakan kasar yang dianggap merugikan atau tidak menyenangkan, misalnya meninggal dunia untuk mati". Definisi Webster (1991): " the substitution of an agreeable or innoffensive expression for one that may offend or suggest something unpleasant". Menurut kamus ini, kata tersebut berasal dari Yunani Kuno euphemôs 'sounding good' atau 'enak didengar'.
Menarik bahwa eufemisme sering jadi bahan ejekan, dicerca sebagai cara bicara munafik. Betulkah? Eufemisme adalah bagian adat bahasa, ada di semua kebudayaan, dan merupakan bagian tatakrama atau santun bahasa dalam pergaulan antarpribadi, baik pada poros kekuasaan (sosial, jabatan, usia) maupun solidaritas (khususnya dalam hubungan tak dekat). Pada poros kekuasaan, jangankan seorang yang berada di bawah, yang lebih berkuasa pun tak akan sembarangan berbicara kepada yang di bawahnya. Dia merasa perlu memakai ungkapan eufemistis, misalnya Kepala Biro kepada pegawai rendahan: "Saya ikut berduka atas wafatnya orang tuamu, Man", alih-alih "Saya turut berduka atas matinya orang tuamu, Man".
Saat dua orang bertetangga bertemu: "Gimana kabar Ibu?" Tentu saja yang dimaksud dengan ibu di sini adalah istri. Kata ibu dianggap lebih sopan dan menyenangkan daripada istri yang dianggap kurang sopan. Saat mencari rumah kawan di kompleks perumahan, kita bertanya dan dijawab "Kurang tahu" yang artinya 'tidak tahu'. Semua itu eufemisme. Eufemisme adalah pemakaian bahasa untuk memberikan rasa menyenangkan dan tidak menampar muka lawan bicara.
Jangan dikira eufemisme cuma dalam adat kita. Bahasa Inggris pun punya sopan santun, misalnya, not very bright untuk stupid, to pass away untuk dead.
Eufemisme dipakai berlandaskan prinsip saling menghargai. Jadi, janganlah serta merta mencerca bahwa menggunakan ungkapan eufemistis itu tindakan munafik. Saat ketua RT menemui anggotanya yang kaya, ia tidak berkata: "Pak tolong kami diberi sumbangan untuk konsumsi yang kerja bakti". Ia akan bilang: "Hari Minggu nanti ada kerja bakti, Pak Sam. Anak-anak muda biasanya perlu makan dan minum." Pak Sam paham Pak RT minta sumbangan dan tidak memandang Pak RT munafik. Komunikasi sosial sangat memerlukan tatakrama berbahasa agar kehidupan sosial tetap stabil. Dasarnya saling menghargai. Anggota masyarakat umumnya memahami kerangka acuan penafsiran eufemisme.
Bagaimana dengan komunikasi politik? Eufemisme terkadang perlu untuk menghindari ketakberterimaan dari sasaran komunikasi. Menarik sekali untuk dikaji penggunaan ungkapan tertentu seperti penyesuaian harga-harga untuk kenaikan harga-harga di masa Orde Baru. Namun, jangan dikira di masa Reformasi gejala ini tidak terjadi. Ungkapan resmi pemekaran kecamatan berarti 'pemecahan satu kecamatan menjadi dua'. Akan tetapi, kata pemecahan (andaikan dipakai) tidak cocok dengan kultur NKRI. Tentu saja kita tidak dilarang mengupas secara publik sebuah pernyataan eufemistis. Ini urusan demokrasi dalam politik.
Yang perlu kita pahami: eufemisme adalah bagian dari hidup bermasyarakat dan berkebudayaan berdasarkan prinsip saling menghargai. Jadi, bukan penyakit.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment