Saturday, November 11, 2006

Menjadi Indonesia

http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0611/11/opini/3066932.htm

Sabtu, 11 November 2006

Satjipto Rahardjo

Sangat terasa, kita kian kehilangan spirit "menjadi Indonesia" karena yang menonjol adalah justru atomisasi Indonesia. Indonesia lebih merupakan negara golongan, kelompok, partai, bahkan individu, daripada benar-benar sebuah Indonesia. Memang di sana-sini keinginan untuk menjadi Indonesia itu ada dan terasakan, melalui gerakan-gerakan seperti "Indonesia Bersatu", "Indonesia Bangkit", dan wacana tentang jati diri bangsa. Secara perorangan kadang orang merasa perlu menyebut diri "pencinta bangsa". Semua mencerminkan kerinduan akan surga yang telah hilang (paradise lost).

Kendati sudah berusia lebih dari separuh abad, yang lebih banyak terjadi adalah atomisasi kehidupan berbangsa dan bermasyarakat sehingga Indonesia bukan realitas, tetapi baru sesuatu yang dimimpikan, dibayangkan, suatu imagined nation. Ekonomi, politik, hukum berkeping-keping.

Penyakit parah
Tidak usah dibantah, sebab dengan membantah, kita malah akan menjadi kian jauh dari usaha untuk bangkit. Kebangkitan di sini adalah memutar balik atomisasi kehidupan sekarang ini dan mengutuhkan kembali sekalian hal yang sudah menjadi berkeping-keping itu.

Kalau ada penyakit yang parah, bangsa ini sedang mengidap penyakit "kehilangan keindonesiaan" atau "tidak menjadi Indonesia". Kita mengidap kelemahan sumber daya manusia), profesionalisme, dan lain-lain, tetapi itu masih jauh di bawah penyakit yang parah itu.

Meminjam pernyataan advokat senior Amerika Serikat, Gerry Spence, saat mengkritik profesionalisme lawyer di negerinya, "buat apa kita memproduksi pelana kuda seharga seribu dollar jika hanya dipasang di punggung kuda seharga satu dollar?" Dengan kualitas lawyer (baca: kuda) seperti itu, profesi hukum hanya menjadi sarana mencari keuntungan, bahkan memeras, bukan menolong orang yang sedang menderita. Maka, demikian Spence, bentuklah manusia berbudi luhur (evolved person) lebih dulu sebelum mendidik seseorang menjadi lawyer profesional.

Pendapat Spence terasa mengenyak pikiran saat kita dihadapkan pada masalah bangsa yang masih harus "menjadi Indonesia". Kepiawaian, kepintaran, profesionalisme menjadi kurang berarti selama kita belum berhasil menjadi Indonesia lebih dulu.

Banyak pekerjaan menunggu yang memerlukan bangsa ini menjadi Indonesia lebih dulu. Ada Lapindo Brantas, ada korupsi, ada pilkada, ada Poso, kemiskinan, pendidikan, kesehatan, untuk menyebut yang besar-besar. Jangankan menghadapi pekerjaan besar-besar seperti itu, di negeri ini, pekerjaan kecil pun memerlukan kesiapan untuk menjadi Indonesia. Aneka pekerjaan kecil menjadi gagal atau kurang berkualitas karena yang mengerjakan tidak berpikir untuk menjadi Indonesia, tetapi "apa yang bisa saya dapat?" Berapa banyak duit? Seberapa besar kekuasaannya?

Contoh sederhana tentang bangsa yang berhasil "menjadi diri sendiri" (Belanda, hier ben ik) adalah Jepang. Bangsa ini berhasil memiliki modal menjadi Jepang lebih dulu sebelum melakukan yang lain-lain. Meski hancur oleh perang, modal "menjadi Jepang" sudah terbentuk sejak ratusan tahun Era Tokugawa. Prasarana fisik, pabrik-pabrik, boleh hancur, tetapi Nippon no seisin dan Nippon no kokoro sudah telanjur kokoh.
Indonesia yang merdeka tahun 1945, kini, harus mengemis kepada Bank Dunia, IMF, sedangkan Jepang yang hancur pada tahun yang sama sudah masuk G-7, kelompok negara makmur yang suka memberikan utang kepada negara miskin. Amat tragis!

Konon, jika perusahaan Jepang menang dalam tender internasional, mereka bukan berteriak "Honda banzai" atau "Mitsubishi banzai", tetapi "Nippon banzai!" Selesai dengan megaproyek airport Kansai di laut, mereka tidak lupa berteriak "Nippon banzai!". Jadi, yang dipikir bukan kantong sendiri, tetapi untuk bangsa Jepang. Itulah contoh sederhana tentang menjadi diri sendiri.

Teramati, di negeri ini, banyak pekerjaan menjadi mandek, cita-cita menjadi buyar, karena ditelikung atomisasi bangsa ke dalam kepentingan individu, golongan, partai, dan lain-lain. Pemerintah baru mau melangkah sudah diserimpung, bukan didukung mencari jalan keluar. Pemberantasan korupsi dikumandangkan sebagai pekerjaan luar biasa, tetapi pekerjaan polisi, jaksa, masih harus menghadapi dua front, koruptor dan bangsa sendiri. Akhirnya yang menang para koruptor dan gengnya.

Warisan dan pesan pendiri bangsa, seperti Soekarno dan Hatta, sudah jelas, tetapi belum bisa diselesaikan dengan baik.

"Nation and character building"
Konon, Indonesia sudah disalip Vietnam atau Kamboja yang baru saja hancur, apalagi oleh Malaysia, Thailand, dan Singapura. Apakah Indonesia harus terus terpuruk dan berantakan seperti sekarang ini? Apakah Indonesia memang tidak mampu?

Saya berpikir, tidak! Indonesia memiliki potensi obyektif untuk menjadi negara sejahtera asal persyaratan subyektif dipenuhi, yaitu tidak lain mampu menjadi Indonesia. Menjadi "Indonesia Incorporated". Maka, sekali ini elite Indonesia di ranah mana saja, politik, pemerintahan, hukum, ekonomi, dan lain-lain, jadilah panutan dan pelopor untuk menjadi Indonesia. Sebetulnya ini bukan hanya tugas para elite, tetapi tugas siapa pun dan pada peringkat/lapisan mana saja.

Tidak ada waktu untuk memikirkan diri, golongan, atau partai sendiri, tetapi hanya ingin menjadi Indonesia, yaitu 200 juta rakyat yang sejahtera dan bahagia.

Satjipto Rahardjo Guru Besar Emeritus Sosiologi Hukum Universitas Diponegoro, Semarang

No comments: